Siapakah Yang Sama Dengan Allah?

MERDEKA SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

1 21

Hari ini bangsa kita, Indonesia, merayakan ulang tahun ke-76 kemerdekaannya; sebuah kemerdekaan yang diraih para pahlawan kita dengan keringat dan darah demi membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan yang menyebabkan derita anak-anak bangsa seperti kemiskinan,  kebodohan, kemelaratan, dan lain-lain

(Sir 10:1-8; 1Ptr 2:13-17; Mat 22:15-21).

Sdr…Semua orang niscaya inginkan kebebasan, kemerdekaan. Filsuf Lord Acton membedakan kebebasan itu atas dua macam: “bebas dari” dan “bebas untuk”. Yang pertama, yakni bebas dari, cenderung bernuansa negatif, karena diandaikan adanya situasi yang membelenggu, baik dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Misalnya, belenggu kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan,  kecemasan, ketakutan, sakit penyakit, dan lain-lain. Berhadapan dengan belenggu-belenggu ini, selalu ada ikhtiar dari manusia untuk membebaskan diri darinya. Contoh sangat jelas, berhadapan dengan wabah yang menyeluruh atau pandemi covid-19, semua dan setiap orang secara komunal maupun individual berjuang dengan berbagai cara untuk membebaskan diri dan masyarakat dari bahaya fatal pandemi itu. Di sini tersirat makna pertama dari kebebasan itu, yakni bebas dari, yang memang bercorak negatif. Meskipun demikian, jenis kebebasan ini perlu sebagai prasyarat untuk wujudkan jenis kebebasan kedua, yakni “bebas untuk”. Jenis kebebasan ini menunjuk pada ikhtiar manusia untuk wujudkan segala potensi yang berharga dan bernilai demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.

Sdr….Hari ini bangsa kita, Indonesia, merayakan ulang tahun ke-76 kemerdekaannya; sebuah kemerdekaan yang diraih para pahlawan kita dengan keringat dan darah demi membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan yang menyebabkan derita anak-anak bangsa seperti kemiskinan,  kebodohan, kemelaratan, dan lain-lain. Kita patut bersyukur, karena berkat perjuangan dan pengorbanan para pahlawan bangsa, kita boleh meraih jenis pertama kebebasan/kemerdekaan, yakni “bebas dari” belenggu penjajahan. Inilah kondisi sekaligus prasyarat utama yang perlu demi terwujudnya jenis kebebasan kedua, yakni “bebas/merdeka untuk”. Dengan ini, terbukalah peluang yang luas bagi segenap anak bangsa untuk mengisi kemerdekaan pertama yang telah diraih dengan cara mengaktualusasikan segala potensi, bakat, dan talenta terpendam yang dimiliki demi terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan yang adil merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk tercapainya maksud dan tujuan ini, pertama-tama dibutuhkan para pemimpin bangsa dan negara yang bertugas menjalankan amanat rakyatnya. Dengan ini, kehadiran Negara dan para pemimpinnya dimaksudkan pertama-tama dan terutama demi mewujudkan “bonum commune“, kebaikan dan kesejahteraan yang adil-merata bagi semua, bukannya bagi diri sendiri atau segelintir orang. Dalam hal ini, kehadiran para pemimpin Negara sekaligus menjadi contoh dan panutan bagi seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Inilah yang dimaksudkan penulis kitab Putra Sirakh, “Pemerintah yang bijak mempertahankan ketertiban pada rakyatnya, dan pemerintahan orang arif adalah teratur. Seperti penguasa bangsa demikianpun para pegawainya, dan seperti pemerintah kota demikian pula semua penduduknya…..” (Sir 10:1-2). Dalam hal ini, para pemimpin patut mewaspadai dan menghindari pula semua tendensi negatif seperti kebencian, arogansi, kesewenangan, nafsu kuasa dan keserakahan, yang dapat menghambat terwujudnya bonum commune itu.

Selanjutnya maksud penulis kitab Putra Sirakh di atas dilengkapi Santo Petrus dalam bacaan kedua hari ini. Demi Yesus, Anak Allah yang menjadi Manusia, Petrus mengharapkan agar semua orang percaya hendaknya taat kepada semua yang memegang tampuk kekuasaan. Petrus juga minta agar setiap orang sadari dirinya sebagai orang merdeka: “Hiduplah sebagai orang merdeka. Janganlah gunakan kemerdekaan sebagai kedok kejahatan, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah. Hormatilah semua orang dan kasihilah saudara-saudaramu; takutlah akan Allah, hormatilah raja”! (1Ptr 2:16-17). Dalam hal ini Petrus tunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan antara ketaatan dan kemerdekaan. Ketaatan bukanlah pengudungan ataupun pengingkaran terhadap kebebasan, melainkan sebaliknya justru semakin mengukuhkan kebebasan itu. Dalam hal ini, ketaatan menunjuk pada kebebasan sebagai suatu bentuk determinasi diri pribadi secara sadar untuk melakukan suatu tindakan, justru karena adanya keharusan-keharusan obyektif yang melingkupi hidup manusia. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, keharusan-keharusan obyektif itu antara lain keadilan, kesejahteraan dan perdamaian bagi semua. Sedangkan dalam konteks religius, keharusan-keharusan obyektif itu antara lain cinta-kasih dan kebenaran. Inilah keharusan-keharusan obyektif dan universal yang menuntut ketaatan dari pihak manusia untuk dilaksanakan dan diwujudkan sebagai mestinya. Menolak untuk melaksanakannya akan mendatangkan khaos dan malapetaka, dan yang pada hakekatnya justru merupakan pengingkaran terhadap kebebasan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa ketidaktaatan justru menunjuk pada penyalahgunaan bahkan penyangkalan kebebasan; sebaliknya, ketaatan justru menunjuk pada penggunaan serta realisasi kebebasan yang benar dan sejati: “….memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu gunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk hidup dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih…..”(Gal 5:13).

Selanjutnya, ikhwal ketaatan yang benar ini semakin diperjelas oleh penginjil Matius, “Berilah kepada Kaiser apa yang menjadi hak Kaiser, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah”(Mat 22:21b). Sabda Yesus yang secara telak membungkam kaum Farisi dan Herodian ini pada intinya ingin membuka horizon pemahaman sempit manusia mengenai ketaatan dan kebebasan, yang cenderung direduksi pada tataran manusiawi belaka sembari mengabaikan dimensi ilahinya dengan segala konsekuensinya yang justru sering fatal bagi manusia. Pada hakekatnya, kebebasan manusia adalah kebebasan terberi yang dianugerahi Allah sendiri. Karena itu juga, hanya Allah sajalah yang dapat menuntut ketaatan total dan mutlak dari pihak manusia. Sedangkan dalam tataran horisontal manusiawi, ketaatan yang diberikan satu terhadap yang lain sesungguhnya bersifat relatif dan kondisional, termasuk di dalamnya ketaatan rakyat kepada para pemimpinnya. Hal ini kiranya sejalan dengan keyakinan iman kita bahwasanya semua manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, bukannya gambar atau rupa siapa pun yang sama-sama adalah makhluk ciptaan. Dengan demikian, maksud Yesus dalam kutipan Injil hari bukanlah untuk membatalkan ketaatan di antara sesama manusia, melainkan untuk menunjukkan hirarki atau tingkatan ketaatan yang benar sebagai perwujudan kebebasan sejati: “Berikanlah kepada Kaiser apa yang menjadi hak Kaiser, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah”.
Dirgahayu RI ke-76. Merdeka!!!

Show Comments (1)