Hari Minggu Biasa XXXIII dalam tahun liturgi A ini mengingatkan kita tidak hanya akan akhir tahun liturgi, tetapi juga akan akhir segala sesuatu dan persiapan yang perlu kita lakukan untuk mencapai Surga. Tema utama dari ketiga bacaan hari ini adalah undangan untuk hidup sedemikian rupa dengan menggunakan talenta yang telah diberikan Tuhan dengan sebaik-baiknya, sehingga pada saat kematian kita, Tuhan akan berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia…. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu!” (Mat 25:21).
Bacaan pertama dari Kitab Amsal (31:10-13, 19-20, 30-31) menggambarkan seorang wanita yang baik dan setia, seorang istri dan ibu yang anggun, yang menunaikan semua tugas rumah tangganya dengan setia dan efisien. Selain itu, ia juga punya waktu untuk mengulurkan tangan membantu mereka yang miskin dan membutuhkan. Berbeda dengan “hamba yang jahat dan malas” dalam bacaan Injil, istri yang setia dan penuh kasih ini bekerja dengan tekun untuk membawa kebaikan kepada orang lain. Ia dianggap terpuji karena meningkatkan kualitas hidup di sekitarnya. Dan karena ia mengamalkan kasih terhadap Tuhan dan sesama, maka Tuhan berkata: “Harganya melampaui permata” (ayat 10). Melalui bacaan suci ini, kita diajak untuk bersungguh-sungguh dan rajin seperti seorang istri setia dalam menggunakan karunia yang diberikan Tuhan. Berbeda dengan orang yang memiliki satu talenta dan menguburkannya karena malas, ia justru mendayagunakan bakatnya untuk “menghasilkan kebaikan, bukan kejahatan” (ayat 12). Ia “merentangkan tangannya kepada orang miskin dan mengulurkan lengannya kepada yang memerlukan” (ayat 20). Dengan ini, penulis kitab Amsal percaya bahwa setiap orang seharusnya aktif, kreatif, dan penuh kasih dalam hidupnya.
Selanjutnya dalam bacaan kedua (1 Tes 5:1-6) dikisahkan bahwa, berhadapan dengan jemaat Kristen di Tesalonika yang cenderung lebih peduli dan sibuk memikirkan “waktu dan saat” kedatangan kedua Kristus ketimbang menghayati iman mereka sendiri, Rasul Paulus meyakinkan mereka bahwa tidaklah bijaksana untuk khawatir tentang “hari Tuhan” (ayat 2). Daripada sibuk memikirkan kapan saatnya Parousia itu terjadi, orang-orang Kristen seharusnya selalu “tetap berjaga-jaga dan waspada” (ayat 6), sambil terus menjalankan tugas-tugas mereka dengan setia. Bagi Paulus, hanya mereka yang menjalani hidup setiap hari secara aktif, kreatif, dan penuh semangat dalam mengamalkan perbuatan-perbuatan baik sebagai anak-anak terang-lah, yang sesungguhnya siap ketika “Hari Tuhan” itu tiba.
Penginjil Matius dalam petikan Injil hari ini menyajikan perumpamaan mengenai “talenta” (Mat 25:14-30), dengan konteks dan latar-belakang tentang akhir zaman. Perumpamaan ini berkisah tentang seorang tuan yang sangat kaya, yang hendak mengadakan perjalanan yang jauh. Untuk itu, ia menyerahkan sejumlah besar uang (talenta) kepada tiga hambanya, masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka: lima, dua, dan satu talenta. Satu talenta bernilai antara lima dan enam ribu dinar, atau sekitar 15 tahun upah kerja untuk buruh biasa. Bahkan satu talenta bisa bernilai lebih dari yang akan diperoleh seorang buruh seumur hidupnya. Dengan demikian, jumlah talenta ini tentu sangatlah besar bagi hamba-hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak menghasilkan apa-apa Tuan yang kaya itu dengan sukarela memberikan tanggung jawab dan kesempatan kepada ketiga hambanya untuk bertindak tanpa pengawasannya. Melalui perdagangan dan investasi yang bijak dan kreatif, hamba dengan lima talenta berhasil menghasilkan lima talenta lagi. Dengan kata lain, ia berhasil menggandakan uang tuannya. Selanjutnya, hamba dengan dua talenta melakukan hal yang sama. Ia berhasil menggandakan dua talenta lagi. Sedangkan hamba ketiga dengan satu talenta justru mengubur talentanya di dalam tanah. Dia takut mengambil risiko, takut akan konsekuensi kehilangan semua uang, dan takut akan reaksi tuannya jika dia gagal menggandakannya. Demikianlah, pada hari perhitungan, sang Tuan memberikan pujian dan ganjaran kepada kedua hamba yang kreatif dan bijak, tetapi sebaliknya menghukum hamba ketiga yang disebutnya “jahat dan malas”. Sang Tuan juga mengambil kembali talenta hamba ketiga dan memberikannya kepada hamba pertama. Dalam hal ini, jelaslah bahwa sang tuan atau majikan tidak menginginkan keamanan, melainkan inisiatif dan kreatifitas. Dia pun menilai jawaban, penjelasan, dan argumentasi dari hamba ketiga sebagai alasan semata-mata untuk membenarkan kemalasan dan sikapnya yang tidak bertanggung-jawab.
