Pengantar Penulis
Ide penulisan serial esai tentang Jokowi ini berawal dari pertemuan saya dengan Bung Hendry Silaholo, jurnalis pegiat sosial yang mengelola sebuah media online, Konsentris, di Bandar Lampung. Saya berada di Bandar Lampung karena diundang oleh Dr. Arizka Warganegara untuk memberikan kuliah tamu di FISIP Universitas Lampung. Malam itu, pada kesempatan ngobrol di Wiseman Café yang dihadiri beberapa teman antara lain Alexander Gebe tokoh teater dan Fuad Abdulgani pegiat sosial dan dosen FISIP Universitas Lampung; Bung Hendry menawari saya untuk menulis di Konsentris, media online yang bergerak mandiri dari donasi dan tidak mau menjadi tempat sampah iklan. Menulis untuk media online, juga dengan sukarela, sudah menjadi kebiasaan saya sebelum mewabahnya Covid-19. Dengan adanya Covid-19 kebiasaan saya menulis menjadi kegiatan yang rutin saya kerjakan.
Ketika fenomena Jokowi menjadi semakin meriuhkan ruang publik, tergerak tangan saya, kenapa saya tidak menulis secara rutin setiap minggu tentang sosok Jokowi? Jadilah kemudian saya mulai menulis seri esai Jokowi setiap hari selasa untuk Konsentris. Sudah sepuluh esai saya tulis, artinya saya menulis sudah sepuluh minggu, terhitung sejak esai pertama saya dimuat tanggal 6 November 2023 (Jokowi Pebisnis Politik) dan yang ke-sepuluh tanggal 8 Januari 2024) (Jokowi dan Indonesia Emas). Mengapa Jokowi perlu dibahas di ruang publik secara terbuka? Menurut saya, tidak ada orang lain selain Jokowi yang saat ini paling berpengaruh di Indonesia. Tentu Jokowi menjadi paling berpengaruh karena dia adalah Presiden Republik Indonesia, tetapi yang menurut saya lebih penting dari itu karena menjelang berakhirnya masa kepresidenannya, Jokowi memperlihatkan tingkah laku politik yang membuat orang “kami tenggengen”.
“Kami tenggengen” yang istilah ini saya pinjam dari seorang teman, pegiat sosial dari Jogyakarta, yang bisa diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia kira-kira sebagai “membuat orang tertegun atau terheran-heran”, apakah betul itu Pak Jokowi yang selama ini kita kenal atau Pak Jokowi yang telah menjadi orang lain. Orang melihat tingkah laku politik Pak Jokowi, antara percaya dan tidak percaya. Esai-esai saya yang saya fokuskan pada Jokowi adalah upaya saya untuk mengupas sosoknya, dan mencoba membuatnya masuk akal kenapa begitu. Atau dalam Bahasa Inggris saya berusaha membuat fenomena Jokowi itu “make sense”. Karena saya memilih bentuk tulisan yang berupa esai, tulisan pendek rata-rata 1000 kata, tulisan itu samasekali jauh dari pretensi akademik. Tulisan itu sekedar “a short social commentary” tentang sebuah fenomena politik yang sedang mengharu-biru negeri ini. Harapan saya, meskipun mungkin hanya setitik, esai-esai Jokowi ini bisa menjadi bahan pembelajaran politik Bersama, sesuatu yang harus selalu kita lakukan, untuk memperbaiki keadaan supaya menjadi lebih baik.
Kepada beberapa teman saya meminta memberikan tanggapan dan catatan kritis terhadap sepuluh esai yang telah saya jadikan satu kumpulan esai itu. Untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada Firman Noor yang sedang di Stockholm, Halim HD di Solo, Baskara T Wardaya di Jakarta, Herdiansyah Hamzah di Samarinda, Dhia Al-Uyun di Malang dan Aprilia Wayar di Yogyakarta; atas kesediaannya menuliskan komentar dan refleksinya terhadap kumpulan esai saya. Bagi saya momen pertukaran pikiran dan gagasan di buku kecil ini yang dilakukan dalam situasi politik yang semakin hangat menjelang hari pemungutan suara tanggal 14 Februari 2024 adalah sebuah simposium. Simposium, kita tahu, adalah sebuah tradisi intelektual kuno di zaman Yunani ketika beberapa orang mendiskusikan sebuah pokok persoalan tertentu, biasanya sambil menikmati anggur, artinya dalam suasana yang relax. Buku kecil ini adalah sebuah simposium – Simposium Jokowi, sebuah kenduri pikiran dan gagasan yang diharapkan menjadi bacaan yang dapat mengingatkan kita semua untuk selalu memikirkan kehidupan bersama kita sebagai bangsa dengan akal sehat dan secara sadar memihak kepada keadilan sosial.
Jakarta, 30 Januari 2023
Penulis
Riwanto Tirtosudarmo, sejak lahir sampai menamatkan SMA-nya tinggal di Tegal, kemudian melanjutkan ke Fakultas Psikologi UI di Jakarta. Setelah lulus S1 bekerja sebagai peneliti sosial di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai pensiun. Pernah mengenyam pendidikan S2 dan S3 di bidang demografi-sosial di Australia disamping pernah diundang sebagai peneliti tamu di Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jepang dan Singapura. Membaca dan menulis adalah pekerjaan utamanya dari mahasiswa sampai sekarang. Selain membuat tulisan ilmiah dalam bentuk buku dan artikel jurnal, sejak masa pandemi yang lalu membiasakan menulis esai. Kumpulan tulisan dan esai-nya telah diterbitkan dalam empat buku “Mencari Indonesia”. Menulis puisi, meskipun tidak sering telah dilakukannya sejak lama, namun untuk disimpan sendiri. Belakangan, memberanikan diri menerbitkan kumpulan puisi-nya yang diberi judul “Secangkir Kopi di Pagi Hari”, dan yang akan diterbitkan “Di Galeri Sumbing”.