CARILAH KEBIJAKSANAAN

20

Salah satu hal yang tidak pernah dilupakan oleh semua anggota Pramuka, adalah Motto Pramuka itu sendiri yakni: “Siap sedia.” Jika kita memasang tenda tanpa mengikat tali dengan aman, kita pasti tahu apa yang akan terjadi ketika angin kencang dan hujan deras datang! Keruntuhan tenda di tengah malam tentu merupakan gangguan yang sangat tidak menyenangkan! Atau, jika seseorang salah memakai sepatu bot, lalu mendaki gunung yang tinggi, hal itu pasti akan membuat kakinya lecet dan sangat perih. Atau jika seseorang membawa senter saat berkemah, tetapi tidak membawa baterai cadangan atau lupa membawa alat charge baterai, hal itu niscaya akan sangat mengganggu kenyamanan dan sukacita selama berkemah. Terkadang kita harus belajar dengan cara yang sulit untuk memperkirakan kebutuhan kita dan merencanakan sesuatu ke depan, sebelum terlambat. Para petani, misalnya, menyiapkan ladang bukan pada saat musim hujan! Demikian pun kawanan semut, tekun bekerja untuk membuat sarangnya di dalam tanah dan mengumpulkan bekal bukan pada saat musim hujan, melainkan selama musim kemarau. Semua contoh ini mau mengajarkan kita betapa pentingnya bersikap bijaksana dalam hidup ini.

Bacaan-bacaan suci pada hari ini (Minggu Biasa ke-32, tahun liturgi A) pada intinya berbicara tentang hal yang kurang-lebih sama, yakni “Kebijaksanaan”. Menarik bahwa bacaan pertama hari ini (Keb 6:12-16) mempersonifikasikan hikmat atau kebijaksanaan itu sebagai seorang wanita. Penulis menasihati orang-orang Yahudi di Alexandria untuk tidak iri terhadap kebijaksanaan para filsuf kafir, karena sesungguhnya mereka sendiri memiliki hikmat atau kebijaksanaan sejati dalam Kitab Suci mereka; sebuah hikmat atau kebijaksanaan yang mengatur tidak hanya kehidupan mereka sekarang di dunia ini,  melainkan juga kehidupan selanjutnya. Karena itu, mereka harus menjalani hidup mereka dengan tunduk sepenuhnya pada hikmat atau kebijaksanaan Ilahi yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah yang murah hati. Mereka yang cukup waspada untuk menemukan dan menyambut Kebijaksanaan juga akan menemukan bahwa mereka akan siap untuk sisa perjalanan, yakni peralihan dari kehidupan ini ke kehidupan selanjutnya. Sesungguhnya Kebijaksanaan itu sedang mencari mereka yang menantikanNya. Hal ini berarti Allah dengan senang hati menyatakan Diri-Nya, tetapi secara misterius dengan cara-Nya sendiri, sesuai dengan waktu-Nya sendiri. Allah dapat ditemukan, tetapi hanya oleh mereka yang tidak pernah menyerah dalam pencarian, melainkan yang dengan penuh kesabaran menantikan inisiatif-Nya. Dalam hal ini, “kebijaksanaan dan kesiapan paling mendalam adalah hidup dengan tulus, jujur, tanpa kekerasan (Bdk. Mat 5), serta memenuhi kebutuhan dasar sesama (Bdk. Mat 25).”

Dalam bacaan kedua (1 Tes 4:13-18), dengan menyampaikan hikmat, kebijaksanaan atau Firman Allah, Rasul Paulus meyakinkan jemaat Kristen di Tesalonika yang mengharapkan kedatangan kedua Yesus dalam hidup mereka. Bahwasanya wafat dan Kebangkitan Kristus merupakan satu-satunya jaminan keselamatan, bahkan juga bagi mereka semua yang meninggal dalam Kristus sebelum kedatanganNya yang kedua kalinya pada akhir zaman. Namun untuk itu, mereka semua diajak untuk senantiasa waspada, siap, dan berjaga-jaga.

Selanjutnya, dengan menyampaikan perumpamaan mengenai gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh, Yesus dalam kutipan Injil hari ini (Mat 25:1-13) ingin menyampaikan ajaran tentang kedatangan Kerajaan Allah. Bersama dengan tiga perumpamaan lainnya (dalam Mat 25 dan 26), perumpamaan ini memberikan aplikasi yang tajam bagi umat yang setia, yang sedang menyesuaikan diri dengan penundaan tidak terduga menyangkut Parusia atau kedatangan kedua Kristus, yang sebagian besar diharapkan dalam hidup mereka. Perumpamaan ini sesungguhnya memiliki makna ganda: lokal dan universal. Makna lokalnya ialah bahwa para gadis yang bodoh mewakili “sebagian bangsa pilihan Tuhan” yang menanti-nantikan kedatangan Mesias, namun pada akhirnya justru tersisih dari perjamuan Mesianis karena ketidaksediaan mereka menerima undangan perjamuan itu. Sedangkan makna universalnya adalah bahwa lima gadis yang bodoh itu mewakili orang-orang yang gagal mempersiapkan diri untuk akhir kehidupan mereka. Dalam hal ini, yang terpenting bukanlah semangat rohaniah yang sesekali atau tiba-tiba muncul lalu hilang, melainkan kesiagaan tetap dan terus-menerus yang diwujudkan melalui perbuatan-perbuatan baik, dalam rangka menyongsong kedatangan Tuhan. Secara alegoris, para gadis (dalam perumapamaan Injil) mewakili Gereja atau komunitas Kristen yang menanti Kedatangan Kedua Kristus. Pengantin laki-laki adalah Kristus sendiri. Pesta pernikahan adalah momen besar dan sukacita di mana Kristus datang bagi GerejaNya (Why 19:9). Keterlambatan Pengantin laki-laki sesuai dengan penundaan Kedatangan Kedua Kristus (Parousia). Kedatangan Pengantin laki-laki pada tengah malam mengisyaratkan Kedatangan Kedua itu sendiri. Sedangkan pintu yang ditutup melambangkan penghakiman terakhir.

