Paus Yohanes Paulus II menetapkan 11 Februari sebagai Hari Orang Sakit Sedunia (HOS) pada 13 Mei 1992. Secara spiritual pihak Gereja merayakan Ekaristi yang dipersembahkan untuk mendoakan kesehatan semua orang sakit dimulai pada 11 Februari 1993. Adapun tujuan dari penetapan hari orang sakit sedunia, antara lain; 1) mengingatkan umat beriman untuk berdoa secara sungguh-sungguh dan tulus untuk mereka yang sakit; 2) mengundang semua orang kristiani untuk merefleksikan dan menanggapi penderitaan manusia; 3) mengakui dan menghormati semua orang yang bekerja dan melayani dalam bidang kesehatan dan berbagai pelayanan kesehatan. Tahun ini merupakan peringatan Hari Orang Sakit Sedunia yang ke-31. Dalam peringatan ini, Paus Fransiskus mengusung tema “Rawatlah Dia” Belas Kasih sebagai Reksa Penyembuhan Sinodal (bdk. Yez 34: 15-16). Tema ini memuat pesan kristiani yang mendorong semua orang beriman agar meningkatkan empati diri demi memperhatikan orang sakit. Paus Fransiskus berharap agar peringatan hari orang sakit sedunia pada tahun 2023 ini menjadi kesempatan untuk membangun kepedulian sekaligus memberikan perhatian khusus untuk mereka yang sakit. Bagaimana kita memaknai ajakan Paus Fransiskus dalam reksa kehidupan dewasa ini?
Berakar pada “kasih”
Peringatan hari orang sakit sedunia mengajak kita untuk berdoa dan berusaha untuk lebih dekat dengan mereka yang sedang menderita. Lebih dari itu, kesempatan ini juga ada sebagai momen untuk meningkatkan kesadaran umat Allah, lembaga kesehatan dan masyarakat sipil terkait dengan spirit baru demi bergerak maju bersama. Kutipan Nabi Yehezkiel pada tema, dengan keras menegur mereka yang memegang kekuasaan ekonomi, budaya, dan politik terhadap sesama yang lain: “Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman” (Yeh. 34:3-4).
Pelayanan dengan intensitas investasi tentunya mematikan hakikat “pelayan” pada operasionalisasi dalam rumah sakit. Keterarahan hidup bisa dibentuk dari sikap mengasihi. Mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri. Prasarana adalah bentuk konkret kasih demi keselamatan para pasien. Ketertinggalan atas segala prasarana bukanlah model yang tepat menyingkirkan efektifitas pelayanan. Sudah hilang keutuhan pelayanan kasih, adanya juga demi menegakkan citra dari keberadaan rumah sakit. Untuk itu perlulah mengakomodir para perawat, sarana-prasarana hingga integritas pribadi yang mampu melayani dengan hati tanpa melihat keuntungan saku. Dalam berbagai tantangan yang menerpa kehadiran rumah sakit, baik secara fisik maupun non-fisik haruslah menghidupi semangat totalitas pelayanan kasih dan bukan investasi. Berbagai penyakit yang dialami haruslah dibaca dengan prinsip pelayanan kasih. Agar dapat berkontribusi dalam kehadiran di tengah masyarakat.
Menyikapi pelayanan antara kasih dan investasi
Dilansir dari Katadata Media Network, setiap tahun terdapat lebih dari 500.000 ribu pasien dari luar negeri yang berobat ke Malaysia. 56% dari total itu adalah warga negara Indonesia. Selain Malaysia, Singapura juga mencatat bahwa 20% warga negara Indonesia juga dirawat di negaranya. Berdasarkan laporan Statistik Indonesia, terdapat 11.874 unit sarana kesehatan di Indonesia pada 2021. Jumlah ini naik menjadi 1,27% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebanyak 11.724 unit. Rinciannya, terdapat 8.905 unit poliklinik di seluruh Indonesia. Jumlah ini berkurang 0,53% dibandingkan 2020 yang sebanyak 8.858 unit. Bertolak dari data ini, tentunya kehadiran dan pelayanan dari setiap rumah sakit dipertanyakan. Keutamaan pelayanan menjadi ketakutan yang tak tertandingi. Pelayanan investasi akan menjadi dasar dalam setiap kehadiran rumah sakit.
Banyak penyebab yang menjadikan negara-negara tersebut sebagai tempat berobat. Alasan yang paling kuat adalah tentang fasilitas teknologi yang begitu maju dan memadai, tenaga medis yang handal serta dapat dipercaya. Padahal bila dikaji dari sisi ekonomi, maka tidak heran jika setiap pasien harus mengeluarkan dana sebesar $ 10.000 sampai $20.000. Akibatnya pemasukan rumah sakit pada kedua negara sangat tinggi mencapai Rp 33 sampai 36 triliun. Sisi lain terjadinya akses pengobatan di luar negeri ialah kurangnya penyediaan ruangan dengan populasi masyarakat Indonesia dan jumlah tenaga medis yang tidak sebanding. Menghadirkan rumah sakit di bumi Indonesia ini adalah solusi terbaik. Maka sangatlah miris bila anggaran yang sangat besar tidak digunakan untuk pembangunan serta memfasilitasi pelayanan kesehatan bagi setiap rumah sakit. Semakin banyak dana semakin banyak penelantaran manusia.
“Kita diciptakan untuk suatu kepenuhan yang hanya dapat dicapai dalam cinta. Kita tidak dapat bersikap tak peduli pada orang yang menderita” (Ensiklik Fratelli Tutti No. 68). Penderitaan dan pengalaman sakit merupakan wujud nyata dari setiap perjuangan manusia dalam menapaki jalan hidupnya. Keterlepasan dari Sang Pencipta membuat manusia terus menggambar bintik-bintik hitam dalam dirinya, namun bukan berarti Sang Pencipta sudah murkah dengan segala keberdosaan manusia. Melainkan, melalui penderitaan Sang Pencipta mengajarkan sikap atau tindakan mengasihi tanpa batas. Hari orang sakit sedunia yang dirayakan pada tahun ini, merupakan pembuktian akan kasih dari Sang Pencipta. Perumpamaan orang Samaria dalam gagasan tema sebagai tanda kehadiran Sang Pencipta dalam komunitas hidup manusia, melalui keluarga, lingkungan masyarakat hingga lingkungan sosial yang lebih besar. Dasar terdini dari kehadiran kasih dalam komunitas ialah merangkul kembali mereka yang terlantar akibat pelbagai macam penderitaan hidup akibat kesakitan. Kehadiran sarana-prasarana penunjang kesehatan dalam masyarakat juga mengartikan simbol kasih dari Sang Pencipta. Keterbelengguan akibat sikap serakah dan egois bukanlah dasar untuk menyambut tawaran kasih yang diberikan. Arti cinta dalam kasih melampaui batasan-batasan manusiawi dan tetap berpusat pada manusia itu sendiri. Untuk itu, suatu pembelajaran yang harus dipetik ialah kepercayaan dari Sang Pencipta bukan saja sebatas pada mereka yang mempunyai tugas khusus sebagai pelayan, melainkan bagi seluruh umat manusia. Sebab, pada perayaan khusus ini mereka yang menderita akibat sakit yang menjadi landasan untuk menggapai kasih melalui sesama, karena dalam kasih semua orang berharga dan tidak ada yang diterlantarkan.
*Penulis adalah calon imam Keuskupan Agung Kupang, anggota komunitas SEJUK KAK, dan Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang