Catatan Kritis 5: Pak Ri, Jokowi dan Rezim Anti-Rakyat!

Oleh: Herdiansyah Hamzah [Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan Anggota Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA)]

111

Menyelami pikiran-pikiran Riwanto Tirtosudarmo atau yang akrab saya panggil “Pak Ri”, seperti menemukan suluh api. Ibarat handphone lowbat, membaca tulisannya seperti mengisi daya baterai penuh. Tidak hanya renyah, tapi juga melipatgandakan semangat. Dalam situasi rezim pemerintahan Jokowi yang pandai merangkul para intelektual, sulit menjaga konsistensi sebagaimana yang ditunjukkannya. Intelektual langka yang sulit ditemukan di antara belantara “intelektual kelas kambing”, yakni kelompok intelektual yang menurut Romo Y.B. Mangunwijaya adalah para intelektual yang menghitung 4×4=20 akibat telah dibutakan oleh kekuasaan[1] .

Pak Ri adalah tipikal intelektual yang tidak ingin pandai sendiri. Bahkan cenderung gelisah menumpuk pikiranpikirannya hanya di dalam kepala. Seperti kata Sukarno, “Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pakailah  pengetahuanmu untuk diamalkan”[2]. Seorang intelektual memang harus senantiasa tergoda dengan persoalan publik. Berdiam diri dan membisu, sama saja dengan membunuh rasa kemanusiaannya. Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals menyebut bahwa, “kaum intelektual harus berada dalam posisi untuk mengungkap kebohongan pemerintah, untuk menganalisis tindakan sesuai dengan penyebab dan motif mereka, dan sering kali memiliki niat yang tersembunyi”[3].

Muhammad Hatta, dalam pidatonya tentang Tanggung Jawab Moral Kaum Inteligensia, menyebutkan jika kaum inteligensia Indonesia mempunyai tanggung jawab moral terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia ada, duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggung jawab. Ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya. Sebab berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara, berarti mengkhianat kepada dasar kemanusiaan, yang seharusnya menjadi pedoman hidup bagi kaum inteligensia umumnya[4].

Catatan pendek ini tentu saja bukan pujian atas konsistensi Pak Ri sebagai intelektual publik semata, tapi juga semacam kritik terhadap persoalan kebangsaan yang diuraikan dalam tulisan Pak Ri bertajuk, “Jokowi: Pebisnis Politik Menggapai Indenesia Emas”. Tulisan yang saya yakini berangkat dari keresahan seorang intelektual terhadap bagaimana negara ini dikelola melalui tangan Jokowi. Seorang yang sejatinya lahir dari rahim pebisnis. Maka tidak salah jika pikiran Jokowi berkembang biak dalam alam bisnis. Kekuasaan dijalankan dalam kacamata bisnis. Seperti kata Pak Ri, “sebagai pebisnis, Jokowi mengkalkulasi politik seperti halnya bisnis”.

Lingkaran dalam (inner circle) Jokowi juga penuh dengan pebisnis. Hukum alam selalu begitu, minyak dengan minyak, air dengan air. Menteri-menteri Jokowi memiliki gen pebinis yang kental. Sebut saja Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi/Kepala BKPM), Sakti Wahyu Trenggono (Menteri Kelautan dan Perikanan), Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian), Erick Thohir (Menteri BUMN), Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Eknonomi Kreatif), hingga Nadiem Makariem (Menteri Pendidikan), dan lainnya. Jadi jika kebijakan negara cenderung pro investasi dan memberi karpet merah kepada para pebisnis, itu bukan hal aneh dan mengherankan.

Bahkan sekutu Jokowi di DPR juga mayoritas adalah pebinis. Menurut data Maripus Corner[5], 55 persen atau sebanyak 318 orang anggota DPR periode 2019-2024 adalah pebisnis. Artinya, sekitar 5-6 dari 10 orang anggota DPR adalah seorang pebisnis[6]. Dari angka tersebut, mayoritas diataranya merupakan pemilik perusahaan, sisanya menjabat sebagai direktur, wakil direktur, hingga komisaris[7]. Lebih menariknya lagi, aktivitas bisnis yang berafiliasi dengan anggota DPR didominasi oleh sektor energi dan migas, disusul teknologi, manufaktur, kontraktor, hingga perkebunan[8]. Situasi ini jelas membuka persenyawaan antara Jokowi dan DPR, terutama dalam pembentukan UndangUndang.

Persenyawaan antara Jokowi dan DPR ini pula yang membunuh konsep oposisi terhadap Pemeritahan Jokowi. Kata Pak Ri, “Mereka dengan mudah dikooptasi oleh penguasa”. Hampir tidak ada oposisi terhadap Jokowi. Tidak hanya lembaga legislatif, bahkan terhadap lembaga yudikatif juga dikooptasi oleh kekuasaan. Ini termasuk lembaga-lembaga yang lahir dari rahim reformasi, semacam KPK dan MK. Menurut Philip Selznick, kooptasi adalah proses menyerap unsur-unsur baru ke dalam kepemimpinan atau struktur penentu kebijakan suatu organisasi[9]. Jadi sederhananya, kooptasi merupakan upaya untuk mengambil alih suatu organisasi dengan menempatkan orang-orang tertentu dalam rangka mengendalikan kebijakan organisasi sepenuhnya.

