Ada seorang pemikir politik yang kiranya sudah sangat akrab di telinga kita. Pemikir itu berasal dari Italia, dan gagasan-gagasan politiknya banyak diperbincangkan orang sejak awal tahun 1500-an hinga hari ini. Siapa lagi dia ini kalau bukan Niccolo Machiaveli. Machiavelli pernah menuliskan sejumlah nasihat politik yang pada intinya mengatakan bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, seorang penguasa politik boleh menggunakan apa saja. Termasuk cara-cara yang boleh digunakan adalah cara-cara yang kurang etis atau bahkan kasar. Singkatnya, dengan prinsip “tujuan menghalalkan cara,” menurut bapak dari lima anak yang lahir tahun 1469 ini, apapun boleh ditempuh. Sebagaimana tertuang dalam karyanya yang berjudul Il Principe atau The Prince, ada beberapa contoh “nasihat politik” Machiavelli yang bisa kita sebut di sini.
Pertama, menurutnya, seorang pemimpin politik tidak perlu membawa-bawa etika dalam berpolitik. Menurut dia, seorang penguasa harus mau memisahkan pertimbangan moral dan keputusan politik. Dalam kehidupan pribadi, moral boleh saja menjadi pertimbangan. Namun dalam mengambil keputusan politik yang namanya moral dan etika harus ditinggalkan. Demi mempertahankan kekuasaannya, tutur Machiavelli, seorang penguasa tidak perlu takut-takut untuk untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis.
Kedua, seorang penguasa politik harus bersikap realistik dan pragmatis. Seorang penguasa politik, kata Machiaveli, harus mampu bersikap jeli dalam mengamati realitas lapangan yang ada, dan berdasarkan pengamatan itu mengambil keputusan dan tindakan yang dirasa perlu demi tujuan-tujuan kekuasaan. Tidak perlu itu pertimbangan ideal, moral atau filosofis. Seorang penguasa harus hanya melihat apa yang ada di hadapannya sambil mencari cara-cara yang paling praktis untuk melanggengkan kekuasaan.
Ketiga, seorang penguasa politik perlu menguasai penggunaan alat-alat kekerasan, termasuk kekuatan militer. Demi mempertahankan kekuasaannya, seorang penguasa politik tak perlu segan-segan menggunakan kekerasan, atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, termasuk militer. Seandainya pun tidak digunakan, kekuatan militer sangat penting untuk menakut-nakuti rakyat yang dikuasai.
Keempat, bagi seorang penguasa politik, idealnya ia itu ditakuti sekaligus dicintai oleh rakyat. Namun demikian, jika harus memilih antara keduanya, ditakuti oleh rakyat lebih penting daripada dicintai oleh rakyat. Ketakutan, menurut Machiavelli, lebih menjamin kepatuhan rakyat dan kelangsungan kekuasaan daripada cinta. Oleh karena itu, seorang penguasa politik perlu menggunakan ketakutan sebaik-baiknya.
Kelima, sebagaimana sudah disinggung di depan, dalam berpolitik tujuan menghalalkan cara. Bagi seorang penguasa politik, asal tujuannya adalah untuk melanggengkan kekuasaan, apapun boleh dan sah untuk dilakukan. Tidak ada itu pertimbangan moral, pertimbangan etis, pertimbangan politik, pertimbangan ideal atau pertimbangan-pertimbangan serupa. Semuanya harus difokuskan kepada satu hal: mempertahankan kekuasaan.
Apakah nasihat-nasihat semacam itu buruk? Tentu saja. Bahkan bisa dikatakan jahat. Nasihat-nasihat seperti itu bisa menyesatkan atau akan menjerumuskan seorang penguasa ke jurang yang dalam, dengan rakyat sebagai taruhannya. Tak mengherankan bahwa orang seperti Leo Straus (2014) menyebut Machiavelli sebagai seorang ”guru kejahatan.” Giovanni Giorgini (2013) mengkritik Machiavelli sebagai “mentor” bagi para calon diktator. Sementara itu dalam pengantar untuk buku The Prince terbitan Oxford, Lord Acton (1891) menyebut Machiavelli sebagai pembawa prinsipprinsip politik yang odious alias “menjijikkan.”
Melanggengkan Kekuasaan
Menyimak betapa buruknya nasihat-nasihat di atas, patut disayangkan bahwa pada tahun 2023-2024, dalam perpolitikan di Indonesia—sebagaimana yang dipaparkan dalam buku Dr. Riwanto Tirtosudarmo ini—apa yang disampaikan oleh Machiavelli itu ada yang mengamini bahkan menerapkannya. Ada beberapa contoh yang disampaikan dalam buku ini. Dikatakan misalnya, bahwa sebagai seseorang yang profesi semula adalah seorang pebisnis, dalam berpolitik sang Presiden yang saat ini sedang berkuasa melihat semuanya dalam kalkulasi untung-rugi model orang berdagang. Disampaikan antara lain: ”Dalam dunia bisnis jika ada ideologi di sana barangkali adalah kapitalisme, bagaimana mendapatkan untung sebesar-besarnya [dengan] biaya sekecil-kecilnya.” Selanjutnya dikatakan: “Memperlakukan politik sebagai bisnis berarti bagaimana mencapai tujuan politik setinggi-tingginya dengan ongkos politik serendah-serendahnya.”
