Siapakah Yang Sama Dengan Allah?

Pembaptisan Bayi dan Peran Penting Orang Tua Seturut Kanon 868 § 1 Kitab Hukum Kanonik 1983

1 197

Dalam ajaran Gereja Katolik dikenal adanya pembaptisan kanak-kanak atau pembaptisan bayi. Pembaptisan kanak-kanak atau pembaptisan bayi ini sering dipermasalahkan dalam gereja. Pembaptisan bayi seringkali dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan juga kebebasan beragama bagi setiap orang. Masalah yang sering dilontarkan ini merupakan masalah yang sudah ada sejak dahulu kala.

Praktik baptis bayi sudah dilaksanakan sejak tahun 250 sebelum masehi di Afrika Utara Kemudian pada zaman Santo Agustinus (354-430 M) menjadi suatu kebiasaan umum di wilayah itu. Hal ini terjadi karena ajaran mengenai dosa asal yang sangat besar pengaruhnya. Apalagi ada ungkapan; ”Kalau anak-anak tidak dibaptis, mereka semua ke neraka (biarpun hanya ke’pinggir’ neraka saja)”.[1]

Hal utama yang dipermasalahkan dalam pembaptisan bayi ialah persoalan teologis mengenai hubungan iman dan baptisan. Bagaimana bayi yang belum bisa beriman secara pribadi boleh dibaptis? Bukankah baptisan itu mengandaikan iman?[2]

Walaupun demikian Gereja dan teologi dewasa ini sudah yakin bahwa Gereja harus membaptis semua orang termaksud bayi. Beberapa argumentasi muncul untuk menyetujui adanya pembaptisan bayi seperti, iman tidak bisa disempitkan hanya pada masalah pribadi saja, model iman bukan hanya hasil pewartaan atau khotbah saja dan iman itu merupakan karunia Allah, dan bukan sekedar usaha dan tindakan manusia. Pembaptisan kanak-kanak merupakan implikasi dan konsekuensi dari pembaptisan orang tua katolik. Orang tua yang telah dibaptis dan berpartisipasi dalam Tritugas Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja, dipanggil juga untuk memenuhi Tritugas ini kepada orang-orang yang dipercayakan secara khusus kepada mereka, yakni anak-anaknya. Karena panggilannya orangtua berhak dan bertanggung jawab dengan sekuat tenaga mengusahakan pembaptisan kanak- kanaknya.[3]

Alasan mendasar pembabtisan kanak-kanak karena anak-anak yang dilahirkan dalam kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal maka mereka membutuhkan kelahiran kembali di dalam Pembaptisan, supaya dibebaskan dari kekuasaan dosa dan dimasukkan ke dalam kerajaan kebebasan anak-anak Allah, ke mana manusia dipanggil. Gereja dan orang tua dapat dikatakan menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah, kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran.[4]

Kitab Hukum Kanonik 1983 memberikan perhatian khusus bagi praktik pembabtisan bayi. Kanon 868 § 1 memberikan syarat-syarat licitnya pembaptisan bayi. Kanon 868 § 1 berbunyi:

Agar bayi dibaptis secara licit, haruslah :

# Orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya  

# ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama Katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.

Kanon tersebut memiliki dua poin penting yang mengedepankan pentinya orang tua sebagai jaminan dasar licitnya pembaptisan kanak-kanak. Kanon ini mengingatkan kembali tugas orang tua katolik secara umum dan dalam mengusahakan keselamatan sedini mungkin bagi anak-anak.

Show Comments (1)