Siapakah Yang Sama Dengan Allah?

SUKACITA DAN DAMAI NATAL

1 62

Konon, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun yang menderita kanker kehilangan seluruh rambutnya akibat kemoterapi. Ketika waktunya untuk kembali ke sekolah, dia dan orangtuanya bereksperimen dengan topi, wig, dan bandana (kain penutup kepala) untuk mencoba menyembunyikan kebotakannya. Akhirnya, mereka memilih topi baseball, tetapi anak itu masih takut akan cemoohan yang akan dia terima karena terlihat “berbeda”. Dengan mengumpulkan keberanian, dia pergi ke sekolah dengan mengenakan topinya. Namun betapa terkejutnya dia, karena ternyata semua temannya mencukur rambut kepala mereka untuk menunjukkan solidaritas mereka dengan dia. Itulah cara mereka menyatakan cinta dan simpati mereka.

Hari ini Gereja sejagad merayakan Natal, kelahiran Yesus, sang Juruselamat dan Jurudamai umat manusia. Inti perayaan Natal adalah undangan untuk mengalami damai sejati dan sukacita surgawi yang dibawa oleh Juruselamat Ilahi melalui kehidupan yang berbagi kasih. St. Yohanes memberikan alasan utama untuk sukacita Natal kita dalam Injilnya (3:16): “Sebab Allah begitu mengasihi dunia, sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Allah menunjukkan kasih-Nya kepada manusia berdosa dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal, yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus yang lahir di Betlehem. Yesus inilah juga yang akan menyelamatkan kita dengan sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya

Injil (Luk 2:15-20) pada hari raya Natal ini menyampaikan kepada kita tentang sikap dan tanggapan yang benar dari pihak manusia dalam menyambut kelahiran sang Bayi Natal,  sebagaimana ditunjukkan para gembala. Mereka adalah orang-orang kecil yang sangat tidak dihormati oleh kaum ortodoks Yahudi. Namun, yang hina di mata manusia ternyata terhormat dan berharga di mata Allah. Yang pertama-tama menerima kabar gembira kelahiran Yesus adalah para gembala yang sedang menjaga kawanan domba di padang Betlehem. Yang pertama bertemu dengan Sang Sabda dan Hikmat Allah yang menjadi Manusia, yang memuji dan memuliakan Dia, yang mengimani Dia dan mewartakan Dia sebagai Penyelamat, Kristus dan Tuhan,  justru para gembala sederhana ini. Benarlah kata Kitab Suci: “Semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Mat 11:25; Luk 10:21).

Injil juga berkisah bahwa setelah mendengar kabar sukacita dari malaikat mengenai kelahiran Sang Juruselamat, para gembala pun bergegas ke Betlehem. Di sana mereka mendapati Bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan terbaring dalam palungan. Sesungguhnya, melahirkan, menggendong, membungkus dan membaringkan dalam palungan masuk dalam kategori pengetahuan “menyentuh dengan tangan”. Dalam hal ini, Allah membutuhkan tangan manusia, dan Allah mempercayakan Diri kepada sentuhan tangan kasih manusia. Pengetahuan manual yang berkaitan dengan tangan manusia ini bermakna antisipatif. Artinya, ia sekaligus menunjuk pada akhir perjalanan hidup Yesus di antara manusia. Pada awal hidupnya, Yesus dibungkus dengan kain lampin; pada akhir hidup, Yesus dibungkus dengan kain kafan. Pada awal hidupnya, Yesus dibaringkan dalam palungan dan berumahkan kandang; pada akhir hidupnya, Yesus dibaringkan dalam kubur batu dan berumahkan kayu salib. Kehidupan Yesus di dunia diawali dengan kehinaan, dan diakhiri dengan kehinaan. Dalam hal ini, tepatlah ungkapan ini, “Dibutuhkan penderitaan demi keindahan”. Yesus menderita sehina-hinanya supaya manusia menjadi indah. Inilah kedahsyatan paradoksal. Dialah Hikmat Allah sekaligus kebaharuan yang melampaui segala ekspektasi manusia. Dan, sesungguhnya para gembalalah yang pertama-tama melihat sesuatu yang baru itu dalam diri sang Bayi Betlehem.

Yang pertama, mereka melihat Dia yang lahir itu sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia (Yoh 1:29.36). Inilah sebuah penglihatan jernih, yang tidak hanya sekadar dihubungkan dengan latarbelakang profesi mereka sebagai gembala yang senantiasa akrab dengan kawanan domba. Lebih dari itu, inilah suatu pengamatan batiniah yang tajam, yang mampu membaca sekaligus menafsirkan tanda-tanda lahiriah-manusiawi berkaitan dengan kelahiran sang Bayi itu. Istilah ‘Anak Domba Allah’, memang mengandung misteri. Dalam Perjanjian Lama, Allah mensyaratkan kurban anak domba yang tak bercela sebagai korban penebus dosa (lih. Im 4:32;5:6,14). Kitab Kejadian juga mencatat bagaimana Allah membebaskan bangsa Israel dari penjajahan Mesir melalui korban anak domba. Jika kita merenungkan kisah-kisah ini, kita akan memahami mengapa para gembala melihat sang Bayi yang lahir di kandang Betlehem itu sebagai  Anak Domba Allah. Bagi mereka, Yesuslah penggenapan makna kurban anak domba, yang tertulis dengan begitu seringnya dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Sebab oleh kurban Kristus, kita umat-Nya dibebaskan dari penjajah terbesar umat manusia, yakni dosa dan maut. Kurban Yesus merupakan penggenapan janji Allah dan nubuat para nabi, yang sudah dinanti-nantikan selama ribuan tahun. Kurban Kristus mengakhiri kurban anak domba Perjanjian Lama yang berkali-kali dipersembahkan, karena hanya kurban Kristuslah yang sesungguhnya dapat menghapus dosa kita manusia. Kurban Yesus yang memberikan kita hidup-Nya sendiri, menghantar kita kepada kehidupan yang kekal. Begitu besarlah kasih Allah kepada kita, sehingga Ia rela memberikan Putera-Nya yang Tunggal sebagai kurban tebusan atas dosa-dosa kita.