Mengingat bahwa hal demikian dilakukan oleh seorang pimpinan tertinggi Republik, tentu demokrasi di Indonesia-lah yang menjadi korbannya. Mengutip pendapat para aktivis demokrasi, disebutkan pula bahwa dalam pemerintahannya, Presiden banyak menggunakan cara-cara yang “illiberal” dengan dampak menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Selain itu dipaparkan pula bagaimana Presiden menunjuk orang-orang yang memiliki latar belakang kota Solo, di mana Sang Presiden berasal, sebagai asisten-asisten pribadinya di Jakarta. Sementara itu tak jarang bahwa pemberhentian seorang Menteri dari jabatannya seringkali tidak jelas alasannya.
Lebih jauh ditunjukkan bagaimana Presiden mempersandingkan anak kandungnya agar menjadi seorang calon wakil presiden, mendampingi calon presiden yang adalah mantan komandan militer dan dulu merupakan saingan politiknya. Dikatakan, tujuannya bersifat pragmatis. Dengan menyandingkan anaknya dengan mantan-saingannya itu, menurut Dr. Riwanto Tirtosudarmo, ia berharap bahwa pemerintahan yang baru nantinya akan bersedia meneruskan program dan proyek-proyek yang ia gagas dan yang ia sudah mulai dilaksanakan, seperti pemindahan Ibukota negara. Sementara itu kenangan akan Bung Karno dan ajaran-ajaran kerakyatan sering disebut, namun hanya sebagai hiasan atau gimmick politik saja. Semua usaha Presiden itu tujuannya hanya satu, yakni untuk melanggengkan kekuasaannya.
Lebih Condong
Jika dugaan-dugaan macam itu benar, tentu ada yang tidak “baik-baik saja” di Indonesia ini. Ada kecenderungan bahwa nasihat-nasihat politik yang buruk dari Machiavelli itu sedang diterapkan. Hal ini tentu saja perlu dikritik. Selain karena nasihat-nasihat seperti itu adalah menyesatkan adanya, juga karena naskah surat politik yang ditulis oleh Machiavelli dan berisi nasihat-nasihat itu lahir dari konteks tertentu. Terkait konteks, pertama-tama yang harus kita lihat tentu saja adalah fakta bahwa saat petuah ini ditulis pada awal tahun 1500-an, semenanjung Italia bukanlah merupakan sebuah negara kesatuan seperti yang ada sekarang ini. Waktu itu wilayah yang terletak di bagian barat Laut Tengah tersebut terbagi dalam bentuk negara-negara kecil yang terpisah dan tak jarang berperang satu sama lain. Salah satunya adalah negara-kota (city-state) Florence di mana Machiavelli tinggal.
Sebagaimana kita ingat, selama 14 tahun (1498-1512) Machiavelli bekerja sebagai seorang birokrat dalam pemerintahan negara-kota yang bernama Republik Florence. Pada tahun 1512 Republik Florence diserbu dan kekuasaan pemerintahannya diambil-alih oleh Keluarga Medici. Akibatnya Machavelli kehilangan pekerjaan. Pada akhir tahun 1513 dalam statusnya sebagai seorang penganggur, ia menulis sebuah naskah surat panjang kepada Keluarga Medici dengan harapan ia akan diberi posisi tertentu dalam pemerintahan Medici. Oleh karena itu tak mengherankan bahwa dalam naskah itu Machiaveli banyak pamer tentang berlimpahnya pengalaman dan kemampuan intelektual yang ia miliki. Bersamaan dengan itu ia juga menyampaikan nasihat-nasihat politik untuk seorang penguasa politik dalam sistem pemerintahan di mana penguasanya memimpin secara absolut. Semuanya ditujukan kepada pemerintahan keluarga Medici agar ia diberi posisi dalam pemerintahan. Tidak mengagetkan pula bahwa pada halaman dedikasinya, naskah surat itu secara eksplisit ditujukan kepada “The Magnificent Lorenzo de Medici” alias Lorenzo II yang saat itu sedang berkuasa. Dengan kata lain, sebenarnya dari pihak Machiavelli sendiri apa yang ia sampaikan itu sekedar merupakan “usulan” saja dengan maksud supaya dirinya yang sedang tak punya pekerjaan tetap itu bisa mendapat jabatan tertentu dari Keluarga Medici. Naskah surat itulah yang kemudian oleh penerbitnya diberi judul “Il Principe” atau “The Prince”. Itu pun baru diterbitkan pada tahun 1532, atau sekitar 5 tahun setelah kematian Machiavelli pada tahun 1527.
