Injil yang barusan kita dengar tadi berkisah tentang bagaimana Yesus mampu memberi makan lima ribu orang dengan membagi-bagikan lima roti jelai dan dua ekor ikan yang kebetulan tersedia pada waktu itu. Sisa potongan roti setelah semua orang makan bahkan mencapai dua belas bakul penuh! Padahal yang ikut makan pada waktu itu adalah 5000 (lima ribu) orang laki-laki dewasa, tidak terhitung perempuan dan anak-anak. Sebelum membicarakannya lebih lanjut, baiklah kita terlebih dahulu memahami kisah ini bukan terutama dan semata-mata sebagai tindakan ajaib “memperbanyak makanan”, melainkan lebih sebagai tanda perhatian, belas-kasih, kesetiakawanan dan semangat berbagi Yesus dengan nasib orang banyak yang mengikutiNya.google Untuk itu juga, saya ingin memulai renungan ini dengan dua buah ceritera.
Pertama: Konon, di sebuah daerah terpencil, ada satu keluarga sederhana ingin mengadakan acara syukuran pernikahan anak pertamanya. Mulanya orang-tua dari anak yang mau menikah itu berencana mengundang warga sekampung untuk menghadiri acara syukuran dimaksud. Tapi akhirnya rencana itu dibatalkan karena ketidakmampuan mereka menjamu sekian banyak tamu yang diperkirakan akan hadir. Melihat kesulitan itu, kepala kampung mengumpulkan warganya untuk membicarakan rencana pernikahan anak pertama dari keluarga sederhana itu. Lalu, diam-diam mereka gotong-royong mengumpulkan semua yang perlu untuk terselenggaranya acara syukuran pernikahan itu. Demikianlah, ketika tiba hari pernikahan, keluarga itu pun terkejut, karena segala sesuatu telah dipersiapkan oleh warga sekampung, termasuk acara perjamuan untuk sekian banyak orang. Alhasil, resepsi pernikahan itu pun berlangsung meriah, dan semua yang hadir merasa puas.
Kedua: Dahulu, selagi masih frater di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, ada semacam tradisi/kebiasaan bahwa setiap kali ada frater yang berulang tahun, yang bersangkutan harus “mentraktir/menjamu” semua temannya, terutama teman-teman seangkatan. Yang biasanya harus disiapkan yubilaris antara lain: rokok, minuman dan makanan enak, sekurang-kurangnya mesti ada daging atau ikan bakar. Dan acara syukuran itu biasanya berlangsung sehari penuh: mulai dari pagi sesudah misa sampai dengan malam hari sebelum tidur. Masih beruntung kalau ulang tahunnya terjadi pada hari-hari kuliah dari pagi sampai sore; paling tidak anggarannya bisa berkurang….Karena itu, dapat dibayangkan betapa “menderitanya” yubilaris, karena semuanya harus ditanggung sendiri, padahal dalam segala hal masih bergantung pada orangtua. Tidak heran, kalau ada juga yang sengaja lupa tanggal ulang tahunnya, karena takut bangkrut.
Kembali ke Injil hari ini mengenai kisah Yesus memberi makan orang banyak yang berbondong-bondong mengikutiNya, yang lebih populer dikenal sebagai mukjizat pergandaan roti. Namun, sebagaimana dikatakan pada awal tadi, bahwasanya yang ingin ditekankan penginjil bukan terutama soal mukjizatnya, melainkan lebih pada perhatian, keprihatinan, belaskasih, kepedulian, sikap solider dan saling berbagi yang ditunjukkan Yesus terhadap nasib orang banyak yang lapar dan haus.
Injil Minggu lalu mengatakan bahwa Yesus sungguh tergerak hatinya oleh belaskasihan ketika melihat orang banyak itu, karena mereka seperti domba-domba tanpa gembala. Selanjutnya, dalam injil hari ini, terdorong oleh belaskasihan itu, Yesus ingin segera bertindak untuk menjawabi kebutuhan konkret mereka yang lapar dan haus. Dan sesungguhnya, Yesus tahu apa yang harus diperbuatNya. Namun sebelumnya, Ia ingin lebih dahulu mengecek dan menggugah hati manusia: pertama-tama, para muridNya sendiri, dan pada akhirnya bermuara pada orang banyak itu juga: sejauh mana kepedulian mereka terhadap sesamanya yang menderita. Hal ini nampak dalam pertanyaannya kepada Filipus: “Di manakah kita akan membeli roti supaya mereka ini dapat makan?” Sayangnya, Filipus menanggapi pertanyaan Yesus ini dari sudut pandangnya sendiri yang sarat dan kental dengan perhitungan ekonomis semata. Di sini, kita dapat melihat, bahwa sekalipun kalkulasi ekonomis itu penting, juga dan terutama dalam kehidupan konkret kita dewasa ini, namun tidak semua masalah kemanusiaan dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan perhitungan untung-rugi semata. Malah, dalam banyak hal, terjadi begitu banyak persoalan kemanusiaan, justru karena manusia terlampau mengandalkan perhitungan-perhitungan ekonomis itu: Bagaimana mungkin saya dapat menolong sesama yang berkekurangan, sementara keadaan ekonomi saya sendiri pas-pasan? Bagaimana saya dapat menyekolahkan seorang anak hingga Sarjana, kalau gaji atau penghasilan saya cuma sekian? Dan seterusnya….Demikianlah, banyak masalah tidak dapat diselesaikan dengan kalkulasi ekonomis semata, jika tidak disertai semangat pengorbanan dan pemberian diri yang utuh, atau sekurang-kurangnya sikap rela berbagi dari kekurangan. Kalkulasi ekonomis semacam inilah yang ditunjukkan Filipus.
