
Pendahuluan
Pesta Salib Suci, yang dirayakan setiap 14 September, mengetuk hati kita untuk melihat melampaui sepotong kayu kuno. Ini adalah undangan untuk menyelami sebuah misteri: misteri kasih Allah yang begitu radikal sehingga mengambil bentuk yang paling tak terduga—sebuah salib. Bagi banyak orang, salib adalah simbol penderitaan dan kekalahan. Namun, bagi Gereja, dan khususnya bagi mereka yang dipanggil untuk menjadi gembala seperti para calon imam di Seminari Tinggi Santo Mikael, salib adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Ia adalah sebuah sekolah, sebuah “kurikulum” yang mengajarkan arti cinta sejati.
Dalam kurikulum inilah kita menemukan teks Kitab Suci yang menjadi jantung refleksi kita: Yohanes 3:13-17. Perikop singkat ini, seperti sebuah mutiara yang memantulkan seluruh cahaya Injil, memampatkan kabar baik Allah menjadi beberapa kalimat yang dahsyat. Di sini, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Anak Manusia yang turun dari surga dan akan “diangkat” agar siapa pun yang percaya memperoleh hidup kekal. Di sini, kita mendengar kalimat yang mungkin paling dikenal di seluruh Alkitab: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal…” (Yoh 3:16).
Tulisan reflektif ini tidak bermaksud mengeksplorasi detail-detail bahasa Yunani atau debat akademis yang rumit. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk merenungkan kebenaran mendasar dari teks ini dan Pesta Salib Suci, serta bagaimana kebenaran itu membentuk hati dan pikiran seorang calon imam. Kita akan belajar memandang salib bukan sebagai hiasan atau beban, tetapi sebagai jalan, kebenaran, dan hidup bagi panggilan imamat.
Memandang Salib dengan Mata Iman
Kunci untuk memahami salib terletak pada sebuah kata paradoks yang digunakan oleh Yohanes: “diangkat” (hypsōthēnai). Dalam pemikiran duniawi, seseorang diangkat ke tahta, ke posisi terhormat. Tetapi Yesus mengatakan bahwa Dia akan “diangkat” di kayu salib—sebuah alat eksekusi yang hina dan mengerikan. Di sinilah logika Allah membalikkan logika manusia. Apa yang tampak sebagai puncak kehinaan justru menjadi puncak kemuliaan. Salib bukanlah akhir dari cerita Yesus; itu adalah takhta di mana Dia memerintah sebagai Raja yang penuh kasih. Kematian-Nya justru menjadi sumber kehidupan bagi dunia. Paradoks ini adalah fondasi iman Kristen: dalam kelemahan terdapat kekuatan, dalam kematian terdapat kehidupan, dalam penyerahan total terdapat kemenangan sejati.
Paradoks ini berakar pada hakikat Allah sendiri, yaitu kasih. Yohanes 3:16 mengungkapkan denyut jantung dari seluruh Alkitab: Allah adalah kasih, dan kasih-Nya aktif dan memberi. Kasih-Nya tidak hanya berupa perasaan hangat, tetapi sebuah keputusan untuk bertindak—”Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal.” Pemberian ini adalah puncak dari kisah Allah dengan umat manusia. Kasih Allah diukur dengan pengorbanan-Nya. Salib menjadi bukti nyata, bukti yang tak terbantahkan, bahwa kasih Allah kepada dunia ini—kepada kita dengan segala kekacauan dan dosa kita—adalah nyata dan tanpa syarat.
Misi kasih ini memiliki tujuan yang jelas: “Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:17). Ini adalah kabar gembira yang membebaskan. Allah dalam Kristus tidak datang dengan daftar kesalahan untuk dihukum. Dia datang dengan tangan terbuka yang menawarkan pengampunan dan hidup baru. Penghakiman terjadi bukan karena Allah ingin menghukum, tetapi karena orang memilih untuk menolak kasih yang ditawarkan tersebut. Salib, oleh karena itu, adalah puncak penyelamatan, bukan puncak penghukuman. Salib adalah tempat di mana murka Allah terhadap dosa dan kasih-Nya kepada pendosa bertemu, dan kasih-Nya-lah yang menang.
Dalam tradisi Katolik, salib dipahami sebagai sacramentum salutis—tanda keselamatan yang efektif. Ini bukan hanya peringatan akan suatu peristiwa sejarah. Dalam liturgi, terutama dalam Ekaristi, kuasa salib hadir dan aktif. Dari sisi Kristus yang terluka di salib, mengalirlah sakramen-sakramen yang memberi hidup kepada Gereja. Dengan demikian, setiap kali kita memandang salib, kita diajak untuk melihat lebih dari sekadar kayu dan paku; kita memandang sumber rahmat dan kasih Allah yang mengalir tanpa henti bagi dunia.