Hanya beberapa bulan setelah terpilih pada tahun 2013, Paus Fransiskus mengumumkan bahwa ia akan mendobrak tradisi 400 tahun dan tidak akan lagi menghabiskan liburan musim panas di Kastil Gondolfo, sebuah vila kepausan di luar kota Roma, dan memilih untuk tetap tinggal di Vatikan dan bekerja sepanjang bulan-bulan musim panas.
Dalam sebuah wawancara pada bulan Januari 2023 dengan Associated Press, Paus Fransiskus mengutip keputusannya untuk tidak pindah ke istana musim panas, dengan mengatakan, “Kastil Gondolfo adalah sebuah istana. Menunjukkan semangat pengadilan. Pada bulan Juni, pengadilan pindah ke sana seperti dari London ke Scotlandia, pengadilan. Ini semacam pengadilan. Semacam pengadilan terakhir di Eropa.” Visinya untuk kepausan, katanya, adalah untuk “menghilangkan semua kesan pengadilan dan memberikan apa yang sungguh-sungguh merupakan pelayanan pastoral.”
Sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Argentina, Kardinal Jorge Mario Bergoglio diketahui telah pindah dari istana uskup agung, memasak sendiri dan menggunakan transportasi umum.
Ketika pertama kali muncul di balkon Basilika St. Petrus pada malam pemilihannya, ia hanya menggunakan jubah putih sederhana dan menolak mengenakan mozzeta beludru tradisional, sepatu merah, dan salib emas untuk paus baru. Uskup Agung Brisbane, Australia, Mark Coleridge, mengaku bingung. Sebagai orang yang bekerja di istana kepausan, di Sekretariat Negara di bawah kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II, ia (Mark Coleridge) merasa bahwa hal tersebut terlihat aneh. Kemudian Paus Fransiskus meminta mereka yang ada di lapangan untuk mendoakannya sebelum ia memberikan berkat.
“Jelas ini tidak seperti biasanya” kata Coleridge kepada NCR (National Catholic Report), menjelang 10 tahun pontifikat Paus Fransiskus. “Itu sama sekali bukan pertunjukan bisnis. Salah satu hal tentang Fransiskus adalah caranya membebaskan diri dari protokol yang sangat kuat di istana kepausan.” Perubahan selama dekade terakhir kata Coleridge, lebih dari sekedar kosmetik. Ini adalah “pembongkaran monarki kepausan” di mana pemimpin global Katolik ini menggeser gereja dari apa yang Coleridge gambarkan sebagai “gereja hierarkis menjadi gereja sinodal” dan “dari gereja yang berkuasa menjadi gereja yang miskin dan tidak berdaya”. “Pergeseran paradigma yang telah kita saksikan dalam 10 tahun terakhir ini sungguh mencengangkan,” tambahnya, “dan ini adalah sesuatu yang tidak pernah saya duga akan terjadi.”
Proses-proses baru untuk pemberitaan Injil
Pada 11 Oktober 2022, Fransiskus merayakan Misa yang menandai peringatan 60 tahun pembukaan Konsili Vatikan II, di mana ia mengatakan bahwa konsili yang dilaksanakan dari 1962-1965 merupakan momentum “menghidupkan kembali” misi gereja yang menghadap ke luar. Menurut Anna Rowlands, seorang profesor bidang pemikiran dan praktik sosial Katolik di Universitas Durham Inggris, 10 tahun kepausan Fransiskus tidak hanya dapat dilihat sebagai “membawa kita kembali ke ajaran-ajaran kunci tertentu dari konsili Vatikan II”, tetapi juga sebagai “penanaman ajaran tersebut dalam praktik-praktik gereja.”
Seperti yang diajarkan oleh Vatikan II, gereja tidak dapat dipandang sebagai institusi monarki atau vertical, menurut Rowlands. Sebaliknya, konsili ini mengangkat pentingnya keseluruhan gereja. “Dan jika sungguh melihat gereja sebagai umat Allah, maka yang perlu kita perhatikan adalah apa yang Roh Kudus lakukan dan membiarkan proses itu berbicara,” katanya kepada NCR. Teolog Italia, Andrea Grillo, yang mengajar di Pontifikal Ateneum St. Anselmus mengatakan, “mengembalikan sisi dinamis ke dalam tradisi Katolik dan mengatasi model visi Katolik abad ke-19 adalah jasa terbesar dari dekade kepausan ini,” katanya kepada NCR seaya menambahkan bahwa dalam 10 than terakhir, Fransiskus telah “membuka” apa yang telah menghalangi reformasi gereja di sejumlah bidang utama seperti liturgi, kehidupan keluarga, dan pertanyaan tentang otoritas.