Selanjutnya, lain lagi reaksi yang ditunjukkan Andreas, saudara Simon Petrus. Ketika tahu bahwa di antara mereka ada seorang anak yang membawa lima roti jelai dan dua ekor ikan, ia pun segera memberitahukannya kepada Yesus. Di sini, nampak secuil kepedulian Andreas, walau ia sendiri ragu, apakah hal itu dapat menyelesaikan persoalan. Dan sesungguhnya keraguan ini muncul, karena apa yang disampaikannya kepada Yesus bukan berasal dari dirinya sendiri; dia cuma menyampaikan apa yang dimiliki orang lain, yakni seorang anak. Di sini kita dapat melihat bahwa kepedulian terhadap nasib sesama itu penting,; namun kepedulian itu mestinya bersifat utuh, total, tidak setengah-setengah; kepedulian itu mestinya lahir/muncul dari dalam diri sendiri, yang disertai tindakan nyata pemberian diri sendiri untuk menolong sesama yang menderita, dan bukannya mengambil sesuatu dari luar diri, lalu memberikannya kepada orang lain. Dalam hal ini, banyak program bantuan yang diberikan bagi orang-orang kecil sering tidak efektif, justru karena ia berasal bukan dari pemberian diri sang pemberi, melainkan dari sesuatu yang diambil dari pihak lain. Sebaliknya, si anak yang empunya lima roti jelai dan dua ekor ikan, sungguh yakin, bahwa apa yang diberikannya, walau sedikit, akan membantu mengatasi masalah yang sedang terjadi. Dalam hal ini, ia sungguh yakin, karena apa yang diberikannya bukan sekadar bekal bagi dirinya, melainkan lebih dari itu merupakan tanda/ungkapan syukur yang ingin dipersembahkannya atas segala sesuatu yang telah diperolehnya secara cuma-cuma dari Tuhan. Inilah hakekat Ekaristi (dari kata Yunani: Eucharistein) yang artinya puji-syukur. Tentang hakekat Ekaristi ini, Santo Yohanes Krisostomus berkata: “Bukan manusia yang menyebabkan bahwa bahan persembahan menjadi Tubuh dan Darah Kristus, melainkan Kristus sendiri yang telah disalibkan untuk kita. Imam yang bertindak atas nama Kristus, mengucapkan kata-kata ini, tetapi daya kerjanya dan rahmatnya datang dari Allah. Inilah Tubuh-Ku, demikian ia berkata. Kata-kata ini mengubah bahan persembahan itu”. Dan sesungguhnya, inilah yang diperbuat Yesus atas pemberian si anak tadi.
Selanjutnya, sikap yang ditunjukkan sang anak itu, sungguh menggugah dan menggerakkan hati banyak orang: bukan saja hati para murid, melainkan semua orang yang mengikuti Yesus pada waktu itu. Dengan malu-malu, satu per satu dari mereka, mengeluarkan makanan yang dibawanya, lalu menyerahkan kepada para murid, untuk selanjutnya diberikan kepada Yesus. Dan seketika itu juga terjadilah mukjizat yang besar, pergandaan roti, di mana terkumpul sekian banyak makanan, yang tidak lagi dilihat semata-mata sebagai bekal dari masing-masing mereka, melainkan lebih sebagai tanda dan ungkapan puji-syukur mereka atas segala sesuatu yang telah diperolehnya secara cuma-cuma dari Tuhan. Dan selanjutnya, mereka semua makan sampai kenyang, bahkan masih tersisa dua belas bakul. Sesungguhnya, inilah hakekat dari misteri Ekaristi, sebagai perayaan puji-syukur kita atas segala rahmat yang telah terima secara gratis dari Allah, teristimewa karya penebusan dan penyelamatanNya melalui Putera TunggalNya, Yesus Kristus.
Dengan ini, kisah tentang mukjizat pergandaan roti sesungguhnya ingin mengajarkan kita tentang dimensi sosial ekaristi, sebagai suatu perayaan solidaritas antar manusia. Bahwasanya, semangat dan jiwa khas Ekaristi,” Inilah Tubuh-Ku yang dikorbankan bagimu”, memanggil umat beriman untuk diutus menjadi roti kehidupan yang dipecah-pecahkan bagi hidup dan keselamatan sesama, khususnya bagi mereka yang miskin, lemah dan tersingkir. Dalam kenyataan itu, Ekaristi menemukan makna dan hakikatnya sebagai roti hidup yang menjadikan manusia memiliki hidup dan memperoleh keselamatan serta kehidupan sejati yaitu kehidupan bersama yang berlandaskan kasih persaudaraan dalam kesatuan dan kesesuaian dengan kehendak Allah. Dengan demikian, Ekaristi bukanlah sekadar perjamuan makan, bukan pula sebuah ritual perayaan sakramen atau upacara keagamaan belaka, melainkan suatu peristiwa yang menghadirkan kembali misteri kurban, wafat dan kebangkitan Kristus secara sakramental, sekarang dan di sini, saat misteri itu dirayakan dalam liturgi Ekaristi. Misteri serta realitas tersebut adalah suatu ‘peristiwa keselamatan’ bagi manusia dan pemulihan seluruh alam ciptaan. Karena itu, Ekaristi adalah perayaan kehidupan yang menuntun dan mengarahkan umat beriman, dalam menapaki pergaulan hidup sehari-hari dengan berkat dan rahmat Kristus yang senantiasa menuntun dan menyertai hidup manusia sampai pada kepenuhannya.
Belajar dari peristiwa pergandaan roti sebagai simbol dari Ekaristi, kiranya kita pun mampu berbagi bukan hanya sesuatu, melainkan juga diri kita sendiri kepada sesama yang berkekurangan. Mudah-mudahan…Tuhan memberkati!!!