MEDIA MASSA DAN RATIONALITAS PUBLIK

Oleh: Fr. Peter Ronaldo Thaal (Tingkat V Keuskupan Atambua)

43

MEDIA MASSA DAN RATIONALITAS PUBLIK

Oleh: Fr. Peter Ronaldo Thaal

(Calon Imam Tingkat V Keuskupan Atambua)

(Artikel ini pernah diterbitkan dalam majalah maranatha fratres Keuskupan Atambua, edisi Juni 2022)

Catatan Pembuka

Dunia saat ini telah berhasil menciptakan terobosan baru di bidang Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Informasi dan Komunikasi (IPTEK). Berkat kemajuan IPTEK, kehidupan manusia dipermudah atau boleh dibilang diper-instan. Perubahan yang ada seolah-olah memper-instan-kan semua aspek kehidupan manusia, bahkan juga kemampuan kodratinya untuk bernalar. Hal ini bukan sesuatu yang mengagetkan?. Sebab dalam kehidupan aktual bermasyarakat, kemajuan teknologi yang ada tanpa disadari turut “meninabobokan” kesanggupan rationalitas kita. Akibatnya, kita pun menjadi “tawanan” teknologi. Media massa sebagai bentuk kreasi dari modernisasi, di satu pihak, memang mendatangkan kebermanfaatan bagi manusia. Kebermanfaatan yang pertama dan utama ialah kebutuhan interaktif manusia terjamin. Semua alasan territorial-geografis dijawab secara tuntas oleh media massa (atau yang lebih populer saat ini: media online). Akan tetapi di pihak lain, kemajuan media massa itu telah mendatangkan skematisasi dan sistimatisasi akal budi manusia yang lebih terarah kepada benda. Dengan kata lain, kehidupan manusia telah berjalan secara mekanistik atau otomatistik.

Kodrat manusia sebagai makhluk bernalar (ens rationale) seolah-olah terjajah secara laten oleh kemajuan teknologi. Berhadapan dengan situasi problematis seperti ini manusia perlu “keluar” dari keterjajahan dirinya, atau yang disebut oleh Reza Wattimena “pembebasan filsafat”. Maksud dari “pembebasan filsafat” menurut Wattimena adalah suatu upaya untuk membebaskan rationalitas manusia dari ketertindasan barang-barang yang telah ia ciptakan, misalnya teknologi. Teknologi adalah hasil kreasi manusia dan karena itu, ia harus dikontrol oleh rationalitas manusia dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain, pembebasan filsafat berkaitan dengan kemampuan menggunakan rationalitas secara optimal demi menciptakan keadaan yang “bebas” dari cengkraman teknologi itu sendiri.[1]

Media Massa: Sarana Atau Tujuan?

Dunia saat ini telah diluputi dengan banyak perubahan. Globalisasi dan modernisasi menjadi sebuah jaminan sekaligus tantangan terhadap keberadaan manusia sebagai makhluk rational. Pertanyaan fundamental yang dilontarkan kepada kita ialah apakah kita bisa menjamin bahwa perkembangan media komunikasi tidak meruntuhkan kesanggupan rationalitas kita? Apakah kita bisa menjamin status kita sebagai ens rationale di tengah situasi kebanjiran informasi? Jika kita mampu menjamin status kita sebagai ens rationale, maka bagaimana kita mempertanggung-jawabkan orientasi hidup kita yang selama ini mengarah pada “pendewaan” media massa, atau dengan kata lain, menjadikan media massa sebagai tujuan dalam praksis hidup kita? Apabila kita menjadikan pertanyaan yang ketiga di atas sebagai pegangan untuk menggunakan media massa, maka sesungguhnya kita telah jatuh pada sebuah propaganda media massa.

Menurut Jason Stanly, dalam konteks hubungan antarnegara, skema teknis propaganda selalu menjadikan “media massa” sebagai medium untuk mencapai tujuannya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah mempublikasikan informasi manipulatif. Bagi Stanly, propaganda itu selalu bersentuhan dengan aktivitas politik. Dalam hal ini, Stanly mau menegaskan bahwa rangkaian informasi yang membanjiri media massa selalu terbingkai dalam agenda politik negara tersebut dan dalam hubungannya dengan negara lain (politik internasional). Dengan demikian, media massa telah menjadi alat kekuasaan negara.[2]

Propaganda media massa selalu dilakukan secara sistematis, massif dan persuasive. Propaganda itu bertujuan untuk menarik orang lain untuk datang dan mengikuti pola pikir si propagandis. Seringkali iklan-iklan yang ditayangkan di media massa, seperti iklan aplikasi tertentu atau produk tertentu, biasanya akan “bermain” dengan skema propaganda. Umumnya hal itu terlihat dari cara penyampaian informasi, yang nota bene lebih menekankan kelebihan dari produk yang bersangkutan, sedangkan kelemahan produk disembunyikan. Tujuan diberitakan informasi demikian ialah supaya “membius” atau mengarahkan rationalitas publik agar mengikuti kepentingan mereka.