Bagi Rowlands, salah satu proyek utama kepausan Fransiskus hingga saat ini adalah mengambil ajaran teologis inti dari konsili Vatikan II dan “mengubah ajaran-ajaran itu menjadi proses yang dapat diakses dan bermakna sehingga dengan memulihkannya ajaran-ajaran dan proses tersebut menjadi praktek-praktek institusi.” “Dan itulah bagian yang saya pikir Fransiskus dan banyak orang lain merasa tidak pernah benar-benar terjadi dalam hal penerimaan konsili.”
Uskup Agung Roberto Gonzales dari San Juan, Puerto Rico setuju dengan mengatakan, “Fransiskus adalah paus paling penting dalam mengimplementasikan Konsili Vatikan II.” Sementa itu ia juga mengatakakan bahwa Yohanes Paulus II telah memulai inisiasi konsili, tulisan-tulisan teologis Paus Benediktus XVI meningkatkan pentingnya konsili dan Fransiskus telah memberikan contoh pelaksanaan konsili dengan Bahasa, gerak tubuh dan proses-prosesnya.
Bagi banyak pengamat, dua pilar terbesar dari proses reformasi Paus Fransiskus adalah fokusnya pada sinodalitas, yang ia gunakan sebagai kendaraan untuk mengimplementasikan reformasi konsili, dan Konstitusi Vatikan yang baru, yang secara dramatis memperluas jumlah peran kepemimpinan tertinggi yang dapat dipegangoleh pria dan wanita awam serta menata ulang departemen-departemen Vatikan di bawah prioritas utama penginjilan.
Di bawah judul Praedicate Evangelium (Beritakanlah Injil), Konstitusi Apostolik yang baru dirilis pada bulan Maret 2022 dan mulai berlaku pada bulan Juni, merombak birokrasi pusat Vatikan untuk pertama kalinya dalam lebih dari 30 tahun. Kardinal Arthur Roche, prefek Dikasteri Vatikan untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, mengingat kembali apa yang ia dengar dari sesame kardinal yang berpartisipasi dalam pertemuan para kardinal menjelang konklaf 2013 yang memilih Fransiskus, “Suara yang terdengar di atas semua suara lainnya adalah Kardinal Bergoglio yang mengatakan bahwa kita harus berhenti mawas diri dan menemukan kembali bahwa sifat dasar gereja adalah missioner.” Dia (Fransiskus) mengatakan bahwa gereja yang berhenti bergerak akan kehilangan hakikatnya,” kata Roche dalam sebuah wawancara dengan NCR.
Konstitusi baru tidak hanya mereformasi Kuria Roma, tetapi juga menuntut reformasi kuria-kuria keuskupan di seluruh dunia, kata Roche, seraya menambahkan bahwa inti dari semua struktur gereja haruslah menjadi sebuah pertanyaan: “Bagaimana kita menjadi lebih missioner?” Coleridge juga menunjuk pada reformasi konstitusional, yang setelah Sembilan tahun dalam proses, menekankan desentralisasi – menyatakan secara eksplisit bahwa, kantor-kantor kuria berada di bawah pelayanan paus dan para uskup di seluruh dunia, bukan di atas mereka – dan meningkatkan pentingnya tanggung jawab bersama termasuk dengan kaum-kaum awam. “Ini mungkin bukan peluru ajaib, tetapi ini adalah upaya terbaik yang dapat diharapkan untuk mengubah budaya,” Coleridge mengakui. “Jika hal ini dijalankan, ini adalah upaya terbaik yang dapat diharapkan mampu mengubah tidak hanya budaya Vatikan, tetapi juga gereja di seluruh dunia.”
Sinodalitas menjadi pusat perhatian
Pada akhir Konsili Vatikan II, pada tahun 1965, Paus Paulus VI membentuk Sinode Para Uskup, di mana para uskup dari seluruh dunia berkumpul di Roma setiap beberapa tahun sekali untuk mendiskusikan tema-tema besar tertentu dalam kehidupan gereja. Namun, Fransiskus telah mengubahnya dari sebuah acara menjadi sebuah proses dan cara utama untuk mengundang partisipasi dari semua anggota Gereja.
