Sdr…Dalam Perayaan Kamis Putih pada malam hari ini, kita diajak untuk “mengenangkan” peristiwa Perjamuan Malam Terakhir yang diadakan Yesus bersama para muridNya; sebuah peristiwa iman yang sarat makna dan pesan, juga bagi kita sekarang dan di sini, Dengan bertolak dari peristiwa Perjamuan Malam Terakhir itu, kiranya kita boleh semakin memahami hubungannya dengan peristiwa Perjamuan Paskah Lama maupun Paskah Baru, serta penetapan Perayaan Ekaristi Gereja, sebagaimana dilukiskan dengan sangat indah dan runtut dalam bacaan-bacaan suci tadi.
Sdr…Penginjil Yohanes dalam petikan injilnya secara dramatis berkisah bahwa menjelang hari raya Paskah Yahudi, Yesus yang sudah memfirasatkan saat kepergianNya kepada Bapa melalui peristiwa salib dan kebangkitan, mengadakan Perjamuan bersama para murid, sebagai tanda kasihNya yang demikian besar kepada mereka hingga detik-detik terakhir hidupNya di dunia ini. Namun berbeda dengan para penginjil sinoptik dan juga Rasul Paulus (sebagaimana kita dengar dalam bacaan II tadi), penginjil Yohanes memang tidak menyinggung secara jelas tentang Kisah Institusi atau Kata-kata Yesus mengenai Penetapan Ekaristi pada saat Perjamuan Malam Terakhir itu. Sebaliknya, penginjil Yohanes justru menambahkan nuansa lain dari Perjamuan itu, yakni Pembasuhan Kaki para murid. Dengan ini, penginjil ingin menyampaikan beberapa pesan dan makna dasariah lain dari Ekaristi itu sendiri yang memang ditetapkan pada saat Perjamuan Malam Terakhir itu.
Yang pertama, sejalan dengan rasul Paulus, penginjil Yohanes pun memandang Ekaristi sebagai persekutuan manusia dengan Yesus Kristus yang adalah “tuan” sekaligus “hidangan” dari perjamuan itu. Dalam hal ini, selain sebagai penyelenggara utama Perjamuan, Yesus Kristus sekaligus adalah Anak Domba Paskah Sejati, yang menyerahkan Tubuh dan DarahNya sendiri, sebagai santapan rohani yang menjamin kehidupan dan keselamatan umat manusia. Dan justru karena itu juga, supaya dapat mengambilbagian secara layak dan pantas dalam perjamuan itu, manusia (termasuk para murid dan kita sekalian) terlebih dahulu harus disucikan dan dimurnikan dari segala dosa, baik dosa asal maupun dosa-dosa pribadi. Pemurnian dari dosa asal itu memang terjadi satu kali untuk selamanya melalui sakramen baptis, dengannya manusia lama kita ikut disalibkan dan mati bersama Kristus, agar kita boleh bangkit kembali bersamaNya sebagai manusia baru yang tertebus. Namun bagaimanapun, dalam diri manusia baru yang tertebus itu masih tetap tinggal berbagai kecenderungan tidak teratur yang bisa menyebabkan kita jatuh lagi dalam dosa-dosa pribadi. Karena itu juga perlu pemurnian terus-menerus melalui Sabda dan Sakramen, agar kita layak mengambil bagian dalam Perjamuan Tuhan itu. Hal ini jelas terungkap dari dialog antara Petrus dan Yesus dalam kutipan injil tadi. Yang kedua, dengan peristiwa pembasuhan kaki itu, Yesus yang adalah Tuhan dan Sang Guru ingin menunjukkan teladan mengenai pelayanan yang tulus, rendah-hati, tanpa pamrih, dan penuh kasih kepada sesama, sebagai salah satu dimensi dan makna hakiki ekaristi. Inilah teladan radikal, yang rasanya tidak terlalu mudah dilakukan para murid. Rasanya lebih gampang bagi para murid (dan kita sekalian) untuk membasuh kaki sang Guru, tuan, atau atasan kita, ketimbang membasuh kaki sesama kita, apalagi (membasuh kaki) mereka yang adalah orang-orang asing, kecil, sederhana, miskin, lemah, kaum pinggiran, terbuang dan yang dianggap sampah masyarakat. Kesulitan atau keengganan semacam ini sebenarnya secara tidak langsung telah diungkapkan Petrus dalam dialognya bersama Sang Guru dalam injil tadi. Petrus menolak untuk dibasuh kakinya, bukan karena ia merasa diri tidak layak di hadapan sang Guru, melainkan terutama karena ia tahu konsekuensinya, yaitu siap melayani sesama, bahkan melayani orang-orang kecil, sebagaimana telah dilakukan oleh Tuhan dan sang Guru. Dalam hal ini, bisa jadi kita pun sering bersikap seperti Petrus. Namun bagaimanapun, kita tidak mungkin dapat mengambil bagian secara pantas dalam perjamuan Tuhan tanpa sikap dan semangat pelayanan yang tulus, rendah-hati dan tanpa pamrih. Yang ketiga, dengan peristiwa pembasuhan kaki para murid, termasuk murid yang akan segera mengkhianatiNya, Yesus juga ingin menunjukkan makna dan dimensi lain dari ekaristi, yakni sikap dan semangat pengampunan terhadap sesama, termasuk terhadap para musuh dan lawan sekalipun. Dalam kata-kata Institusi atau Penetapan Ekaristi pada saat PMT itu, Yesus antara lain bersabda, “…..Inilah piala darahKu, darah perjanjian baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang, demi pengampunan dosa….”