Iklan Hanphone bermerek Iphone, misalnya. Umumnya produk itu diiklankan dengan menggunakan seorang wanita yang berparas cantik, bertubuh seksi dan memiliki kecakapan style.  Dengan memegang hanphone bermerek Iphone tersebut si wanita akan ditampilkan sebagai pihak yang penuh percaya diri dan diakui sebagai orang yang memiliki kemapanan sosial. Dalam hal ini, rationalitas publik digiring untuk menjadi sama seperti wanita tersebut. Di sini, media massa telah membentuk opini publik bahwa kemapanan diri seseorang ditentukan oleh aksesoris yang dikenakannya. Jadi, seolah-olah dengan memiliki Hanphone Iphone status kita sebagai seorang manusia yang individual dan sosial menjadi mapan. Iklan yang menarik ini tentu saja seduktif. Sebab, tidak ada keterkaitan langsung antara Handphone Iphone, wanita cantik dan status sosial itu sendiri. Semuanya itu hanya bersifat propaganda yaitu suatu upaya untuk meluluskan kepentingan segelintir orang demi meraup keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya.

Apabila kita mencermati realitas periklanan yang ada di berbagai media massa saat ini, kita bisa mengetahui bahwa sesungguhnya manusia telah dibius dan ditindas dengan perkembangan teknologi yang ada. Media massa yang diciptakan untuk melayani kepentingan manusia kini berbalik menjadi penindas manusia. Propaganda yang terjadi dalam kehidupan manusia itu merupakan sebuah realitas yang menegaskan bahwa manusia telah terjebak pada kesalahan penggunaan media massa. Secara rational, manusia sudah bergerak jauh dari kesadaran etis dan rationalitasnya, bahkan bisa dikatakan bahwa status ens rationale manusia ketika berhadapan dengan media massa “ditanggalkan” sementara. Terhadap kesalahan bernalar terhadap hakikat media massa, manusia terjebak pada sebuah pola berpikir yang dangkal, yaitu menganggap dan menjadikan media massa sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Akhirnya, manusia pun jatuh pada sebuah keterkungkungan hidup yaitu “penindasan teknologi”.[3]

Manusia Dan Media Massa

Dalam salah satu bukunya Theo Huijbers menulis dengan argumentasi yang cukup kuat, bahwa modernisasi alat-alat komunikasi dan transportasi itu terjadi karena akal budi manusia sudah terlebih dahulu mengalami kemodernan. Karena akal budi itu “canggih” maka ia sanggup memaksimalkan elemen-elemen natural menjadi sesuatu yang berguna dan menunjang kehidupannya. Dalam hal ini, Huijbers menekankan kemampuan rationalitas manusia untuk meng-ada semua potensi yang ada di dalam dirinya termasuk mengoptimalkan elemen natural menjadi elemen kultural.[4]

Karena manusia memiliki akal budi yang canggih, maka semua kebaruan yang ada (ilmu pengetahuan dan teknologi) diletakkan di bawah manusia. Dengan kata lain, perlu adanya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman bahwa manusia adalah makhluk instrumental dari teknologi. Sebab, jika manusia adalah makhluk instrumental maka sesungguhnya statusnya sebagai ens rationale menjadi gugur. Instrumentalisasi manusia sama artinya dengan mem-benda-kan manusia. Akan tetapi pertanyaan sekarang ialah bagaimana manusia bisa mendekonstruksi pemahaman instrumentalis seperti itu, sedangkan dirinya sendiri masih “nyaman” dengan keadaan demikian?. Hemat saya, untuk medekonstruksi pemahaman instrumentalistik seperti itu pertama-tama kesadaran harus datang dari dalam diri manusia. Di sini, manusia perlu mempertanyakan sekali lagi hakikatnya sebagai manusia dalam keterkaitannya dengan teknologi yang ada.