Sinodalitas yang berarti “berjalan bersama”, kata Coleridge, telah berubah dari “beberapa uskup, sebagian waktu, menjadi semua uskup dan pada kenyataannya, semua gereja, sepanjang waktu.” “Sinodalitas mungkin merupakan hal terpenting yang telah dilakukannya.” Kata Suster Fransiskan untuk Tobat dan Cinta Kasih Kristiani Katharina Kluitmann dari Jerman. Kluitmann yang pada tahun 2018 menjadi Presiden Konferensi Superior Jenderal Jerman mengatakan bahwa sinodalitas menanggapi dua masalah besar yang dihadapi gereja saat ini: krisis pelecehan seksual oleh klerus dan bagaimana gereja mengkomunikasikan pesannya kepada dunia di sekitarnya, terutama ketika gereja kehilangan kredibilitas moralnya. “Pelecehan seksual selalu merupakan penyalahgunaan kekuasaan” dan “komunikasi adalah cara terbaik untuk melawan kekuasaan itu, tetapi seringkali kita tidak tahu bagaimana melakukannya dengan baik.” Katanya kepada NCR.
Kluitmann melanjutkan, dengan sinodalitas, gereja mengubah cara berkomunikasi tentang isu-isu penting. Sejauh ini Fransiskus telah menyelenggarakan sinode tentang perkawinan dan kehidupan keluarga, kaum muda, serta wilaya Amazon dan lingkungan – Ini lebih dari sekedar konten, ini mengubah gaya dan cara gereja beroperasi. Dengan proses sinode yang sedang berlangsung saat ini yang menyelenggarakan sesi mendengarkan umat Katolik di seluruh dunia untuk membahas sejumlah topik yang pernah dianggap tabu dalam kehidupan gereja. Sr. Anne-Beatrice Faye dari Kongregasi Bunda Maria Immaculata dari Castres, Senegal menggemakan pengamatan Kluitmann dengan mencatat bahwa sinodalitas memungkinkan kedekatan gereja dengan umat dan menekankan sifat missioner gereja. Ia menambahkan, “perspektif kepausan Paus Fransiskus dimulai dari bawah, dari perhatian terhadap kaum pinggiran. Dia mengundang kita untuk memulihkan kesegaran asli Injil, sehingga kasih Yesus menjangkau seluruh dunia.”
Untungnya, gereja menemukan manfaat dari mendengarkan satu sama lain dalam pengakuan akan kondisi kekristenan kita bersama. Ketika masyarakat semakin terpolarisasi dengan kelompok-kelompok yang saling menutup diri, sinodalitas mengundang kita untuk saling mendengarkan agar “gereja tidak kehilangan kontak dengan realitas dengan orang-orang.” Kata Roche. Pada akhirnya, katanya, sinodalitas merupakan panggilan bagi gereja untuk menjadi “alat metanoia”, bukan “paranoia”. Metanoia terbuka, menuju pada Tuhan dan kepada orang lain. Kata Kardinal Roche. “Paranoia bersifat obsesif dan menutup diri dan kita terkunci di dalam diri sendiri.”
Paus yang bebas dan berpikiran masa depan
Ketika para uskup dari Amerika Latin berkumpul di Aparecida, Brasil pada tahun 2007 – di mana Kardinal Bergoglio saat itu menjadi perancang utama dokumen finalnya – mereka menulis, “kita hidup melalui suatu perubahan zaman, level yang paling dalam adalah budaya.” Subjektivitas individu berkuasa dikeluhkan dan ekonomi pasar serta teknologi, alih-alih sebagai suatu relasi dengan Tuhan, justru sebaliknya mendefiniskan hubungan antar-manusia. Gonzales dari Puerto Rico yang saat itu hadir di Aparecide mengatakan bahwa kenyataan ini, “sangat hadir dalam pikiran dan misi Paus Fransiskus.”
