Ungkapan familiarity breeds contempt, pada intinya mau menggambarkan bahwa “semakin seseorang mengenal sesuatu atau seseorang dengan sangat baik, semakin berkurang respek atau rasa hormatnya terhadap orang atau sesuatu yang dikenal itu”. Ungkapan ini kiranya setua peradaban itu sendiri. Kita dapat menemukan kebenaran ungkapan ini dalam berbagai karya, mulai dari fabel Aesop tentang ‘Rubah dan Singa’, hingga kisah Melibee dalam Canterbury Tales, di mana Chaucer mengatakan, “keakraban menghasilkan penghinaan”. Kita semua tahu dari pengalaman, apa arti nyata dari ungkapan ini dalam hidup kita. Kita terbiasa dengan orang-orang dan kita menganggap telah mengenal mereka. Kita menganggap mereka biasa saja dan bisa buta terhadap kualitas baik mereka. Kita lalu cenderung meremehkan dan cepat mencari kesalahan mereka. Kita kehilangan rasa takjub.
Dalam Injil hari ini kita mendengar tentang kembalinya Yesus ke desa asalNya setelah Dia berkeliling berkhotbah dan melakukan mukjizat di sekitar Galilea. Tidak diragukan lagi, berita tentang kegiatan-Nya sampai ke Nazaret dan pada hari Sabat Dia diundang untuk mengajar di sinagoga setempat. Awalnya, orang-orang heran, dan mereka mengenal sesuatu yang luar biasa dalam diri Yesus. Mereka pun bertanya, “Dari mana orang ini mendapatkan hikmat dan kekuatanNya untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar?
Kita tentu tidak tahu persis apa yang dikatakan Yesus di dalam sinagoga itu. Tetapi yang jelas, rasa kagum awal dari para pendengarNya dengan cepat berubah menjadi permusuhan dan penolakan. “Dia sangka siapa diriNya? Kami mengenalNya. Dia dibesarkan di antara kami. Dia hanya seorang tukang kayu lokal. Kami mengenal keluargaNya. Dia tidak berbeda dengan kami….” Begitulah reaksi orang-orang sekampung Yesus terhadap diriNya. Di sini, pengenalan dan keakraban tidak hanya menimbulkan penghinaan, tetapi juga ketidakpercayaan. Hal ini dikatakan secara jelas oleh Yesus kepada mereka, “seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya, di antara kaum kerabatnya, dan di rumahnya sendiri”. Yesus pun heran dengan kurangnya iman mereka.
Injil hari ini ingin mengatakan bahwa hambatan besar terhadap iman adalah keakraban; penolakan untuk percaya bahwa kehadiran Tuhan bisa datang kepada kita dalam bentuk yang begitu akrab seperti orang-orang di sebelah rumah atau tetangga kita; penolakan untuk mengakui bahwa Tuhan mungkin telah mengirimkan kita seorang nabi dalam seseorang yang, di mata kita, tidak sesuai dengan harapan kita. Kita bisa seperti penduduk Nazaret yang memiliki gagasan tetap tentang kapan dan di mana serta bagaimana Mesias seharusnya datang ke Israel. Tukang kayu lokal, putra Maria, tidak memenuhi harapan mereka. Dan mereka benar-benar kehilangan kesempatan itu.
Sebagaimana Yesus mengalami penolakan, demikian jugalah Yehezkiel. Bacaan pertama hari ini berkisah bahwa Yehezkiel menderita penolakan karena dia meramalkan kehancuran Yerusalem. Dialah salah seorang Israel yang diusir ke pengasingan oleh Nebukadnezar (Raja Babel), dan merupakan satu-satunya nabi yang dipanggil Tuhan untuk bernubuat di luar Israel. Pengasingan adalah pengalaman traumatis bagi orang-orang yang melihat diri mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan. Ditangkap dan diperbudak di Babel, mereka kehilangan semua yang mereka anggap berharga: kebebasan mereka dan hal-hal yang memberi mereka rasa identitas sebagai bangsa, yakni tanah mereka dan Bait Suci. Harapan mereka yang paling berharga telah pupus. Banyak dari mereka begitu putus asa sehingga mereka kehilangan iman kepada Tuhan dan janji-janji-Nya, serta beralih kepada dewa-dewa para penindas mereka. Tidak heran mereka menolak mendengarkan Yehezkiel. Namun, Yehezkiel diberdayakan oleh Roh dan diamanatkan oleh Tuhan untuk terus menyampaikan firman-Nya kepada umat itu, ‘entah mereka mendengarkan atau tidak’ (Yeh 2:5). Kita mungkin bertanya pada diri sendiri: siapa nabi masa kini, yang khotbahnya tidak didengarkan?
Dalam bacaan kedua hari ini, St. Paulus menarik perhatian kita pada jenis nabi lain yang Tuhan kirimkan di tengah-tengah kita, yang juga kita abaikan, dan bahkan meminta Tuhan untuk diambil dari tengah-tengah kita. Paulus menyebutnya “duri dalam daging”. Berbagai macam saran telah diajukan mengenai sifat duri dalam daging dari Rasul ini, tetapi itu bukanlah intinya. Bagi Paulus, itu adalah penemuan bahwa duri ini, kelemahan pribadi yang terus-menerus dia hindari, bisa menjadi saluran anugerah Tuhan, sebuah pintu menuju misteri salib Kristus. “Aku akan semakin bermegah atas kelemahanku, agar kekuatan Kristus turun ke atasku”. Paulus pun berkata kepada kita bahwa “menutup pintu tidak akan membantu, karena Tuhan yang datang kepada kita dalam daging bertemu dengan kita di sana, di dalam daging pengalaman kita, di dalam seluruh diri kita, dan di dalam dunia kita.
Pada intinya, bacaan-bacaan suci hari ini memanggil kita untuk membuka hati, pikiran, dan seluruh diri kita terhadap kehadiran Tuhan yang menantang dan sering kali mengejutkan di antara kita: dalam diri orang lain, dalam peristiwa-peristiwa kehidupan kita, di dalam Gereja, di dalam dunia kita. Tuhan selalu berbicara kepada kita, tetapi kita harus mendengarkan dan menggemakan kata-kata penyair, Patrick Kavanagh: “Hendaknya kita pun membiarkan Dia “mengejutkan kita”. Semoga….Tuhan memberkati!!!