Salib sebagai Kurikulum Cinta: Sebuah Refleksi bagi Calon Imam Berdasarkan Yohanes 3:13-17 dan Pesta Salib Suci

Salib dalam Kehidupan dan Spiritualitas Calon Imam

Bagaimana semua teologi indah ini menjadi nyata dalam kehidupan seorang muda yang sedang dibentuk untuk menjadi imam? Jawabannya adalah bahwa salib harus menjadi “kurikulum” sehari-hari. Formasi imamat adalah proses menjadi serupa dengan Kristus, dan Kristus yang kita ikuti adalah Kristus yang tersalib.

Pertama, salib mengajarkan ketaatan. Ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya membawa-Nya ke salib. Bagi calon imam, ketaatan bukanlah kepatuhan buta atau kehilangan identitas. Sebaliknya, itu adalah jalan menuju kebebasan sejati—kebebasan untuk mengikuti kehendak Allah, yang selalu lebih besar dan lebih baik daripada rencana kita sendiri. Ketaatan dalam hal-hal kecil selama masa formasi—mengikuti jadual doa, tunduk pada bimbingan pembina, menerima tugas dengan rendah hati—adalah latihan untuk ketaatan imamat kelak, yang selalu diabdikan untuk melayani umat Allah.

Kedua, salib adalah sekolah pengorbanan dan kerendahan hati. Kristus, yang adalah Allah, “turun” dari kemuliaan surga, mengambil rupa seorang hamba (Flp 2:6-7). Seorang calon imam dipanggil untuk “turun” seperti Kristus: meninggalkan ambisi pribadi, kenikmatan duniawi, dan keinginan untuk dihormati. Ia belajar untuk merendahkan hati, untuk melayani daripada dilayani. Pengorbanan ini bukanlah nilai negatif; itu adalah ruang di mana kasih yang sejati tumbuh. Memberi waktu, tenaga, dan perhatian kepada sesama frater, kepada masyarakat sekitar seminari, adalah bentuk nyata memikul salib sehari-hari.

Ketiga, salib menanamkan kasih pastoral yang universal. Yohanes 3:16 menekankan bahwa Allah mengasihi “dunia” (kosmos). Kasih ini tidak eksklusif. Seorang imam masa depan dipanggil untuk mencintai semua orang, seperti Allah mencintai semua orang: yang kaya dan miskin, yang saleh dan yang berdosa, yang mudah dan yang sulit untuk dicintai. Kasih pastoral ini belajar dari salib: kasih yang sabar, tidak menuntut balasan, dan rela menderita untuk kebaikan orang lain. Ini adalah kasih yang konkret, yang terwujud dalam mendengarkan, mengunjungi, menghibur, dan membimbing.

Akhirnya, spiritualitas salib harus menjadi ritme hidup harian. Ini bukan untuk disimpan hanya untuk doa Jumat Agung. Bagi calon imam, salib hadir dalam kelelahan setelah belajar lama, dalam kesabaran menghadapi kelemahan diri sendiri dan sesama, dalam kesetiaan pada doa harian meski rasanya kering, dan dalam komitmen untuk tumbuh dalam kebajikan. Setiap tindakan penyerahan diri yang kecil adalah sebuah cara untuk “diangkat” bersama Kristus, menemukan makna dan sukacita yang lebih dalam di dalam Dia.

Tantangan dan Panggilan

Namun, hidup dalam terang salib menghadapi tantangan. Tantangan terbesar adalah mereduksi salib. Kita dapat menjadikannya hanya sebagai sentimentalisme, sebuah simbol yang indah dan mengharukan tetapi tidak menuntut perubahan hidup atau pengorbanan yang nyata. Atau, kita dapat menjatuhkannya ke dalam legalisme, di mana salib menjadi alat untuk menakut-nakuti dan membebani orang dengan rasa bersalah, melupakan pesan utama Yohanes 3:17 bahwa Kristus datang untuk menyelamatkan, bukan untuk menghakimi. Seorang calon imam harus berjuang untuk menghindari kedua kutub ini dan terus kembali pada salib yang otentik: tempat kasih Allah yang radikal dan mengubah hidup dinyatakan.

Dalam konteks pelayanan, khususnya di daerah seperti Nusa Tenggara Timur dengan tantangan kemiskinan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan, salib menjadi tanda harapan yang sangat kuat. Penderitaan umat bukanlah sesuatu yang tanpa arti. Dalam terang salib Kristus, penderitaan dapat diangkat dan diubah menjadi jalan solidaritas, pelayanan, dan penebusan. Seorang imam dipanggil untuk menjadi seperti Kristus di dunia ini: hadir di tengah “salib” umatnya, membawa kekuatan, penghiburan, dan cahaya kasih Allah yang menyelamatkan.

Kesimpulan

Bagi calon imam, merenungkan Yohanes 3:13-17 dan merayakan Pesta Salib Suci bukanlah kegiatan akademis. Itu adalah latihan vital untuk jiwa. Itu adalah pengingat bahwa panggilan mereka adalah panggilan untuk mengikuti Jejak Guru mereka yang naik ke Yerusalem untuk disalibkan. Jalan imamat adalah jalan salib—jalan ketaatan, pengorbanan, dan kasih yang memberi diri tanpa pamrih.

Di kayu salib, Kristus menunjukkan kepada kita wajah Allah yang sebenarnya: Bapa yang penuh kasih yang mengutus, Putra yang taat yang memberi diri, dan Roh yang menghidupkan. Inilah hati dari imamat. Seorang imam dipanggil untuk memancarkan kasih Tritunggal ini kepada dunia. Dengan memandang Kristus yang “diangkat” di salib, para calon imam belajar rahasia terdalam panggilan mereka: bahwa dengan memberi diri, kita menerima; dengan mati bagi diri sendiri, kita menemukan hidup; dan dengan memikul salib, kita berjalan menuju kemuliaan kebangkitan. Pesta Salib Suci adalah seruan tahunan untuk menerima undangan ini dengan berani dan dengan sukacita.

 

Referensi:

Moltmann, J. (1974). The crucified God: The cross of Christ as the foundation and criticism of Christian theology. SCM Press.

Nouwen, H. J. M. (1981). The way of the heart: Desert spirituality and contemporary ministry. Seabury Press.

Sheen, F. J. (1963). The priest is not his own. McGraw-Hill Book Company.

von Balthasar, H. U. (1990). Mysterium paschale: The mystery of Easter (A. Nichols, Trans.). T&T Clark. (Original work published 1970).

 

Penulis: RD. Patricius Neonnub