Terhadap keterkaitan manusia dengan media massa, Wattimena menyatakan bahwa kehidupan manusia sudah terisolir dengan teknologi. Media telah menjadi satu-kesatuan dengan teknologi yang ada. Hal ini tentu akan merepotkan apabila mencabut manusia dari keterikatannya dengan media massa. Dan apabila upaya itu yang digunakan maka bagi Watimenna, adalah sesuatu yang tidak optimal, karena tindakkan pencabutan kehidupan manusia dari teknologi akan membuat manusia menderita dengan kehidupannya sendiri. Di sini, Wattimena menjelaskan bahwa untuk meminimalisir ketagihan terhadap teknologi, manusia perlu dibekali dengan pendidikan etika penggunaan teknologi. Manusia perlu disadarkan dengan dasar etika yang jelas tentang sejauhmana ia bisa menggunakan teknologi yang ada. Walaupun cara tersebut tidak sempurna dalam menghancurkan pola perilaku teknosentris, tetapi paling kurang ia bisa meminimalisir kemungkinan terburuk dari penggunaan teknologi yang berlebihan.[5]

Rationalitas Publik Di Hadapan Media Massa

Aspek-aspek negatif teknologi diterima bersamaan dengan dampak positifnya. Hal ini terjadi karena manusia sukar membuat sebuah distinksi yang tegas terhadap sisi negatif dan positif dari teknologi itu sendiri. Menurut bahasa George Orwel “hitam itu putih, putih itu hitam”. Proses penerimaan seperti ini sering terjadi secara tidak sadar. Oleh sebab itu, yang menjadi pioner untuk mengatasi persoalan ini adalah manusia itu sendiri. Manusialah yang memiliki kemampuan untuk memutuskan situasi yang terjadi saat ini berdasarkan bantuan akal budinya. Jika demikian, maka pertanyaan saat ini adalah apakah rasionalitas manusia modern sudah cukup tajam untuk mengkritisi perkembangan media massa yang ada? Ataukah sebaliknya?.[6]

Karena perkembangan teknologi canggih bukan suatu “keterberian” yang pasif, melainkan terjadi dalam proses berpikir yang sadar maka manusia wajib mempertimbangkan segala risikonya. Tentu tidak gampang menghilangkan dampak-dampak negatifnya, tetapi paling kurang, dampaknya diminimalisir. Karena itu, masyarakat tidak boleh dibiarkan “buta teknologi”. Mereka perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan dasar tentang perkembangan teknologi itu sendiri. Mungkin dengan cara demikian, hemat saya, mereka mampu bersikap selektif terhadap perkembangan teknologi itu sendiri. Tindakkan demikian merupakan sebuah upaya untuk mempertajam rationalitas publik.

Seperti yang sudah saya paparkan di bagian awal, bahwa perkembangan media massa yang ada selalu bersinggungan dengan keadaan politik yang terjadi dalam suatu negara dan hubungannya dengan negara lain. Segala kebijakan politik yang terjadi di dalam suatu negara pun tanpa disadari turut menentukan orientasi informasi dari media massa itu sendiri. Secara implisit dan tanpa disadari oleh publik, pada momen-momen seperti inilah propaganda bekerja. Propaganda yang terjadi melalui perantara media massa bisa berkedok politis tetapi dibungkus secara religius. Adapun propaganda lainnya yang terjadi di media massa sering berkedok fundamentalisme, sukuisme, rasisme, dan lain sebagainya. Pola permainan propagandis tentu saja bersifat persuasif, yang mana mempengaruhi, mengajak dan menggiring orang agar menyetujui pikiran si propagandis itu sendiri. Di sini, persuasif merupakan salah satu metode dari sekian banyak metode yang digunakan oleh si propagandis untuk meng-gol-kan kepentingannya. Boleh dikatakan bahwa konsep Niccolo Machiaveli “tujuan menghalalkan segala cara” digunakan oleh si propagandis untuk melegalkan tindakkannya. Sasaran dari tindakan demikian adalah publik itu sendiri. Publik mengalami “pembodohan” melalui informasi-informasi yang disiarkan.[7]

Hemat saya keadaan demikianlah  yang sementara terjadi di masyarakat kita. Tanpa disadari, kita telah di-devide et impera-kan oleh media massa itu sendiri.[8]  Terhadap keadaan seperti ini kita perlu mempertajam rationalitas kita agar bisa mengkritisi semua gerakkan informasi yang membanjiri kehidupan kita. Sejatinya semua informasi yang beredar di sekitar kita selalu terkait dengan “sesuatu” yang berada di belakangnya. Ada hal-hal tertentu yang tersembunyi di balik beredarnya suatu informasi. Tidak mungkin informasi itu muncul tanpa adanya suatu “persoalan”. Karena ada suatu persoalan yang ada di belakang informasi tersebut, maka kita perlu membongkarnya dengan daya rationalitas kita agar kemudian kita jangan terjebak bahkan terjajah dengan informasi yang disiarkan media massa ini.