Jokowi telah membunuh oposisi. Konsekuensinya, hampir semua kebijakan, termasuk produk undang-undang yang antirakyat dan pro investasi, berjalan mulus tanpa hambatan. Mulai dari undang-undang cipta kerja, revisi undang-undang KPK, perubahan undang-undang minerba, undang-undang MK, dan lainnya. Oposisi terhadap Jokowi, praktis hanya datang dari kelompok masyarakat sipil (civil society organization). Ini diuraikan oleh Pak Ri sebagai berikut, “Tapi saya kira jika ada yang disebut kelompok oposisi yang masih menyuarakan kritik terhadap pemerintah ya masyarakat sipil ini”. Hanya memang situasi oposisi yang lahir dari masyarakat sipil ini belum memiliki posisi tawar yang cukup, bahkan tidak memiliki nafas panjang untuk memilihara ritme gerakan. Ketiadaan oposisi yang kuat ini membuat Jokowi bebas mendorong regulasi yang memagari mimpi-mimpinya. Jokowi menggunakan istilah “Indonesia Emas Tahun 2045” sebagai legitimasi kebijakannya. Situasi dimana Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dengan jumlah penduduk 70% diantaranya adalah usia produktif. Namun sayang, Jokowi hendak menopang Indonesia Emas 2045 ini sebatas dalam kacamata infrastruktur. Kata Pak Ri, “Obsesi dan ambisi Jokowi untuk membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menggambarkan akumulasi dari mimpinya itu”. Proyek-proyek prestisius yang sejatinya hanya untuk membuka lapak-lapak baru bagi para pebisnis. Maka tidak salah jika banyak pihak yang menyebut Jokowi sebagai “rezim infrastruktur”, yakni rezim yang lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur dibanding pembangunan manusianya. Deretan panjang pembangunan infrastruktur yang disimbolisasi melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) ini tanpa ampun merampas tanah dan ruang hidup rakyat. Penindasan rezim Jokowi atas nama PSN ini ~86~ membentang dari Desa Wadas di Jawa Tengah, Poco Leok di Nusa Tenggara Timur, Air Bangis di Sumatera Barat, hingga Pulau Rempang di Kepulauan Riau. Rezim ini begitu bengis terhadap rakyat, maka benarlah yang dikatakan Pak Ri, “…….saat ini semakin jelas Suharto baru telah muncul, maka tidak ada kata lain selain, Lawan!!!”. Dan apa yang ditegaskan Pak Ri ini adalah juga menjadi keresahan kolektif para intelektual dan seluruh manusia yang masih berpikir waras. Manusia yang masih meletakkan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk melancarkan kritik dan perlawanan terhadap rezim yang anti-rakyat! Rezim yang lebih peduli terhadap para pemodal dibanding rakyat-nya sendiri.

[1] 1 Sumber : https://ipsh.brin.go.id/2014/05/19/kewajiban-kaum-inteletual/. Diakses pada tanggal 25 Januari 2024, Pukul 09.03 Wita.

[2] Cindy Adams. Tanpa Tahun. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Hlm.22. Buku ini dapat diunduh melalui link berikut ini : https://kepustakaanpresiden.perpusnas.go.id/uploaded_files/pdf/article_clipping/normal/BUNG_KARNO_PENJAMBUNG_LIDAH_RAKJAT_INDONESIA_by_Cindy_Ad ams.pdf. Diakses pada tanggal 25 Januari 2024, Pukul 09.23 Wita.

[3] Noam Chomsky. 1967. The Responsibility of Intellectuals. The New York Review of Books : New York. Dapat diakses melalui link berikut : https://chomsky.info/19670223/. Diakses pada tanggal 25 Januari 2024, Pukul 09.28 Wita.

[4] Bagian III Pidato Muhammad Hatta di Hari Alumni I Universitas Indonesia, 11 Juni 1957, yang diberi tajuk, “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia”. Artikel ini dapat dibaca melalui link berikut ini : https://nalarpolitik.com/sekolah-tinggi-arena-latihan-bertanggung-jawab/. Diakses pada tanggal 25 Januari 2024, Pukul 09.33 Wita.

[5] Marepus Corner adalah kelompok diskusi di lingkungan Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), atau kini berganti nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

[6] Sumber : https://www.liputan6.com/bisnis/read/4378020/penelitian-55- persen-anggota-dpr-pengusaha-potensi-konflik-kepentingan-besar. Diakses pada tanggal 25 Januari Pukul 10.55 Wita.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Philip Selznick. 1949. TVA and the Grass Roots. A Study in the Sociology of Formal Organization. Berkeley, Los Angeles: University of California Press. Page.259. Link Download : https://ia600704.us.archive.org/32/items/tvandgrassrootss00selzrich/tvandgra ssrootss00selzrich.pdf. Diakses pada tanggal 25 Januari Pukul 11.25 Wita.

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More