Secara harfiah, teks Injil hari ini bermaksud menjawab pertanyaan tentang, “Apa yang harus kita lakukan pada saat kita menanti Kedatangan Kedua Kristus”. Jawabannya adalah: “Pastikan bahwa kita memiliki cukup minyak untuk lampu kita!” Dalam hal ini, para ahli Kitab Suci mengusulkan beberapa makna yang dapat dipertimbangkan berkaitan dengan “minyak” itu sendiri. Pertama, “minyak” melambangkan hubungan pribadi kita dengan Allah yang merupakan Sumber dan Kuasa di balik perbuatan-perbuatan baik kita (Bdk. Mat 3:8, 10; 7:16, 17, 18, 19, 20; 12:33; 13:8, 23, 26; 21:19, 34, 41, 43). Hubungan ini bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dalam sekejap atau semalam, atau dipinjam dari orang lain sebagaimana dilakukan oleh gadis-gadis bodoh. “Keadaan anugerah” ini merupakan sesuatu yang harus kita terima secara langsung dan pribadi dari Allah. Kedua, “minyak” dalam Kitab Suci seringkali merupakan simbol Roh Kudus. Saat kita menyerahkan pekerjaan, niat, dan tujuan kita kepada Roh Kudus, Dia mengisi perbuatan kita dengan kekuatan dan efektivitas. Ketiga,  “minyak” melambangkan karakter dan nilai-nilai Kristiani yang tidak bisa kita pinjam atau kita beli, seperti yang dilakukan gadis-gadis bodoh. Metafora “minyak” itu merujuk pada cara kita menghidupi kehidupan yang penuh dengan kebajikan. Dalam hal ini,  kita tidak bisa “meminjam” kebajikan-kebajikan itu pada saat-saat terakhir, melainkan kita sendiri harus terus-menerus “menghidupinya” sepanjang hidup dengan bantuan rahmat Allah. Keempat,  “minyak” melambangkan “sumber daya spiritual”, yakni semua yang kita bangun melalui perbuatan-perbuatan baik, seperti perhatian terhadap mereka yang membutuhkan dan juga tindakan-tindakan keadilan. Kelima, “minyak” merujuk pada Iman Kristen yang sejati. Keenam, “minyak” adalah semangat rekonsiliasi dengan orang lain dan kesiapan untuk berbagi kehidupan dan berkat dengan sesama. Dan ketujuh, “minyak” juga merupakan referensi umum terhadap murid yang setia dan taat sebagaimana dijelaskan dalam seluruh Injil.

Demikianlah beberapa makna dari kata “minyak”, yang kiranya berkaitan erat dengan pengertian hikmat atau kebijaksanaan itu sendiri. Dalam hal ini, “kebijaksanaan” itu adalah sebuah keutamaan/kebajikan yang dapat diperoleh seseorang, bukan terutama secara natural atau alamiah, melainkan terlebih secara virtual atau artifisial, yakni lewat usaha, perjuangan dan kerja keras, keseriusan dan ketekunan. Ini berarti juga bahwa “kebijaksanaan” itu bukan sekadar “datum” (keterberian), melainkan juga dan terutama sebagai “tugas” yang harus terus-menerus diemban dan diupayakan dengan setia, tekun dan penuh tanggungjawab. Sekian sering, hikmah/kebijaksanaan itu dilawankan dengan “kebodohan”, namun sesungguhnya ia bukanlah sekadar pengetahuan intelektual belaka, melainkan menyangkut keseluruhan sikap dan cara  hidup atau cara berada yang berkualitas. Kebijaksanaan/Hikmah itu juga bukanlah sesuatu yang asing, terlampau jauh dan tidak tergapai, melainkan sesuatu yang dekat, akrab, dan intim dengan hidup kita. Karena itu, kita tidak perlu menghambur-hamburkan uang, waktu dan tenaga untuk mendapatkannya di tempat yang jauh di sana, di luar diri kita. Cukuplah kita menyediakan ruang dalam diri kita, membuka telinga, hati dan budi, niscaya kita akan menangkap pancaran cahaya hikmah/kebijaksanaan itu, yang senantiasa lembut menyapa serta mengetuk pintu, jendela, dan dinding-dinding batin kita. Dalam konteks ini, seturut ajaran iman kita, Hikmah/Kebijaksanaan itu tidak lain dari Sabda/Firman Tuhan, yang selalu lembut menyapa dan mengetuk pintu, jendela dan dinding batin kita setiap saat dalam hidup kita. Bahkan lebih dari itu, Hikmah atau Kebijaksanaan itu sesungguhnya telah menjadi Pribadi, menjadi Manusia, menjadi Darah dan Daging dalam diri Yesus Kristus, Sang Mempelai bagi masing-masing kita, maupun bagi seluruh persekutuan gerejani. Dialah Pelita atau Cahaya yang menuntun kita di lorong-lorong gelap dunia ini. Dialah Penebus dan Penyelamat, satu-satunya jaminan keselamatan, kebahagiaan dan kehidupan abadi kita. Karena itu, sebagaimana gadis-gadis yang bijaksana, hendaknya kita pun senantiasa berjaga-jaga, waspada dan siap sedia menyongsong kedatanganNya dengan berseru, Maranatha, “Datanglah Tuhan”!!!.…Amin.

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More