Siapakah Yang Sama Dengan Allah?

Jokowi dan Unholy Alliance (4)

0 76

Bukan Jokowi kalau tidak berusaha  sampai ujung, “push into the limit, why not?” Begitulah  kita  semua  menyaksikan bagaimana Jokowi akhirnya mempersandingkan putra pertamanya, Gibran Rakabuming Raka, dengan bekas musuh pilpres-nya Prabowo Subianto. Prabowo Subianto yang sudah tiga kali maju sebagai capres dan selalu kalah itu kali ini tampaknya mendapatkan jaminan  dari Jokowi.  “Ini saatnya Prabowo Subianto menjadi Presiden, begitu tertulis dalam baliho-baliho  sepanjang  jalan.  Mengapa  Jokowi  mengingin- kan  Prabowo  menjadi  presiden?  Salah  satu  dugaan  karena hanya Prabowo yang bisa menjamin kelangsungan agendanya yang belum selesai setelah tidak menjadi presiden lagi. Pembangunan ibukota  baru,  misalnya.  Posisi anaknya  yang ditempatkan sebagai cawapres bisa menjadi pengikat agar Prabowo tidak mengingkarinya jika nanti terbukti menang.

Belum lama ini melalui sebuah rekayasa hukum lewat keputusan  MK yang diketuai oleh adik ipar Presiden Jokowi telah   meloloskan    Gibran    sebagai   cawapres.   Manipulasi hukum yang dilakukan itu dibayar cukup mahal dengan dicopotnya  jabatan  adik iparnya  sebagai ketua MK.  Majelis Etik   menilai   keputusan    meloloskan    Gibran   itu   sebagai tindakan  tidak etis dan menyalahi konstitusi. Dalam opininya Majalah  Tempo  menulis  Gibran  sebagai anak  haram konstitusi.  Tapi  bayar  membayar  dalam  politik  adalah  hal yang biasa bagi Jokowi. Selalu ada ongkos yang harus dibayar dalam  setiap  tujuan  yang ingin dicapai.  Bahwa  pencopotan adik iparnya  sebagai Ketua  MK bagi umumnya orang  yang masih memiliki nalar waras sangat memalukan keluarga, bagi Jokowi rasa malu itu meskipun  pasti juga ada, sebagai orang Jawa  mungkin  akan  berkata  “idep-idep tumbal” untuk  meraih kemuliaan  hidup keluarga yang lebih besar.

Memang  seperti ada yang berada  diluar  batas kewajaran, melampaui   batas  nalar  manusia   pada  umumnya. Tapi  itu tampaknya yang sedang diperlihatkan oleh Jokowi.  Seorang teman,  aktifis LSM  dari  Jogya,  menggunakan istilah  Jawa melihat  fenomena  Jokowi  yang  sulit dimengerti  itu sebagai “kami tenggeng-en“. Menyandingkan anaknya,  Gibran, melalui manipulasi  hukum  yang  telah  dibuktikan  sebagai  tidak  etis dan  melanggar  konstitusi,  dengan  Prabowo  Subianto  yang pernah diberhentikan sebagai Panglima Kostrad dengan tidak hormat karena telah mencederai Sumpah Prajurit dengan melakukan  berbagai tindakan kekerasan, antara lain menculik dan menyiksa  para aktivis, adalah  menyekutukan dua unsur yang tidak suci (unholy alliance).

Persekutuan tidak suci dalam agama pastilah neraka hukumannya. Tapi dalam politik, bagi Jokowi, bukan sebuah masalah. Meskipun mungkin tidak pernah membaca Sang Pangeran  dan  Machiaveli,  Jokowi  tampaknya menjalankan dengan  baik  ajarannya.  Menurut   Machiaveli,   politik  yang baik harus dipisahkan dari etika. Politik berurusan dengan hal- hal  yang  duniawi   bukan  yang  ukhrawi   seperti  etika  dan agama.  Baik buruk politik tidak bisa diukur  oleh baik-buruk

etika atau agama. Dengan latar belakangnya sebagai pebisnis, Jokowi memandang politik tidak lebih sebagai persoalan kalkulasi untung rugi, “cost and benefit”. Sebagai pelaku ajaran Machiavelli,  Jokowi saya kira memandang persekutuan  tidak suci   (unholy  alliance)   antara   beberapa   pihak   merupakan sesuatu  yang biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. Politik sebagai sesuatu yang dianggap kotor bagi sebagian orang saya kira karena adanya praktek-praktek “unholy alliance” ini.