Melalui perumpamaan Injil hari ini, sesungguhnya Yesus ingin mengajarkan beberapa hal kepada para pendengarNya. Pertama: bahwasanya Allah memberikan setiap orang berbagai bakat atau talenta untuk digunakan sesuai dengan maksud-Nya. Segala sesuatu adalah pemberian, dan semuanya dimaksudkan untuk dikembalikan dalam wujud pelayanan kasih kepada Tuhan dan sesama. Kita hanya diminta untuk sepenuhnya mengembangkan apa yang telah kita terima secara istimewa dari Tuhan, dan selanjutnya mendayagunakannya demi kebaikan dan kesejahteraan banyak orang. Dalam hal ini, seluruh keluarga umat manusia memiliki tanggungjawab untuk melestarikan keindahan, keragaman, dan integritas alam serta mendorong produktivitasnya. Kedua: semakin baik pekerjaan kita, semakin besar tanggung jawab kita. Dalam hal ini, Allah akan memberikan tanggungjawab yang semakin besar kepada mereka yang secara kreatif berhasil menggandakan atau mengembangkan talenta atau bakat yang yang telah dianugerahkan Allah secara cuma-cuma. Ketiga: mereka yang malas dan tidak produktif akan dihukum. Ini berarti bahwa bahkan orang dengan hanya satu talenta pun memiliki sesuatu untuk ditawarkan kepada orang lain. Jika dia malas dan menolak untuk melakukan pekerjaan baik, dia akan kehilangan apa pun yang dia miliki. Sebaliknya, jika dia berusaha melakukan sesuatu yang baik, sekalipun pada akhirnya gagal, dia akan mendapatkan belas kasihan dan pengampunan dari Tuhan. Keempat: Allah memberkati pemberi yang murah hati dan menghukum penimbun yang egois. Mereka yang murah hati dalam berbagi talenta, bakat atau kemampuan yang diterima secara cuma-cuma, akan mengalami dan merasakan bahwa diri mereka terus-menerus diberkati secara tak terukur, sementara mereka yang karena cemburu, iri-hati, dan egois menyimpan atau memendamkan apa yang telah diterima secara gratis, akan kehilangan segalanya. Singkatnya, perumpamaan Injil hari ini menggambarkan hasil dari pengelolaan secara penuh dan maksimal terhadap segala sumber daya, kasih-karunia dan rahmat yang telah dianugerahkan Tuhan. Orang yang menerima atau tidak menolak karunia Tuhan, niscaya akan lebih banyak memiliki. Keberanian, kepercayaan diri, dan tanggungjawab dari para hamba yang bijak dan kreatif, memastikan bahwa mereka akan turut berbagi dalam “sukacita Tuhan”, justru karena kekayaan kehidupan dan bakat yang diberikan kepada mereka diinvestasikan untuk menghasilkan buah dalam pekerjaan iman, harapan, dan kasih.
Adapun tantangan yang ingin disampaikan melalui perumpamaan ini bagi para pendengar ialah, berani mengambil risiko untuk Kristus. Sesungguhnya Allah, yang mempertaruhkan segalanya dalam pribadi Yesus Kristus demi keselamatan kita, mengharapkan kita melakukan lebih dari sekadar berpegang pada keamanan atau kenyamanan. Melalui perumpamaan ini, Yesus mendorong para pendengar, para murid dan pengikut-Nya (termasuk kita sekalian di sini dan sekarang) untuk tidak takut, melainkan dengan percaya pada pertolongan-Nya, berani mengambil kesempatan dalam mendayagunakan, mengembangkan, serta memanfaatkan segala talenta, bakat, dan kesanggupan yang dimiliki demi kemuliaan Allah dan keselamatan sesama. Mungkin ada di antara kita yang mengidentifikasikan diri atau diidentifikasikan dengan hamba yang mengubur talenta tuannya, karena terobsesi atau dibayang-dibayangi oleh ketakutan akan hukuman, jika gagal menggandakan talenta yang dimiliki. Kekhawatiran akan hukuman bisa saja begitu intens, sehingga kita hanya fokus pada kemungkinan kegagalan dalam melakukan sesuatu yang baik dan positif. Akibatnya, kita akan semakin hanyut dalam sikap pasif, dingin, dan apatis, takut mengambil risiko dalam mengembangkan segala potensi yang dimiliki, juga dalam hal membangun dan memperluas relasi dengan sesama, serta berbagi kasih dengan orang lain dalam kehidupan kita. Perumpamaan Injil hari ini mengajarkan kita bahwa sikap “tidak mau mengambil risiko” sesungguhnya bukanlah sikap seorang Kristen sejati. Semoga sikap semacam ini tidak terjadi dalam hidup kita…….Amin!!!