Di awal tulisan ini, saya ingin menekankan bahwa tulisan ini merupakan hasil dari upaya melawan kemalasan pencarian intelektual yang belakangan ini menguasai saya. Oleh karena itu, saya tidak melengkapi tulisan ini dengan catatan kaki atau daftar pustaka. Tulisan ini merupakan refleksi saya setelah membaca cerpen Jemmy Piran yang terdapat di situs web baca petra.com.
Pada dasarnya, cerpen bukanlah sekadar karya fiksi tanpa dasar. Sebaliknya, cerpen berada pada titik tengah antara peristiwa dan pemikiran. Dalam hal ini, pengarang menghubungkan peristiwa dan pemikiran. Ketika cerpen berfokus pada ekstrem peristiwa, pengarang berpikir secara mendalam tentang peristiwa tersebut dan merangkainya menjadi cerita. Sedangkan pada ekstrem pemikiran, pengarang lebih berfokus pada ide dan konsep cerita, kemudian menuliskan peristiwa-peristiwa yang mendukung ide tersebut untuk membentuk sebuah cerita. Oleh karena itu, cerpen dapat dilihat sebagai karya yang menghubungkan antara peristiwa dan pemikiran untuk menciptakan cerita yang menarik.
Hakikat cerpen adalah cerita, dan di dalam cerita tersebut terdapat peristiwa sebagai bahan utama. Oleh karena itu, pandangan yang menyatakan bahwa bahan utama cerpen adalah peristiwa sama halnya dengan bahan utama puisi adalah imaji, merupakan pandangan yang sangat beralasan. Tanpa peristiwa, cerpen tidak mungkin terwujud. Sebagai hasil dari refleksi imaji penulis, cerpen selalu berkaitan dengan peristiwa yang dialami oleh penulis. Dalam hal ini, peristiwa menjadi elemen penting yang membentuk cerita dan memengaruhi cara penulis membangun imaji dalam cerpen.
Saat membaca cerpen “Sang Pemburu Tuhan” karya Jemmy Piran, imajinasi saya terhantar pada cerita Adam dan Hawa dalam Kitab Suci. Saya yakin bahwa Jemmy Piran mengambil inspirasi dari kisah ini, terlihat dari narasi biblis yang sangat kental dalam keseluruhan cerpennya. Selain itu, pada akhir cerita, Jemmy Piran berusaha membuka kesadaran pembaca bahwa cerita tersebut tidak terlepas dari kisah kejatuhan manusia pertama, Adam dan Hawa, dalam Kitab Suci. Meskipun begitu, tulisan ini hanya merupakan refleksi pribadi terkait dengan apa yang saya temukan dalam cerpen tersebut, tanpa spekulasi lebih lanjut. Namun, saya berpikir bahwa tulisan ini tetap relevan dan kontekstual secara intelektual, terutama karena pada saat saya menuliskannya, Gereja Katolik sedang dalam masa khusus, yakni masa prapaskah.
Eksistensi Manusia Sebagai Homo Religious
Manusia dalam peradaban menjadi poin penting sebagai pusat fenomena. Eksistensi manusia selalu menghadirkan tanya yang tak pernah selesai dijawab. Beragam bidang ilmu coba membedah siapa manusia itu, namun pada akhirnya pencarian itu tak akan menuai jawaban yang final. Selain dalam bidang filsafat, ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya juga mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia. Homo Religious adalah satu istilah yang muncul dari sekian definisi tentang manusia. Hal ini berkaitan langsung dengan relasi hidup manusia secara vertikal dan juga relasi horizontal. Pada dasarnya manusia adalah makhluk religius. Manusia adalah makhluk beragama, ini menggambarkan bahwa manusia memiliki unsur rohaniah yang mendasari segala tindakannya. Unsur rohaniah ini mengisyaratkan adanya satu dimensi kehidupan yang urgen.
Eksistensi manusia sebagai homo religious tidak terlepas dari Tuhan. Tuhan hadir sebagai causa prima yang memungkinkan manusia untuk mengalami-Nya lewat pengalaman hidupnya setiap hari. Selain itu, kedudukannya sebagai makhluk religius terus mendorongnya untuk mencari dan menemukan Tuhan. Berdoa merupakan salah satu cara yang selalu ditempuh manusia untuk merajut hubungannya dengan Tuhan dan sebagai ungkapan diri sebagai makhluk religius.