Teolog Argentina, Emilce Cuda, yang menjabat sebagai wakil sekretaris Komisi Kepausan untuk Amerika Latin mengatakan, “di dunia yang terjebak tanpa jalan keluar…. Seorang pemimpin agama dari ujung dunia telah berhasil menyatukan seluruh umat dan memotivasi mereka untuk keluar dan melintasi batas-batas yang ada.” Bagi Emilce Cuda, Paus Fransiskus membawa “gereja keluar dari tembok-temboknya.” Di sisi lain bagi Teolog Rowlands, kunci untuk memahami apa yang telah dilakukan Fransiskus selama 10 tahun terakhir dan ke mana ia akan pergi – dari sinode-sinode, untuk memahami perjalanannya atau bagaimana ia menavigasi ketegangan atas isu-isu perang budaya yang sedang hangat – adalah bahwa ia mencoba memulai proses baru dengan penekanan pada perjumpaan.
Dia (Paus Fransiskus) percaya bahwa kita telah menjadi generasi yang terpisah, tidak terhubung, dan secara bersamaan menjadi generasi yang pemarah. Dan dia berpikir bahwa satu-satunya penangkal virus itu adalah perjumpaan yang harus dilakukan tanpa perantara, segera, antar-muka, dalam skala kecil dan membangun skala yang lebih besar dari waktu ke waktu. Ungkap Rowlands. Bagi sebagian orang, hal ini telah menyebabkan reaksi yang luar biasa. Mendiang Kardinal George Pell menyebut kepausan Fransiskus sebagai “bencana” dan proses sinode sebagai “mimpi buruk yang beracun.” Namun, paus Fransiskus tampaknya tidak terpengaruh, dengan menjawab bahwa “kritik adalah hak asasi manusia.” “Dia tidak takut dengan konflik,” kata Rowlands. Meski dia tahu bahwa tidak semua konflik itu baik, beberapa konflik akan menghasilkan buah dan gereja harus melihat konflik dengan cara yang sehat dan rohani. Hal ini membuat Fransiskus tidak termakan oleh perang budaya Katolik yang telah begitu lama menimbulkan begitu banyak perdebatan dalam gereja.
Paus Fransiskus kurang tertarik dengan. Pertanyaan “siapa kita” – yang menurutnya merupakan “pertanyaan generasi yang cemas” – dan lebih tertarik untuk bertanya, “Di manakah Tuhan di dunia ini?” Mengenai kegelisahan dan kritik, Roche mengatakan penting untuk diingat bahwa Paus Fransiskus adalah “paus pembaharu” dan sepanjang sejarah, “paus pembaharu selalu berada di garis terdepan.” Untuk berubah adalah sebuah tantangan. Kebanyakan orang menyukai keamanan. Namun Roche tidak mau membiarkan mereka yang menolak perubahan itu lolos begitu saja. “Jika anda tidak mendengarkan Petrus, berarti ada sesuatu yang salah dengan kekatolikan anda karena dia adalah gembala universal. Dia telah dipilih oleh Roh Kudus. Dia mengemban kepercayaan dari gereja. Itu adalah panggilan setiap kardinal. Jika itu tidak terjadi, kami sesungguhnya tidak menjalankan sumpah kami dengan serius.”
Pada tahun yang ke-10 ini, Coleridge percaya bahwa hal yang sangat penting bagi keaslian Fransiskus dan kesuksesannya adalah, “dia tidak takut dan bebas.” Ada begitu banyak orang di dalam gereja yang sangat terkekang oleh rasa takut. Ke mana arahnya tidak dapat ditentukan. Serahkan pada Roh Kudus. Tetapi melalui kesaksian pribadi paus dan proses-proses baru, Coleridge percaya bahwa Paus Fransiskus sedang memetakan raha baru bagi Gereja Katolik. Fransiskus tidak takut akan masa depan. Ini adalah perasaan untuk bergerak melampaui rasa takut dan perasaan bahwa kita tidak memiliki banyak pilihan lain, “entah kita menjadi jenis gereja yang dipanggil oleh Roh Kudus, atau kita akan menjadi lembaga yang marah, tidak relevan dan menyusut.”
Setiap generasi harus memiliki dan mengambil kembali tradisi kerasulan dengan cara-cara yang baru dan kreatif. Ini bukan hanya sebuah paket yang kita serahkan. Ini adalah sebuah proses di mana setiap generasi harus membuat tradisi itu menjadi miliknya yang menunjukkan kecemerlangan Injil dan kebenaran Yesus.