(Mat 26:28). Yesus rela menumpahkan darahNya di salib (yang secara antisipatif, simbolis dan sakramental ditunjukkan lewat pemberian anggur ekaristi pada saat PMT itu), justru karena Dia ingin mengampuni dan menebus dosa umat manusia, termasuk dosa penyangkalan dan pengkhianatan manusia terhadap DiriNya. Karena itu, rasanya mustahil bagi mereka yang sulit memaafkan, untuk dapat mengambil bagian dalam perjamuan ekaristi. Inilah hubungan antara PMT dan Ekaristi, serta beberapa dimensi, pesan dan makna hakikinya bagi kita. Selanjutnya kita boleh bertanya, bagaimana hubungan antara keduanya (PMT dan Ekaristi) dengan Perjamuan Paskah (baik Paskah Lama maupun Paskah Baru/Paskah Kristus sendiri)?
Di dalam bacaan I, penulis Kitab Keluaran secara rinci melukiskan tata-cara Perjamuan Paskah Lama yang harus dilakukan bangsa Israel di Mesir, lengkap dengan segala pesan dan maknanya. Atas nama Yahweh, Musa dan Harun sebagai Imam-imam Tuhan memerintahkan segenap keluarga Israel yang tinggal di Mesir untuk mengadakan Perjamuan Paskah pada tanggal sepuluh bulan pertama setiap tahun. Sore hari pada tanggal 14 bulan Nissan itu, anak domba paskah dikorbankan. Darahnya dioleskan pada kedua tiang pintu rumah dan jenangnya, serta dagingnya yang dipanggang dimakan bersama dengan roti tak beragi dan sayuran pahit. Mereka harus makan perjamuan itu dengan sikap siaga dan bergegas, karena pada malam itu Allah akan bertindak membinasakan semua anak sulung, baik manusia maupun binatang serta segala dewa bangsa Mesir, untuk membebaskan umatNya dari perbudakan Firaun. Dengan itu, rumah-rumah orang Israel yang tiang pintu dan jenangnya telah diolesi darah anak domba paskah, akan luput dari murka Allah. Inilah perintah dan peraturan mengenai Perjamuan Paskah Lama yang harus dilakukan bangsa Israel atau bangsa Yahudi turun-temurun, untuk mengenangkan peristiwa pembebasan bangsa Israel dari perbudakan bangsa penjajah (Mesir).
Sdr… Sebagai keturunan Yahudi, Yesus pun selalu merayakan Paskah. Dengan mengadakan PMT bersama para muridNya, Yesus sesungguhnya juga sedang memperingati Perjamuan Paskah Yahudi. Akan tetapi, para penginjil dan penafsir Perjanjian Baru lebih menaruh perhatian pada hubungan antara PMT dengan Perjamuan Paskah Baru, yakni peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus sendiri sebagai pemenuhan Paskah Lama. Dalam hal ini, Yesus Kristus dilihat sebagai Anak Domba Paskah sejati yang dikorbankan, untuk membebaskan bukan hanya bangsa Israel, melainkan seluruh bangsa manusia, bukan terutama dari perbudakan politis bangsa penjajah, melainkan dari perbudakan dosa. Dengan demikian, PMT merupakan antisipasi, persiapan, atau pendahuluan dari perayaan Paskah Kristus yang adalah pemenuhan Paskah Lama. Sedangkan Ekaristi yang ditetapkan pada saat PMT, yang selalu dan setiap saat dirayakan Gereja hingga kini, dipandang sebagai kenangan sekaligus penghadiran kembali secara sakramental peristiwa Paskah Kristus dengan segala kekayaan makna dan pesannya bagi kita, sekarang dan di sini.
Sdr…Kini, yang menjadi pertanyaan bagi kita ialah: sanggupkah kita menghayati makna dan pesan dari perjamuan ekaristi sebagaimana dikemukakan penginjil Yohanes dalam kutipan Injil hari ini, yakni kesediaan untuk terus-menerus bertobat dan memurnikan diri dari segala salah dan dosa; kerelaan untuk menjadi pelayan yang rendah hati, penuh kasih dan tanpa pamrih apapun kepada sesama kita; serta kebesaran jiwa untuk saling memaafkan dan mengampuni sesama yang bersalah, yang menyangkal, yang mengkhianati, dan yang menyakiti diri kita? Mudah-mudahan…..Amin.