Siapakah Yang Sama Dengan Allah?

MENDENGAR DAN MENANGGAPI PANGGILAN TUHAN

1 Sam 3:3b-10,19; 1Kor 6:13c-15a,17-20; Yohanes 1:35-42) Hari Minggu Biasa II/B

0 617

 “Panggilan Tuhan itu misterius. Ia datang dalam kegelapan iman. Ia begitu halus, begitu lembut. Hanya dengan keheningan terdalam dalam diri kita, kita bisa mendengarnya. Akan tetapi, tidak ada yang lebih pasti atau lebih kuat; tidak ada yang begitu tegas dan mendesak seperti panggilan itu. Panggilan ini tidak terputus; Tuhan selalu memanggil kita”. (Carlo Caretto, God’s Call)

Bacaan-bacaan suci hari ini berbicara tentang mendengarkan dan menanggapi panggilan Tuhan. Bacaan pertama menggambarkan panggilan Samuel, putra Hannah dan Elkanah pada masa tua mereka. Saat malam tiba, Samuel yang masih muda, mendengar suara ketika ia melayani di tempat kudus Tuhan. Mengira bahwa itu adalah imam agung Eli yang memanggilnya, ia pun pergi kepadanya untuk mengetahui apa yang diinginkan. Pada saat itu, Samuel ‘belum mengenal Tuhan dan Firman Tuhan belum pernah dinyatakan kepadanya’ (1 Sam 3:7). Selanjutnya, sadar bahwa Tuhan-lah yang memanggil Samuel,  maka Eli pun memberitahu Samuel untuk menjawab dengan kata-kata, ‘Berbicaralah Tuhan, hamba-Mu mendengarkan’ (I Sam 3:9). Kata-kata ini mencerminkan sikap keterbukaan dan pendengaran yang penuh perhatian yang diperlukan untuk memahami panggilan Tuhan dalam hidup kita. Inilah sikap yang harus kita tanamkan saat berdoa. Kadang-kadang kita membalikkan kata-kata Samuel, dengan mengatakan atau berpikir: ‘Dengarkanlah Tuhan, hamba-Mu berbicara’.  Tentu saja, Tuhan mendengarkan kita, tetapi kita harus terlebih dahulu mendengarkan dan memperhatikan apa yang dikatakan-Nya kepada kita. Dan Tuhan berbicara kepada kita tidak hanya dalam Kitab Suci, tetapi juga dalam kitab alam, melalui orang lain, dan dalam pengalaman kita sehari-hari. Dia selalu berbicara kepada kita dalam kedalaman hati kita dan memanggil kita untuk menjadi rekan kerja-Nya dalam menciptakan dunia yang mencerminkan kasih-Nya. Ketimbang suara yang tegas dalam keheningan malam seperti yang terjadi pada Samuel, panggilan-Nya kepada kita mungkin lebih mirip dengan tarikan pada benang-benang hati kita; sesuatu yang kita rasakan dalam momen tenang dan reflektif dalam hidup kita. Entah dengan cara apapun panggilan itu datang, penting bagi kita untuk mendengarkannya dengan penuh perhatian, apa yang Tuhan katakan kepada kita dan, selanjutnya mengikuti contoh Samuel, yang “semakin besar dan Tuhan menyertai dia dan tidak ada satu pun dari firman-Nya yang yang dibiarkanNya gugur” (1 Sam 3:9).

Bacaan Injil hari ini berkisah tentang panggilan murid-murid pertama Yesus, yakni Andreas, saudaranya Simon Petrus, dan Yohanes. Namun, agak berbeda dari Injil Sinoptik yang berkisah bahwa para murid dipanggil Yesus untuk meninggalkan perahu mereka lalu mengikuti-Nya (Mat 4:18-22.), Injil Yohanes berkisah  bahwa para murid datang kepada Yesus atas petunjuk Yohanes Pembaptis, bukan sebagai respons terhadap panggilan langsung Yesus. Mereka tidak meninggalkan perahu mereka, tetapi meninggalkan Yohanes Pembaptis.

