Catatan Kritis 1: Sketsa Perjalanan Politik Jokowi

Oleh: Firman Noor

126

Spirit perjalanan politik, jika boleh saya menyebutnya demikian, seorang Jokowi yang ditulis oleh Riwanto Tirtosudarmo ini sangat menarik. Meskipun bukan seorang ilmuwan politik, namun pemahaman penulis demikian elaboratif dan menggambarkan banyak hal terkait dengan fase-fase perjalanan politik presiden RI ke-7. Tulisannya yang padat cukup memberikan asupan menyegarkan akan apa yang terjadi di balik eksistensi Jokowi sebagai politisi dan presiden. Namun, singkatnya tulisan-tulisan yang ada tepat jika disebut sebagai sebuah sketsa.

Kumpulan tulisan Riwanto ini pada banyak aspeknya mencoba untuk seimbang dan menjelaskan persoalan dengan cukup tenang bahkan dingin. Namun, terasa juga nuansa kritik tajam khas seorang Riwanto yang memaksa kita untuk setuju dan akhirnya cukup terpanasi oleh ilustrasi-ilustrasi yang dituliskan. Sehingga tetap terasa adanya ilusi demokrasi, atau situasi apa yang disebut oleh Collin Crouch (2004) sebagai post-democracy. Dan omon-omon, ternyata memang sudah banyak akademisi dan pengamat, baik dalam negeri maupun Indonesia, yang menggambarkan kemandekan demokrasi Indonesia dengan berbagai istilah, seperti illusive democracy, delegative democracy, political cartel, democratic regression bahkan authoritarian turn. Situasi ini mengkonfirmasi sekali lagi kegagalan akut dari upaya mempertahankan demokrasi sebagai mana yang juga diutarakan oleh Riwanto melalu kajiannya mengenai Jokowi kali ini.

Pastinya Jokowi membuka pola atau gaya baru dalam kepemimpinan politik di tanah air. Sebuah pola yang tidak lazim. Mencengangkan namun pula menimbulkan kontroversi saat bersamaan. Diawali dengan cara berpolitik mencengangkan atau gumoni bagi rakyat kebanyakan – sehingga sekarang ada istilah “perilaku politik gumunan” (Sevtyan, Sobari, Mochtar 2018) – demi melihat ketidakbiasaan berpolitik (dalam makna positif) ala Jokowi, dia mampu membius banyak pendukung yang sebagiannya menjadi demikian fanatik. Jokowi menghadirkan sebuah model berpolitik kerakyatan yang dipandang tulus dan genuine di tengah kepengapan model dan manuver para “politisi standar” yang saat itu sedang ramai-ramai dituduh bergaya post-truth dan sangat elitis. Jargon “Jokowi adalah Kita” demikian menggema dan bermakna dalam, sehingga menimbulkan asa baru akan munculnya model kepolitikan nasional yang membumi dan relevan dengan amanat penderitaan rakyat. Jokowi adalah “A New Hope” tulis majalah Time edisi 27 Oktober 2014.

Namun dalam perjalanannya, semakin banyak orang mulai kecewa karena kelakukan Jokowi, termasuk di jajaran para pendukung fanatiknya. Bukan saja kalangan biasa yang kecewa, namun pula mereka yang selevel budayawan dan intelektual bergelar profesor. Sebagian mereka bahkan tidak ~59~ segan mempertontonkan tangisnya di depan umum. Ada juga seorang intelektual kenamaan yang dalam sebuah podcast jelas-jelas mengatakan merasa tertipu dan mengatakan “sakitnya tuh di sini” sambil menunjuk ulu hatinya. Bahkan kabar terakhir seorang akademisi asal UI yang mengawal Jokowi mulai dari Solo menuju Jakarta juga sudah menyatakan lempar handuk untuk tidak lagi menyertainya. Ya memang di akhir tahun 2023, terjadi gelombang besar korbang perang (seperi yang terjadi pada saudara kita di Palestina), namun ada juga “korban prank” (seperti yang terjadi pada saudara-saudara sebangsa dan senegara).