Pada    hari   Sabtu   tanggal    25   November    2023   saya menghadiri  peluncuran novel terbaru dari Leila Chudori yang berjudul  “Namaku  Alam”.  Dalam  sebuah  aula  yang  cukup besar di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) itu, pengunjungnya sebagian besar mahasiswa, berjubel memadati ruangan.  Diskusi buku baru Leila Chudori  yang merupakan bagian dari acara Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) ini sangat menarik karena memperlihatkan besarnya antusiasme generasi milenial terhadap sejarah dan politik negerinya. Saya kebetulan sudah membaca novel Leila sebelumya  yang  berjudul  “Pulang”  (2012) dan  “Laut Bercerita” (2017). Rupanya novel terbarunya “Namaku Alam” (2023), boleh dikatakan  kelanjutan  dari novel “Pulang”  yang mengisahkan    perjalanan    hidup   seorang   pelarian    politik korban  peristiwa  65.  Tokoh  utama  cerita  ini  mendapatkan suaka politik di Perancis. Kota Paris sebagai seting dan demonstrasi    mahasiswa    tahun   1969   serta   percintaannya dengan seorang mahasiswi  Perancis  diramu  dengan  menarik oleh Leila Chudori. Sementara novel terbarunya “Namaku Alam” mengisahkan  kehidupan  seorang anak Tapol (tahanan politik) juga korban  peristiwa  65 yang hidup  di tengah  kota Jakarta.

Pada  novel  “Laut  Bercerita”  dalam  “genre”  yang  sama, Leila mengisahkan sekelompok aktifis mahasiswa yang melakukan  gerakan  untuk  menjatuhkan rezim  otoriter  Orde Baru dibawah  Jendral  Suharto.  Saya kira, Leila adalah  satu generasi dengan  para aktivis ini, sehingga dalam  novel yang selalu  ditulisnya  berdasarkan   riset  dan  wawancara  dengan para pelaku ini, terasa kedekatan  dirinya dengan tokoh-tokoh utama  dalam novelnya.  Dalam  presentasinya  Leila misalnya mengatakan bagaimana  saat ini masih  ada  13 orang  aktivis yang diculik sekitar 1998 yang masih tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Yang menarik dalam diskusi buku yang dipenuhi mahasiswa di kampus UM di Malang itu adalah saat sesi tanya jawab. Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada Leila adalah apakah Leila pernah merasa takut karena novel- novelnya selalu mengambil tema-tema politik yang sensitif. Jawaban  Leila terhadap  pertanyaan yang satu ini terus terang mengejutkan  saya yang duduk  di barisan  belakang  bersama Halim HD dari Solo. Leila mengatakan bahwa tentu saja ada rasa takut itu, apalagi orang-orang  yang dulu menjadi bagian dari  Orde  Baru masih  ada.  Oleh  karena  itu Leila  mengaku harus selalu mengambil  sikap hati-hati.  Tapi kemudian  Leila mengatakan bahwa  sekarang dia benar-benar  sedang merasa takut, terutama setelah adanya keputusan MK itu. Leila mengatakan sangat  khawatir  dengan  perkembangan politik akhir-akhir ini. Leila mengatakan takut Orde Baru akan hidup kembali di Indonesia.

Lahirnya  “unholy alliance”  antara  Prabowo  Subianto  dan Gibran  Rakabuming Raka,  yang  dibidani  Jokowi  saya  kira tidak hanya  menakutkan Leila Chudori,  tapi banyak  orang, termasuk   saya.  Munculnya  pasangan   calon  presiden   dan wakil  presiden  dalam  sebuah  persekutuan   yang  tidak  suci memang   mencemaskan masa  depan  Indonesia.   Ketakutan Leila Chudori, seorang novelis, yang menuliskan ceritanya melalui penghayatan mendalam dari para aktivis yang mengalami  penculikan  dan penyiksaan  menjelang  kejatuhan Jendral  Suharto  pada  bulan  Mei  1998 adalah  sesuatu  yang nyata.  Represi dan kekejaman  dari sebuah  rezim yang telah berhasil  ditumbangkan  pada  bulan  Mei  1998  itu  memang tidak terbayangkan kalau lahir kembali. Jika itu terjadi, Indonesia  akan  kembali tidak saja ke titik nol, tapi ke dasar kubangan lumpur yang sangat dalam.

Malang, 27 November 2023

 

Penulis

Riwanto   Tirtosudarmo,  sejak   lahir   sampai   menamatkan SMA-nya tinggal di Tegal, kemudian melanjutkan ke Fakultas Psikologi  UI  di  Jakarta.   Setelah  lulus  S1  bekerja  sebagai peneliti sosial di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai pensiun. Pernah mengenyam  pendidikan  S2 dan S3 di bidang demografi-sosial  di Australia  disamping  pernah diundang  sebagai peneliti tamu di Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jepang dan Singapura.  Membaca dan menulis adalah pekerjaan utamanya dari mahasiswa  sampai sekarang. Selain membuat tulisan ilmiah dalam bentuk buku dan artikel jurnal, sejak  masa  pandemi  yang  lalu  membiasakan menulis  esai. Kumpulan tulisan dan esai-nya telah diterbitkan dalam empat buku  “Mencari  Indonesia”. Menulis  puisi,  meskipun  tidak sering telah dilakukannya sejak lama, namun  untuk disimpan sendiri.     Belakangan,     memberanikan    diri    menerbitkan kumpulan  puisi-nya yang diberi judul “Secangkir Kopi di Pagi Hari”, dan yang akan diterbitkan “Di Galeri Sumbing”.

Leave a comment