“Panggilan Tuhan itu misterius. Ia datang dalam kegelapan iman. Ia begitu halus, begitu lembut. Hanya dengan keheningan terdalam dalam diri kita, kita bisa mendengarnya. Akan tetapi, tidak ada yang lebih pasti atau lebih kuat; tidak ada yang begitu tegas dan mendesak seperti panggilan itu. Panggilan ini tidak terputus; Tuhan selalu memanggil kita”. (Carlo Caretto, God’s Call)

Carlo Caretto God’s Call

Sebelumnya, Andreas dan Yohanes sudah menjadi murid Yohanes Pembaptis, dan Yohanes Pembaptis-lah yang menunjukkan Yesus kepada mereka dengan mengatakan, “Lihatlah Anak Domba Allah”!. Penggunaan gelar mesianik “Anak Domba Allah” ini menunjukkan bahwa Yohanes Pmbaptis mengakui Yesus sebagai Mesias dan bersedia membiarkan murid-muridnya mengikuti Yesus. Hal ini juga menjelaskan mengapa Andreas dan Yohanes segera meninggalkan Yohanes Pembaptis dan mengikuti Yesus. Selanjutnya Yesus berpaling kepada mereka dan bertanya,  “Apa yang kamu cari?” Inilah pertanyaan yang ditujukan juga kepada kita, yang mengundang kita untuk melihat ke dalam hati kita sendiri, dan mencoba untuk menemukan, dengan kata-kata Spice Girls, ‘Apa yang sungguh-sungguh kau inginkan?’

Hampir pasti bahwa Yohanes dan Andreas berharap menemukan Mesias yang akan memenuhi janji-janji yang diberikan kepada para nabi zaman dahulu,  yakni membebaskan Bangsa Israel dari penjajahan Romawi. Kita dapat berasumsi bahwa, seperti kebanyakan orang sezaman Yesus, demikian pun Andreas dan Yohanes tentu tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang bagaimana Mesias akan memenuhi janji-janji ini. Bagaimanapun juga, mereka bersedia membiarkan Yesus menunjukkan diriNya kepada mereka. Ketika mereka bertanya kepada Yesus di mana dia tinggal, Yesus tidak memberi mereka petunjuk untuk menuju ke rumahNya. Sebaliknya, Dia mengundang mereka untuk ‘datang dan melihat’ sendiri. Dalam hal ini, Yesus berkata kepada Andreas dan Yohanes, dan juga kepada kita: ‘Jika kamu ingin mengenal Aku, kamu harus tinggal bersamaKu’. Yesus ingin memiliki hubungan pribadi, persahabatan dengan mereka yang ingin mengikutiNya. Andreas dan Yohanes tinggal bersama Yesus ‘selama sisa hari itu’. Dan ternyata, satu hari pengalaman tinggal bersamaNya itu sangat menginspirasi mereka, sekaligus mengubah mereka secara radikal: dari sekadar murid menjadi orang beriman, dan dari sekadar pengikut menjadi pewarta Injil, kabar gembira. Selanjutnya, Andreas yang yakin bahwa mereka telah menemukan Mesias, memberitahu adiknya, Simon Petrus, dan membawanya kepada Yesus yang memandangnya dengan penuh perhatian dan memberinya nama baru, Kephas, yang berarti Batu Karang.

Setiap hari Tuhan mengundang kita: “Mari, ikutlah Aku.” Seperti kedua murid Yohanes Pembaptis, banyak dari kita dengan senang hati akan mengikutiNya. Tetapi Yesus selalu akan mengajukan pertanyaan yang sama: “Apa yang kalian cari?” Aristoteles, seorang filsuf besar Yunani  menulis, “Mereka yang ingin berhasil harus mengajukan pertanyaan awal yang tepat.” Inilah salah satu pertanyaan awal penting yang perlu kita ajukan kepada diri kita sendiri sebelum secara serius memutuskan untuk mengikuti Yesus.