Dengan situasi umum semacam itu memang benarlah Ben Bland (2020), seorang akademis yang secara jernih menyimpulkan dalam bukunya Jokowi sebagai sosok yang kontroversial atau tepatnya figur dengan kontradiksi (Man of Contradiction). Atau kalau boleh saya menyebutnya sosok dengan karakeristik Dewa Janus. Seorang Dewa dalam mitologi Yunani yang berwajah ganda. Satu menghadap ke depan satu menghadap ke belakang. Sejatinya Janus merupakan simbol yang netral dan dimaknai dengan positif. Dewa yang dibaratkan pintu antara masa lalu dan masa depan ini dianggap salah satu dewa yang baik. Namun Janus dalam perkembangannya juga dimaknai atau disimbolkan oleh banyak kalangan sebagai sifat hiprokrit atau munafik.

Saat ini kita menjadi saksi bagaimana berbagai kontradiksi yang berjalan penuh dengan hipokrisi itu dipertontonkan. Menyatakan diri sebagai bagian wong cilik, namun harga-harga demikian melambung tinggi. Mengaku sebagai sosok yang menolak hutang luar negeri, namun menjadi presiden dengan hutang luar negeri terbesar dalam sejarah. Menertawakan gaya politik bagi-bagi kekuasaan model politisi lawas, namun malah menjadi pelaku bagi-bagi kekuasaan yang sangat massif. Mengaku gemar dikiritik, namun membungkam para pengkritik dengan berbagai cara.

Menyatakan akan berkonsentrasi di Jakarta sebagai gubernur dan taat pada partainya saat kontestasi pilpres akan berlangsung, malah menjelma menjadi figur yang menjilat ludahnya sendiri akan hal-hal tersebut. Demikianlah Jokowi adalah simbol kehendak berkuasa dalam bungkus kesahajaan dan kesan tidak pamrih dalam berpolitik. Hal yang lebih menyakitkan lagi adalah Jokowi bukan saja gemar berbohong – yang disimbolkan oleh Tempo sebagai sosok Pinokio dan menjadikannya justru menjadi salah satu wakil par excellence model politisi post-truth semacam Trump. Namun juga dia tampak segan untuk meminta maaf atas berbagai kebohongannya itu.

Lebih dari itu, jika kita perhatikan lagi kritik atas Jokowi – yang juga disampikan secara elegan dan “berbudaya” oleh Riwanto – Jokowi juga mengidap penyakit ala Machiavelli. Seorang dengan kecenderungan Machiavellian cenderung bersikap manipulatif, berorientasi pada diri sendiri, dan menghalalkan segala cara namun juga dingin saat memenuhi hasrat yang bersifat destruktif. Sosok ini bisa terlihat tenang atau menunjukan gelagat innocent (tidak bersalah) dan pada saat bersamaan melakukan tindakan-tindakan yang menghancurkan atau menihilkan tanpa adanya empati.

Lihatlah bagaimana ketika Jokowi tidak merasa bersalah dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terus menjalankan Omnibus Law meskipun dinyatakan cacat partisipasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK), ulet dalam menggalang IKN meski ada kritik terkait urgensi maupun pendanaan atas proyek mercusuar itu dan puncaknya adalah memberikan jalan kepada MK untuk menciptakan salah satu produk nepotisme terbesar sepanjang sejarah bangsa. Jokowi dengan demikian adalah hancurnya etika dan pengubur konstitusionalisme. Dan itu semua tetap dilakukannya, ketika orang-orang makin berteriak marah karena dilukai atas substansi kebijakannya, selain potensi dampak dari berbagai kebijakan itu. Sehingga muncul kemuakan bagi banyak orang. Para mahasiswa UGM pun kehilangan kebanggaan terhadapnya dan memberikan gelar sebagai alumni paling memalukan.

Dari berbagai hal itu tulisan bernas dan penuh makna dari Riwanto dapatlah dimaknai sebagai sebuah sketsa seorang politisi di Indonesia yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah demikian berpengaruh. Terlepas dari berbagai capaian-capaian fisik melalu jargon “kerja-kerjakerja”, Jokowi harus diakui memiliki sisi kelamnya tersendiri. Dan tulisan-tulisan ini pada dasarnya merupakan sketsa perjalanan spirit Machiavelli berwajah Janus dari Solo. Mengapa itu semua terjadi dan seperti apa hendaknya dibaca manuver Jokowi dalam banyak aspeknya? silahkan menyimak dan menikmati tulisan salah satu peneliti paling handal dalam sejarah LIPI ini.

 

(Stockholm, 21 Januari 2024)

 

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More