Dalam cerpen Sang Pemburu Tuhan, penulis coba mendeklarasikan realitas manusia sebagai makhluk religius. “Ia hanya seorang lelaki, yang sudah mendekatkan diri dengan sembahyang tiap menjelang fajar dan senja lenyap. Tak ada lagi yang ia minta kecuali ingin melihat Malaikat Maut merenggut dirinya. Namun, hal itu belum terjadi hingga hari di mana ia memutuskan untuk bertaruh dengan Tuhan.” Penggalan kalimat di atas merupakan bukti bahwa penulis benar-benar menempatkan manusia pada titik eksistensial sebagai makhluk religius yang dalam hidupnya hanya bergantung kepada Tuhan. Ketergantungan manusia kepada Tuhan selalu mengarah kepada penyerahan diri secara total kepada-Nya. Namun siapa sangka bahwa dalam situasi demikian, manusia masih saja akan tiba pada posisi di mana selalu mempertanyakan keberadaan Tuhan dalam hidupnya. Artinya bahwa, secara mutlak Tuhan adalah pencipta atau pengada manusia yang sudah pasti tidak akan meninggalkan manusia, namun dari manusia selalu timbul kesangsian akan kehadiran Tuhan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari dialog dalam cerpen Jemmy di bawah ini;
Ia memandang ke arah langit, “Aku tidak percaya bahwa Kau masih mencintaiku.”
Tidak ada jawaban, kecuali angin menderu dari kejauhan.
“Aku tidak percaya padamu.”
Ia diam beberapa saat lalu tersenyum kecil.
Jalan Jauh; Memburu Tuhan
Satu hal yang penting di sini yakni misteri Tuhan itu tak terselami oleh indra manusia. Semakin manusia berupaya untuk mengetahui misteri Tuhan, semakin pula manusia menunjukkan keterbatasannya. Rencana dan kehendak Tuhan tidak dapat diduga. Sebaliknya rencana manusia dapat diduga. Apabila berkat daya intelektual yang dimilikinya, manusia terus mencari dan menemukan rencana Tuhan, maka di situlah saat di mana manusia sedang berada dalam perjalanan yang jauh dari Tuhan.
Aziel tokoh utama dalam cerpen Sang Pemburu Tuhan merepresentasikan manusia yang dalam situasi tertentu terus meragukan eksistensi Tuhan dalam hidupnya. Mereka yang seperti itu terus memburu Tuhan dengan dialektika, retorika dan logikanya masing-masing. Padahal upaya demikian malah semakin menjauhkan mereka dari Tuhan, dari Dia yang terus dicarinya. Eksistensi manusia sebagai makhluk rohani semestinya diberdayakan dengan tidak terus mencari pemahaman yang rasional atas misteri Tuhan melainkan harus tiba pada sikap bertekuk lutut di bawah misteri Tuhan yang sampai kapan pun tidak akan pernah dipahami oleh manusia.
Hidup manusia memang tidak akan berjalan mulus. Sebaliknya, manusia akan hidup dalam satu dialektika dan pasang-surut kehidupan yang pada intinya menuntut manusia untuk menikmati dan menerima apa yang ada. Selain itu manusia juga dituntut untuk meyakinkan diri kepada rencana Tuhan. Sebab kalau tidak terjadi demikian maka manusia akan terus bertanya tentang kehadiran Tuhan dalam hidupnya teristimewa dalam situasi-situasi gurun atau sulit. Hal inilah yang dialami oleh tokoh utama dalam cerpen Sang Pemburu Tuhan,dimana situasi sulit yang dialaminya terus menerus membuatnya mempertanyakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Jalan Pulang, Jalan Pertobatan
“Jangan merayuku. Aku tahu, aku seorang pendosa. Aku seharusnya dibunuh, tubuhku mestinya dihanguskan dalam bara api. Aku amat najis di hadapan-Nya. Aku tidak layak.”
Kutipan di atas menjadi satu bukti bahwa pada titik tertentu manusia akan kembali dan menyadari diri bahwa ia hanyalah manusia yang penuh dengan dosa. Kesadaran diri menjadi jalan pulang, jalan pertobatan setelah jalan jauh, setelah berdosa. Dalam konteks cerpennya Jemmy, dosa paling mendasar dari Aziel yakni kesangsiannya akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Namun kemudian, Aziel sadar bahwa pencarian dan kesangsiannya hanyalah sia-sia sebab Tuhan jauh dan lebih besar dari apa yang ia pikirkan.
Sejauh apapun manusia berjalan jauh dari Tuhan, tentu pada satu titik manusia akan sadar lalu memilih jalan untuk pulang. Situasi dan pengalaman kesulitan semestinya dinikmati dalam irama syukur sebab apapun yang terjadi pada manusia selalu berada dalam rencana Tuhan. Yang terpenting itu keyakinan bahwa Tuhan benar-benar ada dalam situasi apapun. Keyakinan inilah yang alpa dalam diri Aziel sehingga kemudian ia terus meragukan Tuhan. Keraguan hanya akan membuat manusia jauh dari Tuhan dan kemudian membuat manusia hidup penuh kesengsaraan.
*Penulis adalah Calon Imam Keuskupan Atambua. Tingkat V
Luar biasa kk Jhola