Banyak orang mengikuti Yesus dengan berbagai alasan, tergantung pandangan masing-masing tentang Dia. Thomas Merton berkata, “Pemahaman kita tentang Tuhan memberitahu kita lebih banyak tentang diri kita sendiri daripada tentang Dia”. Hal ini telah cukup terbukti dalam Injil. Banyak yang melihat-Nya sebagai Penyembuh Agung, dan mereka mengikuti-Nya untuk disembuhkan dari berbagai penyakit mereka. Yang lain mengakui-Nya sebagai Guru yang mengajar dengan otoritas. Mereka mengikuti-Nya karena suka mendengarkan ajaran-Nya. Ada juga yang mengagumiNya sebagai Pembuat Keajaiban, dan mereka ingin menyaksikan mukjizat-mukjizat yang dikerjakan-Nya. Ada juga beberapa, seperti kaum Farisi, yang menganggap-Nya sebagai musuh dan ancaman terhadap otoritas dan status mereka. Karena itu, mereka mengikuti-Nya untuk menjebak Dia dalam perkataanNya dan memperoleh sesuatu untuk menuduh-Nya.

Karena itu, hari ini Yesus bertanya kepada kita: “Apa yang sedang kamu cari?” Dia ingin tahu mengapa kita mengikutiNya. Inilah pertanyaan penting yang harus dijawab dengan jujur ​​untuk memurnikan motivasi kita dan meningkatkan komitmen kita dalam mengikuti-Nya. Petrus menjawab dengan tepat: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6:68).

Pada hari Minggu kedua masa biasa ini, ketika kita memulai rangkaian pelajaran baru dari Injil, hendaklah kita memperjelas motivasi kita. Kita mengikuti Yesus karena kita menyatakan keyakinan yang kuat pada-Nya sebagai Tuhan dan Allah kita. Kita dengan rendah hati mengakui bahwa tanpa Dia, kita tidak ada dan tidak bisa melakukan apa pun. Dia-lah satu-satunya alasan hidup dan keberadaan kita. Hanya di dalam Dia kita bisa menemukan kelimpahan hidup, kebahagiaan, dan keselamatan. Dengan menyadari sepenuhnya hal ini, kita dikuatkan dan didorong untuk menghadapi segala tantangan dan ujian yang diberikan kepada kita. Viktor E. Frankl berkata, “Mereka yang memiliki alasan atau ‘mengapa’ untuk hidup, dapat bertahan dengan segala ‘bagaimana-nya, kehidupan itu”. Hanya Yesus yang membuat hidup kita bermakna dan berbuah, bahkan di tengah-tengah tantangan, kesulitan, kesakitan, dan penderitaan.

Tidak dapat disangkal bahwa ketika kita memandang sekeliling kita, kita melihat begitu banyak jiwa yang bingung dan tersesat. Mereka menjalani hidup, mencari makna dan kebahagiaan pada tempat dan hal-hal yang keliru: dalam narkoba, dalam kenikmatan duniawi, dalam harta, dan kuasa. Seperti Santo Yohanes Pembaptis, kita pun memiliki kewajiban untuk memberitahu mereka tentang Yesus: “Lihatlah Anak Domba Allah!” Dan sebagaimana Andreas, kita juga harus membawa mereka kepada Yesus agar mereka pun dapat menemukan makna hidup yang sejati.

Akhirnya, ada empat pelajaran penting yang dapat kita tarik dari bacaan-bacaan suci hari ini. Pertama, seperti Samuel, kita diingatkan akan pentingnya mendengarkan dan memperhatikan suara Tuhan serta menyimpan firman-Nya. Kedua, seperti Eli dan Andreas, kita pun diwajibkan untuk membagikan kabar baik kepada orang lain dan membawa mereka kepada Tuhan, tetapi selanjutnya membiarkan Tuhan sendiri yang mengambil alih semuanya. Kita tidak boleh menghalangi jalanNya. Ketiga, kita dihadapkan pada tugas untuk memperjelas apa yang kita cari dalam hidup dan harapan apa yang kita miliki dari Tuhan. Dan keempat, jika kita ingin menjadi murid sejati Yesus, kita harus bersedia tinggal bersama Dia, menghabiskan waktu bersamaNya, dan mengembangkan hubungan pribadi dengan-Nya. Hanya dengan cara itu, kita dapat menjadi murid, pewarta, dan pembagi kabar sukacita kepada semua orang.  Mudah-mudahan. Tuhan memberkati…..Amin!!!

 

Leave a comment