Selanjutnya, sejumlah peneliti atas karya-karya Machiaelli berpendapat bahwa sejatinya Machavelli adalah seorang pendukung sistem pemerintahan republik. Ia juga bersikap anti terhadap sistem pemerintahan dengan kekuasaan mutlak. Menurut mereka, apa yang ditulis Machiavelli dalam Il Principe itu merupakan sebentuk “satir” untuk secara tidak langsung mengatakan bahwa jika sebuah pemerintahan itu bersifat mutlak, akan seperti itulah sikap para pemimpinnya, di mana tujuan menghalalkan cara. Maksud Machiavelli adalah untuk menarik perhatian Lorenzo II supaya bersedia memberinya posisi dalam pemerintahannya. Sebagai mantan pegawai pemerintahan Republik Florence selama belasan tahun, Machiavelli sebenarnya lebih condong pada sistem pemerintahan republik. Pada saat yang sama, dalam situasi di mana semenanjung Italia selalu terancam oleh perang internal maupun perang yang disponsori oleh Perancis dan Spanyol, Machiavelli sadar bahwa kuat atau lemahnya seorang penguasa politik akan sangat menentukan.
Disepakati dan Diperjuangkan
Bagaimana dalam sejarah Indonesia pasca-Proklamasi? Apakah pernah ada pemimpin politik yang senada dengan apa yang dinasihatkan oleh Machiavelli di atas? Misalnya apakah Bung Karno sebagai salah seorang bapak pendiri bangsa pernah memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri? Mungkin pernah. Kita bisa melihat, misalnya, bahwa pada periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965) Bung Karno memusatkan kekuasaan politik di tangannya sendiri. Kabinet ia bubarkan dan susun sendiri, itu pun tanpa disertai oleh seorang wakil presiden. Namun demikian, Bung Karno melakukan tindakan-tindakan demikian karena ia berada dalam konteks tertentu. Kita belum lupa misalnya, saat itu di dalam negeri ada pertikaian politik yang terus-menerus, termasuk pemberontakan daerah dan upaya-upaya untuk menunda-nunda pelaksanaan Pemilu tahun 1955. Sementara itu dari luar negeri, ancaman Perang Dingin terus menghantui Indonesia. Bung Karno dengan kuat memegang kekuasaannya, namun ia tidak menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan diri. Pun tak ada sedikitpun niat untuk melanggengkan kekuasaan melalui keluarganya. Tak ada dinasti-dinastian. Tak ada hak penguasaan tanah yang berhektar-hektar. Semuanya ia lakukan demi mengantar bangsanya untuk melewati “jembatan emas” Kemerdekaan menuju masyarakat adil-makmur yang dicita-citakan bersama.
Pada masa pemerintahan Orde Baru sistem politik berubah. Dalam suasana pemerintahan yang militeristik dan otoritarian, hampir semua yang dinasihatkan Machiavelli di atas dipraktikkan. Demi kekuasaan politik, banyak pertimbangan moral dan etis yang dilanggar, rakyat selalu ditakut-takuti, sementara kekuatan bersenjata yang ada justru digunakan untuk menekan rakyat, dan sebagainya. Kita beruntung bahwa setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya pada tahun 1998 pemerintahan Orde Baru tumbang. Berakhir sudah cara-cara berpolitik yang mencerminkan nasihatnasihat politik yang buruk yang ada dalam manuskrip karya Machiavelli tersebut.
Oleh karena itu, akan sayang sekali jika pada paro pertama dekade 2020-an ini, nasihat-nasihat menyesatkan dari Machiavelli kepada Lorenzo II diamini dan dilakukan di Indonesia ini. Jika hal itu benar-benar dipraktikkan dan praktik tersebut dibiarkan begitu saja tanpa pernah di dievaluasi dan direfleksikan bersama, ada kemungkinan Indonesia akan kembali ke model pemerintahan militeristik dan otoritarian seperti yang pernah membelenggu Indonesia selama tiga dekade itu. Bisa jadi cara mempertahankan kekuasaan politik yang serupa akan terus diulangi di masa depan. Dalam situasi demikian seorang penguasa akan boleh menabrak aturan apa saja demi kelangsungan kekuasaannya, entah melalui dirinya secara langsung, entah melalui anggota keluarganya, atau melalui kelompoknya, atau siapa pun yang ia pandang sejalan dengan kehendaknya. Jika hal itu terjadi, akan rusaklah sistem demokrasi yang telah disepakati dan diperjuangkan ini, bahkan sejak sebelum Republik Indonesia secara resmi diproklamasikan. Para penguasa politik akan “lenggang-kangkung” menikmati kekuasaannya, sementara rakyat akan terus menderita di dalam cengkeraman kekuasaannya. Kita tidak menginginkan hal itu terjadi.