Yang kedua, para gembala juga memandang sang Bayi yang lahir di kandang hina itu sebagai Gembala yang Baik (Yoh 10:11-14). Sebagaimana pengamatan mereka mengenai sang Bayi yang lahir itu sebagai Anak Domba Sejati, demikianlah juga para gembala menemukan dalam diri Sang Bayi itu gambaran mengenai Gembala yang Baik. Sebuah pengamatan batinih yang jernih dan bening, yang didukung pula oleh latarbelakang profesi mereka sebagai para gembala. Dan sebagai para gembala, mereka sungguh tahu, kriteria dan kualitas apa saja yang perlu agar dapat disebut Gembala yang Baik.

Pertama: Seorang gembala yang baik mengenal setiap domba melalui namanya, dan mengetahui bagaimana dombanya bertingkah laku. Domba-domba mengenal gembala mereka juga. Mereka mengetahui apa yang akan Ia katakan dan lakukan. Yang terbaik dari semua itu, Gembala dan domba-Nya saling mengasihi satu sama lain. Seperti itulah adanya Yesus, Sang Gembala yang baik. Ia mengenal manusia melalui nama dan mengetahui semua tentang kita. Ia mengasihi kita dan menginginkan kita untuk mengasihi-Nya juga.

Kedua: Seorang gembala yang baik tidak pergi ke dalam kandang domba, dengan memanjat pagar seperti seorang pencuri. Ia membuka pintu lalu masuk ke dalamnya. Hal seperti itulah yang domba-domba harapkan darinya. Domba dan gembala tahu bahwa kandang itulah rumah mereka.

Ketiga: Gembala yang baik memelihara domba-Nya. Ia mengasihi domba-Nya. Ia memberi mereka makan dan minum. Ia menginginkan yang terbaik bagi setiap domba. Ia tidak pernah melakukan apa pun untuk melukai mereka. Seperti itulah Yesus dengan pengikut-pengikut-Nya. Ia mengasihi kita dan memberi kita santapan rohani serta memelihara kita. Ia menginginkan yang terbaik bagi diri kita.

Keempat: Ketika gembala membawa domba-Nya ke suatu tempat, Ia tidak memaksa mereka. Ia berjalan di depan mereka dan mereka mengikuti-Nya. Domba akan mengikuti gembala, tetapi mereka tidak akan mengikuti seorang yang asing. Seperti itulah berjalan bersama Yesus. Ia tidak memaksa kita, tetapi memimpin kita. Ia berjalan sebagai teladan kita.

Kelima: Gembala yang baik memberikan hidupnya bagi domba-dombanya. Kebanyakan gembala tidak harus memberikan hidup mereka untuk domba-domba mereka. Namun, mereka harus bersedia melakukannya. Yesus tahu Ia harus memberikan hidup-Nya untuk domba-domba-Nya. Ia akan mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan domba-Nya. Namun, tentunya, Ia akan bangkit kembali dan mengambil domba-domba-Nya kembali ke kandang besar-Nya di surga. Di sana, kita akan tinggal bersama-Nya sebagai Gembala yang besar untuk selama-lamanya. Demikianlah, kita diharapkan mengikuti Dia, sang  Gembala Agung, karena Ia tahu ke mana Ia pergi dan ke mana kita harus pergi. Dalam hal ini, Yesus, sang Bayi Natal itu dilihat para gembala tidak hanya sebagai Gembala Besar, melainkan juga sebagai Gembala yang Baik yang patut disembah dan diikuti.

Sdr…Sesungguhnya, inilah kejernihan pengamatan, sekaligus sebuah ekspektasi besar para gembala Efrata terhadap sang Bayi Natal yang terlahir di kandang hina Betlehem; sebuah harapan, yang justru muncul akibat kejutan serta kebaruan yang dikerjakan oleh Allah sendiri dalam peristiwa Penjelmaan Sang Sabda dan Hikmat Allah menjadi Manusia dalam diri Yesus, sang Bayi Natal itu. Inilah Hikmat Allah yang demikian agung bagi kita, dan yang mampu ditanggapi serta dipahami secara jernih oleh para gembala yang hina dina.

Karena itu, pada hari bahagia Natal ini, kita berdoa, kiranya kita pun dianugerahi hati yang rendah sekaligus bening dan jernih sebagaimana para gembala, agar kita pun mampu menerima serta mengenal Dia yang lahir di kandang hina itu sebagai Tuhan, Raja, Gembala Baik serta Anak Domba Allah yang menghapus dosa-dosa kita.

Selamat hari raya Natal bagimu semua. Immanuel, Tuhan memberkati…..Amin!!!

Show Comments (1)