“JADILAH ENGKAU TAHIR”!!!
(Im 13:1-2. 44-46; 1Kor 10:31 – 11:1; Mrk 1:40-45) Hari Minggu Biasa VI/B (11 Februari 2024, Hari Orang Sakit Sedunia ke-32,)
Alkisah, Martinus, seorang kelahiran Hungaria dan dibesarkan di Italia (316-397), adalah seorang prajurit muda dalam dinas militer Romawi. Suatu hari, ketika sedang berkuda dengan berpakaian elegan, dia dihampiri oleh seorang kusta kedinginan, yang ingin meminta sedekah. Bau lukanya yang membusuk begitu menjijikkan bagi Martinus. Tetapi dorongan kuat dari dalam diri Martinus membuatnya mendekati pengemis tersebut. Karena yang dimilikinya cumalah sebuah mantel militer, ia memotongnya menjadi dua bagian dan memberikan separuhnya kepada si kusta pengemis itu, sementara dia sendiri membungkus dirinya dengan separuh yang lain. Hari itu sangat dingin. Pada malam hari, dalam mimpinya, ia melihat Yesus berpakaian setengah mantel, berkata kepada para malaikat di sekitar takhtaNya, “Martinus telah menyelimuti Aku dengan jubahnya.” Kejadian ini menjadi titik balik dalam hidupnya, yang kemudian menjadikannya sebagai Santo Martinus dari Tours, Perancis.
Rasa jijik alamiah Martinus terhadap kusta sesungguhnya tidak sebanding dengan sikap orang-orang Ibrani atau orang-orang Yahudi kuno terhadap kusta. Bagi mereka, kusta bukan hanya penyakit alamiah yang paling ditakuti, tetapi juga dianggap sebagai hukuman ilahi. Kisah Miryam, saudara perempuan Musa, yang terserang kusta akibat perilakunya (lih. Bil 12), serta kisah Ayub yang menderita penyakit kulit mirip kusta, memperkuat pandangan mereka bahwa kusta adalah hukuman ilahi terhadap dosa manusia. Dalam bacaan pertama (Im 13:1-2. 44-46), praktik mengerikan pengucilan orang-orang kusta dianggap sebagai kehendak Tuhan. Teks dari Kitab Imamat bab 13 ini dan sejumlah kisah lain dalam Alkitab menunjukkan bahwa orang-orang kusta pada zaman dahulu adalah mereka yang ‘mati’ selagi masih hidup. Hal ini disebabkan karena: (1) secara medis mereka tak terobati: kulit mereka membengkak dan membusuk, menjadi sangat ngeri; (2) secara sosial, mereka najis dan terusir dari masyarakat; (3) secara religius, mereka dianggap terkutuk oleh Tuhan; dan (4) secara personal, mereka merasa kehilangan martabat dan harga diri.
Tetapi Injil hari ini memberikan gambaran yang berbeda. Apakah kusta sungguh merupakan hukuman ilahi? Apakah perlakuan tidak manusiawi terhadap orang-orang kusta seperti yang dijelaskan dalam kitab Imamat adalah kehendak Tuhan? Jika memang semua itu adalah kehendak Tuhan, maka tidak mungkin Yesus, sang Mesias, ingin menyembuhkan seorang kusta. Di sisi lain, jika kusta adalah penyakit yang malang seperti penyakit-penyakit lainnya, maka ada kemungkinan bahwa Yesus yang, sebelumnya telah menyembuhkan banyak orang sakit, juga akan menyembuhkan si kusta itu. Orang kusta dalam Injil hari ini memutuskan untuk mencari kebenaran, satu kali dan untuk semua. Sambil mengabaikan hukum yang mengharuskannya menjauhi orang-orang, ia mendekati Yesus dan berlutut di hadapanNya. Ketimbang berteriak “Najis! Najis!”, ia malah berkata, “Jika Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku” (Mrk 1:40). Selanjutnya, dengan jawaban, “Aku mau. Jadilah engkau tahir!” (Mrk 1:41), Yesus sesungguhnya telah melakukan dua hal. Pertama, Dia mengembalikan pasien kusta ke kesehatannya semula. Kedua, penyembuhan itu membuktikan kepada si kusta dan kepada semua orang bahwa kusta bukanlah hukuman ilahi, melainkan penyakit biasa seperti penyakit-penyakit lainnya, yang mencegah orang untuk hidup sepenuhnya seperti yang dikehendaki Allah bagi semua orang.
