Melalui Ibadat Tobat dan Pengakuan Dosa, Frater Seminari Tinggi St. Mikhael Meneguhkan Relasi dengan Kristus

Penfui, Mikhael News – Di sore hari yang cerah, Komunitas Seminari Tinggi St. Mikhael mengadakan Ibadat Tobat dan Pengakuan Dosa pada Kamis (9/10/2025), pukul 15.30 WITA. Kegiatan yang dilaksanakan sebulan sekali ini bertempat di Kapela Seminari Tinggi St. Mikhael dan diikuti oleh para frater. Ibadat dipimpin oleh Frater Reyes dan Frater Dom (Tingkat V).

Dalam kata pengantarnya, Frater Reyes menegaskan bahwa melalui sakramen tobat, setiap pribadi disadarkan akan kehadiran Allah sebagai sumber kasih dan pengampunan.

“Sebagaimana kisah perempuan berdosa yang datang kepada Yesus, kita juga adalah orang-orang berdosa yang oleh kerahiman Tuhan disadarkan untuk bertobat. Kita adalah pribadi yang rapuh dan sering jatuh, namun kita harus mampu bangun — bangun untuk berjalan lebih jauh,” ungkapnya.

 

Bacaan Injil yang menjadi rujukan dalam ibadat tobat diambil dari Injil Lukas 7:36–50 tentang Yesus diurapi oleh perempuan berdosa. Dalam renungannya, Frater Dom mengungkapkan bahwa kisah yang berlawanan antara Simon, seorang Farisi, dan perempuan berdosa menunjukkan pergerakan dari penghakiman menuju pengampunan, dari ritual menuju relasi, dan dari hukum menuju kasih.

“Perempuan berdosa itu dengan keberaniannya melakukan tindakan ekstrem — ia menangis, membasahi kaki Yesus dengan air matanya, dan menyekanya dengan rambutnya. Sedangkan Simon malah berbicara dalam hati, membuat penilaian dan menghakimi. Ironisnya, yang diam dan penuh penyesalan justru didengarkan oleh Yesus. Diamnya perempuan itu lebih bernilai daripada kata-kata yang penuh penghakiman,” jelas Frater Dom.

Ia menambahkan, “Ketaatan formal tanpa kasih autentik tidak memampukan seseorang untuk mengalami Allah secara nyata, sementara kerendahan hati yang sederhana membuka pintu rahmat. Allah lebih terpanggil oleh hati yang tulus daripada kesalehan yang hanya tampak luar saja.”

Dalam refleksinya, Frater Dom juga mengajak para frater untuk belajar dari kisah tersebut.

“Dalam rutinitas kehidupan di seminari, kita sering kali seperti Simon: disiplin dan taat pada aturan, tetapi hati kaku dalam mengasihi dan mudah menghakimi. Kita perlu belajar melampaui formalitas, seperti perempuan berdosa yang berani membangun relasi personal dengan Yesus melalui kasih, keterbukaan, dan penyerahan diri apa adanya.”

Ia menegaskan kembali bahwa kehidupan calon imam tidak boleh berhenti pada rutinitas doa, studi, kerja, atau aturan seminari, melainkan harus mengalir dari relasi pribadi yang hidup dengan Kristus. “Sebab hanya dengan kasih dan relasi yang nyata dengan Yesus Kristus, ketaatan kita memiliki makna,” tutupnya.

Setelah renungan, para frater diajak untuk melakukan pemeriksaan batin guna mempersiapkan diri menerima sakramen tobat. Usai ibadat, para frater secara bergiliran mengaku dosa kepada para imam dari Kongregasi Claretian, yang melayani sebagai bapa pengakuan dan memberikan absolusi serta penitensi. Kegiatan ini menjadi momen pembaharuan rohani bagi para frater untuk mengakui dosa-dosanya dan memurnikan hidup mereka dari dosa dengan menerima pengampunan dari Tuhan lewat para imamnya.

(Laporan: Fr. Marsel Kii)