Bacaan Injil suci hari ini mengisahkan tentang kembalinya para murid dari misi perutusan untuk mewartakan pertobatan [metanoia]. Penginjil Markus dengan gaya yang khas membangun narasi Injilnya dengan alur kisah yang mengait satu dengan yang lain. Misalnya peristiwa Yohanes dikaitkan dengan peristiwa Yesus. Sementara perutusan kedua belas rasul secara berdua-dua dikaitkan dengan kepulangan mereka dari misi perutusan itu untuk melapor terlaksananya misi itu atau sekedar menceritakan pengalaman unik di tempat misi.
Kembalinya para murid dari tempat misi dengan begitu banyak cerita ternyata tidak menunjukkan respon yang berarti dari Yesus. Markus rupanya tidak menekankan hal ini. Yang menarik justru ialah Yesus mengajak mereka ke tempat yang sunyi. Maksudnya untuk menyendiri dan istirahat sejenak. Alasan “menarik diri” dari ke tempat sunyi adalah begitu banyak orang yang datang dan pergi sehingga makan pun mereka tidak sempat. Tiga kata kunci yang menarik untuk direfleksikan ialah tempat sunyi, istirahat dan makan.
Penginjil Markus membangun komposisi narasi kisahnya dengan sangat lugas namun dengan penempatan kata-kata kunci yang jelas dan mengena. Ajakan Yesus untuk pergi ke tempat sunyi, agaknya menjadi upaya meminimalisir haru-biru para murid sekembali mereka dari tanah misi dengan banyak cerita mengagumkan. Entah itu berhasil usir setan, sembuhkan orang sakit dan lain-lain.
Pergi ke tempat sunyi untuk sendirian adalah semacam counter pada kecenderungan glorifikasi diri para murid dalam misi perutusan. Ke tempat sunyi untuk menyendiri tidak lain adalah upaya merawat sikap tahu diri. Agar para murid belajar dalam kesendirian betapa mereka harus selalu bergantung pada Allah saja. Menyendiri di tempat sunyi adalah upaya Yesus membawa para murid dalam suasana reflektif guna memurnikan motivasi diri dan misi.
Di lain pihak, selain menyendiri, Yesus dan para murid bisa beristirahat. Tentu saja ini perlu. Sebab karya pelayanan cukup melelahkan. Kata kunci istirahat ini tidak dimaksudkan sebagai saat untuk berleha-leha. Tentang istirahat ini kata-kata Paus Fransiskus menarik untuk direnungkan. “Only love gives true rest. What is not loved because tiresome, and in time, brings about a harmful weariness.” [Hanya cinta yang memberikan istirahat sejati. Apa yang tidak dicintai akan membuat capek saja, dan satu waktu akan membawa kelelahan yang merusak].
Istirahat sejati menandaskan upaya merawat relasi. Ini juga mengingatkan kembali ketika saat penciptaan. Allah beristirahat pada hari ketujuh [bdk. Kej 2:2-3]. Allah beristirahat untuk memberkati dan menegaskan relasinya dengan ciptaan. Allah sebagai pencipta dan bumi, manusia serta segala isinya sebagai ciptaan. Dengan beristirahat Yesus menghendaki agar para murid memperkokoh relasi dengan diri-Nya dan dengan Bapa-Nya. Mengapa? Sebab pelayanan yang berlebihan cenderung jatuh pada penjarakkan dengan Tuhan, relasi kusam dengan sesama dan berakhir pada pendewaan diri sendiri. Inilah sebetulnya yang disebut Paus Fransiskus sebagai “kelelahan yang merusak”.
Sementara itu, ajakan Yesus untuk menyendiri di tempat sunyi agar mereka bisa makan. Tema makan adalah hal yang berulang kali muncul dalam banyak narasi Markus. Misalnya saat Yesus makan dengan para pemungut cukai dan pendosa [bdk. Mrk. 2:16]; Ia dan para murid makan saat puasa [bdk. Mrk. 2:18-19]; atau pada saat memberi makan pada anak perempuan Yairus yang dibangkitkan [bdk. Mrk. 5:43].
Ajakan untuk makan ini mengandung dua makna. Hurufiah dan simbolis. Pertama-tama tentu Yesus dan para murid perlu mengisi perut setelah melayani begitu padat. Lebih dari itu, secara simbolis makan adalah upaya mengokohkan persatuan dan persaudaraan. Dalam banyak budaya makan bersama adalah simbol persatuan yang erat. Makan tidak lagi soal apa yang dimakan melainkan bagaimana keselarasan, kesatu-paduan, keharmonisan dan kekuatan itu terbangun dalam satu himpunan entah itu rekan kerja, teman bermain ataupun keluarga. Banyak hal baik datang dari percakapan atau lobby di meja makan. Banyak ketegangan dan perselisihan juga berakhir di meja makan. Betapa luhurnya makan bersama.
Ajakan Yesus untuk makan adalah upaya merawat keakraban dengan para murid. Merawat jalinan kasih seorang guru dan dengan murid-muridnya menjadi sahabat satu dengan yang lain. Ajakan Yesus terhadap para murid untuk makan juga adalah narasi antisipatif yang dimainkan oleh Markus atas peristiwa makan lima ribu orang.
“Tempat sunyi” ternyata menjadi gudang banyak kekayaan yang dapat ditimbah oleh para murid. Narasi ajakan ke tempat sunyi yang dibangun oleh Markus ternyata tidak berlangsung lama. Banyak orang malah mengikuti Yesus dan para murid. Terhadap orang banyak itu hati Yesus tergerak oleh belas-kasihan sebab mereka seperti domba tak bergembala. Istirahat sejati bukan soal durasi. Tapi soal kualitas istirahat [quality time] dan relasi-relasi di dalamnya. Durasi melahirkan emosi, relasi melahirkan belas-kasih.
Ajakan Yesus ini juga harus menyentuh hati kita. Sejauh apa kita memaknai misi perutusan? Adakah Allah yang dimuliakan atau justru diri sendiri yang didewa-dewakan? Adakah “tempat sunyi” untuk berefleksi tentang motivasi misi dan relasi pribadi dengan Allah dan sesama? Bagaimana meja makan menjadi kekuatan panggilan dan solusi atas banyak soal hidup bersama? Sejauh apa istirahat sejati yang diambil? Akhirnya apakah hati kita masih terus berbelas-kasih? Selamat pagi. Salve.
Ulasan sangat bagus tetapi masukan sedikit untuk editor Perhatikan pengetikan. Beberapa kata masih ada kesalahan huruf