Menurut keyakinan Yahudi kuno, kontak fisik dengan orang kusta membuat seseorang menjadi najis. Karena itu, orang-orang yang menganggap diri kudus, diharapkan menjaga jarak yang aman dari orang kusta. Dalam konteks ini, tindakan Yesus yang mengulurkan tanganNya dan secara fisik menyentuh orang kusta menjadi tidak terpikirkan. Apakah Ia tidak takut menjadi najis? Di sini, Yesus menantang dan mendefinisikan ulang pandangan tradisional tentang kesucian dan kenajisan. Yesus menantang keyakinan irasional dan prasangka tradisional bahwa orang-orang tidak suci karena kondisi kesehatan, status sosial, atau kelahiran mereka. Dengan meraih dan menyentuh orang kusta dan menjadikannya bersih lagi, Yesus mengajarkan kepada kita, para pengikut-Nya, untuk juga meraih serta memeluk mereka yang tersingkirkan dan terbuang di antara kita. Solidaritas semacam ini justru mengembalikan sepenuhnya kemanusiaan kepada mereka yang terdehumanisasi.
Dalam Pesannya pada Hari Orang Sakit Sedunia XXXII hari ini, yang bertema, “Tidak baiklah, kalau manusia sendirian” (Kej 2:18), Paus Fransiskus menegaskan bahwa orang-orang sakit, kaum rentan, dan orang-orang miskin, sesungguhnya merupakan inti dari Gereja dan, karena itu, harus menjadi pusat perhatian kemanusiaan dan pastoral kita. Pernyataan Sri Paus ini bertolak dari keprihatinannya terhadap situasi suram dewasa ini yang dialami sebagian besar orang sakit, lanjut usia, dan kaum rentan lainnya, yang sering mengalami kesendirian dan bahkan ditinggalkan. Realitas suram ini terutama disebabkan oleh budaya individualisme yang dengan segala macam cara mengagung-agungkan produktivitas, memupuk mitos efisiensi, acuh tak acuh, bahkan tidak berperasaan, ketika individu tidak lagi memiliki kekuatan yang dibutuhkan untuk mengimbanginya. Individualisme yang demikian itu melahirkan budaya membuang, di mana “manusia tidak lagi dipandang sebagai nilai terpenting yang harus diperhatikan dan dihormati, terutama ketika mereka miskin atau menyandang disabilitas, ‘belum berguna’ – seperti bayi dalam kandungan, atau ‘tidak lagi diperlukan’– seperti orang-tua” (Fratelli Tutti, 18). Cara berpikir seperti ini melatarbelakangi pengambilan keputusan politik tertentu yang tidak berpusat pada martabat manusia dan kebutuhannya, serta tidak selalu mendukung strategi dan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap manusia menikmati hak dasar atas kesehatan dan akses terhadap layanan kesehatan. Ketidakpedulian pada kelompok rentan dan isolasi terhadap mereka ini juga diperparah dengan pengurangan pelayanan kesehatan yang hanya sebatas penyediaan pelayanan, tidak ada “perjanjian terapeutik” antara dokter, pasien, dan anggota keluarga.
Dalam situasi suram seperti ini, Sri Paus mengajak kita untuk kembali mendengarkan kata-kata dalam Alkitab, ”Tidak baik, kalau manusia itu sendirian!” Inilah Firman yang disampaikan pada awal penciptaan dan dengan demikian mengungkapkan kepada kita makna mendalam dari rancangan-Nya bagi umat manusia. Bertolak dari inspirasi Firman ini, maka, bentuk perawatan pertama yang diperlukan dalam penyakit apapun adalah kedekatan yang berbela-rasa dan penuh kasih sayang. Merawat orang sakit berarti merawat semua relasi baik dengan Tuhan, dengan orang lain (anggota keluarga, teman, petugas kesehatan), dengan ciptaan, maupun dengan diri mereka sendiri. Menurut Sri Paus, hal ini dapat dilakukan, dan kita semua dipanggil untuk memastikan bahwa hal itu terjadi. Untuk itu, kita perlu belajar dari Orang Samaria yang Baik Hati (bdk. Luk 10:25-37), yang mampu untuk merendah dan mendekatkan diri pada orang lain, pada kasih lembut yang ia gunakan untuk merawat luka-luka saudaranya yang menderita.
Pada masa perubahan yang besar ini, kita, umat Kristiani khususnya, dipanggil untuk menjadi seperti Yesus yang penuh belas kasih. Mari kita peduli terhadap mereka yang menderita dan sendirian, yang terpinggirkan dan terasingkan. Dengan cinta terhadap sesama yang dilimpahkan Kristus Tuhan kepada kita dalam doa, khususnya dalam Ekaristi, marilah kita merawat luka kesendirian dan keterasingan. Dengan cara ini, kita akan bekerja sama dalam memerangi budaya individualisme, ketidakpedulian dan ‘budaya membuang’, serta memungkinkan tumbuhnya budaya kelembutan dan kasih sayang. Mudah-mudahan….Amin!!!