Catatan penutup

Hemat saya, dalam dunia dewasa ini hampir mustahillah bagi kita untuk menghindar dari apa yang dinamakan “kebudayaan modern-teknologis”. Biasanya hampir tidak bisa dibendung dengan cara apa saja, apalagi dengan cara menghilangkan kebudayaan teknologi itu sendiri. Walaupun demikian, bukan berarti lalu kita menerima pengaruh dari luar begitu saja tanpa adanya sikap kritis. Kita boleh menerima kebaruan dari luar tetapi perlu dipilah-pilah secara kritis mana yang menunjang kehidupan kehidupan kita sebagai manusia dan mana yang mereduksi kemanusiaan kita. Terhadap hal itu rationalitas kita perlu dipertajam dengan pengetahuan sehingga tidak dibius dan bahkan dijajah begitu saja oleh perkembangan teknologi yang ada. Teknologi harus dikontrol oleh rationalitas manusia, bukan sebaliknya.

Sumber Bacaan

Dewantara, Agustinus, W., Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2017.

Hayon, Nikolaus (Ed)., Sekitar Manusia Dan Kebudayaan, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ladalero, 1991.

Huijbers, Theo., Manusia Merenungkan Dunianya, Yogyakarta: Kanisius, 1986.

Pratkanis, Anthony dan Aronson, Eliot., Age of Propaganda: Everday Use And Abuse of Pesuasion, California: University of California, 1991.

Stanly, Jason., How Propaganda Works, Princeton: Princeton University Press, 2015.

Wattimena, Reza A, A., Tentang Manusia: Dari Pikiran, Pemahaman, Sampai Dengan Perdamaian Dunia, Yogyakarta: Mahaarsa, 2016.

 

Foto: Fr. Peter Thaal

 

[1] Reza A. A. Wattimena, Tentang Manusia: Dari Pikiran, Pemahaman, Sampai Dengan Perdamaian Dunia, (Yogyakarta: Mahaarsa, 2016), hlm. 168

[2] Jason Stanly, How Propaganda Works, (Princeton: Princeton University Press, 2015), hlm. 43. Propaganda biasa didefenisikan sebagai suatu usaha dengan sengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan oleh penyebar propaganda (propagandis). Perlu digaris bawahi di sini, bahwa kadang propaganda menyampaikan pesan yang benar, namun sering kali menyesatkan yang mana umumnya isi propaganda hanya menyampaikan fakta-fakta pilihan yang dapat pengaruh tertentu , atau lebih menghasilkan reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuan dari propaganda adalah untuk mengubah pikiran kognitif narasi subyek dalam kelompok sasaran demi kepentingan tertentu

[3] Wilem Syukur dan Adri Jebatu, “Sikap Kritis Terhadap Teknologi”, dalam Nikolaus Hayon (Ed), Sekitar Manusia Dan Kebudayaan, (Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ladalero, 1991), hlm. 53; Bdk. Reza Wattimena, Op. Cit., hlm. 110-111.

[4] Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dunianya, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 60-63.

[5] Reza Wattimena, Op. Cit., hlm. 123-126.

[6] Wilem Syukur dan Adri Jebatu, Op. Cit., hlm. 58-60; Bdk. Reza Wattimena, Op. Cit., hlm. 109.

[7] Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 74.

[8] Devide et impera adalah sebuah politik yang diterapkan oleh kaum colonial terhadap wilayah jajahannya dengan sebuah taktik memecah-belahkan kekuatan musa dengan cara adu-domba. Pada dunia saat ini walaupun kolianisme tidak dilakukan secara langsung sama seperti pada zaman dulu, tetapi bentuk tindakkannya diperbaharui oleh segelintir orang dengan menggunakan media massa sebagai mediumnya. Bdk. Anthony Pratkanis and Eliot Aronson, Age of Propaganda: Everday Use And Abuse of Pesuasion, (California: University of California, 1991), hlm. 162; Bdk. Jason Stanly, Op. Cit., hlm. 219.

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More