Bukan Jokowi kalau tidak berusaha sampai ujung, “push into the limit, why not?” Begitulah kita semua menyaksikan bagaimana Jokowi akhirnya mempersandingkan putra pertamanya, Gibran Rakabuming Raka, dengan bekas musuh pilpres-nya Prabowo Subianto. Prabowo Subianto yang sudah tiga kali maju sebagai capres dan selalu kalah itu kali ini tampaknya mendapatkan jaminan dari Jokowi. “Ini saatnya Prabowo Subianto menjadi Presiden, begitu tertulis dalam baliho-baliho sepanjang jalan. Mengapa Jokowi mengingin- kan Prabowo menjadi presiden? Salah satu dugaan karena hanya Prabowo yang bisa menjamin kelangsungan agendanya yang belum selesai setelah tidak menjadi presiden lagi. Pembangunan ibukota baru, misalnya. Posisi anaknya yang ditempatkan sebagai cawapres bisa menjadi pengikat agar Prabowo tidak mengingkarinya jika nanti terbukti menang.
Belum lama ini melalui sebuah rekayasa hukum lewat keputusan MK yang diketuai oleh adik ipar Presiden Jokowi telah meloloskan Gibran sebagai cawapres. Manipulasi hukum yang dilakukan itu dibayar cukup mahal dengan dicopotnya jabatan adik iparnya sebagai ketua MK. Majelis Etik menilai keputusan meloloskan Gibran itu sebagai tindakan tidak etis dan menyalahi konstitusi. Dalam opininya Majalah Tempo menulis Gibran sebagai anak haram konstitusi. Tapi bayar membayar dalam politik adalah hal yang biasa bagi Jokowi. Selalu ada ongkos yang harus dibayar dalam setiap tujuan yang ingin dicapai. Bahwa pencopotan adik iparnya sebagai Ketua MK bagi umumnya orang yang masih memiliki nalar waras sangat memalukan keluarga, bagi Jokowi rasa malu itu meskipun pasti juga ada, sebagai orang Jawa mungkin akan berkata “idep-idep tumbal” untuk meraih kemuliaan hidup keluarga yang lebih besar.
Memang seperti ada yang berada diluar batas kewajaran, melampaui batas nalar manusia pada umumnya. Tapi itu tampaknya yang sedang diperlihatkan oleh Jokowi. Seorang teman, aktifis LSM dari Jogya, menggunakan istilah Jawa melihat fenomena Jokowi yang sulit dimengerti itu sebagai “kami tenggeng-en“. Menyandingkan anaknya, Gibran, melalui manipulasi hukum yang telah dibuktikan sebagai tidak etis dan melanggar konstitusi, dengan Prabowo Subianto yang pernah diberhentikan sebagai Panglima Kostrad dengan tidak hormat karena telah mencederai Sumpah Prajurit dengan melakukan berbagai tindakan kekerasan, antara lain menculik dan menyiksa para aktivis, adalah menyekutukan dua unsur yang tidak suci (unholy alliance).
Persekutuan tidak suci dalam agama pastilah neraka hukumannya. Tapi dalam politik, bagi Jokowi, bukan sebuah masalah. Meskipun mungkin tidak pernah membaca Sang Pangeran dan Machiaveli, Jokowi tampaknya menjalankan dengan baik ajarannya. Menurut Machiaveli, politik yang baik harus dipisahkan dari etika. Politik berurusan dengan hal- hal yang duniawi bukan yang ukhrawi seperti etika dan agama. Baik buruk politik tidak bisa diukur oleh baik-buruk
etika atau agama. Dengan latar belakangnya sebagai pebisnis, Jokowi memandang politik tidak lebih sebagai persoalan kalkulasi untung rugi, “cost and benefit”. Sebagai pelaku ajaran Machiavelli, Jokowi saya kira memandang persekutuan tidak suci (unholy alliance) antara beberapa pihak merupakan sesuatu yang biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. Politik sebagai sesuatu yang dianggap kotor bagi sebagian orang saya kira karena adanya praktek-praktek “unholy alliance” ini.
Pada hari Sabtu tanggal 25 November 2023 saya menghadiri peluncuran novel terbaru dari Leila Chudori yang berjudul “Namaku Alam”. Dalam sebuah aula yang cukup besar di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) itu, pengunjungnya sebagian besar mahasiswa, berjubel memadati ruangan. Diskusi buku baru Leila Chudori yang merupakan bagian dari acara Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) ini sangat menarik karena memperlihatkan besarnya antusiasme generasi milenial terhadap sejarah dan politik negerinya. Saya kebetulan sudah membaca novel Leila sebelumya yang berjudul “Pulang” (2012) dan “Laut Bercerita” (2017). Rupanya novel terbarunya “Namaku Alam” (2023), boleh dikatakan kelanjutan dari novel “Pulang” yang mengisahkan perjalanan hidup seorang pelarian politik korban peristiwa 65. Tokoh utama cerita ini mendapatkan suaka politik di Perancis. Kota Paris sebagai seting dan demonstrasi mahasiswa tahun 1969 serta percintaannya dengan seorang mahasiswi Perancis diramu dengan menarik oleh Leila Chudori. Sementara novel terbarunya “Namaku Alam” mengisahkan kehidupan seorang anak Tapol (tahanan politik) juga korban peristiwa 65 yang hidup di tengah kota Jakarta.
Pada novel “Laut Bercerita” dalam “genre” yang sama, Leila mengisahkan sekelompok aktifis mahasiswa yang melakukan gerakan untuk menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru dibawah Jendral Suharto. Saya kira, Leila adalah satu generasi dengan para aktivis ini, sehingga dalam novel yang selalu ditulisnya berdasarkan riset dan wawancara dengan para pelaku ini, terasa kedekatan dirinya dengan tokoh-tokoh utama dalam novelnya. Dalam presentasinya Leila misalnya mengatakan bagaimana saat ini masih ada 13 orang aktivis yang diculik sekitar 1998 yang masih tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Yang menarik dalam diskusi buku yang dipenuhi mahasiswa di kampus UM di Malang itu adalah saat sesi tanya jawab. Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada Leila adalah apakah Leila pernah merasa takut karena novel- novelnya selalu mengambil tema-tema politik yang sensitif. Jawaban Leila terhadap pertanyaan yang satu ini terus terang mengejutkan saya yang duduk di barisan belakang bersama Halim HD dari Solo. Leila mengatakan bahwa tentu saja ada rasa takut itu, apalagi orang-orang yang dulu menjadi bagian dari Orde Baru masih ada. Oleh karena itu Leila mengaku harus selalu mengambil sikap hati-hati. Tapi kemudian Leila mengatakan bahwa sekarang dia benar-benar sedang merasa takut, terutama setelah adanya keputusan MK itu. Leila mengatakan sangat khawatir dengan perkembangan politik akhir-akhir ini. Leila mengatakan takut Orde Baru akan hidup kembali di Indonesia.
Lahirnya “unholy alliance” antara Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang dibidani Jokowi saya kira tidak hanya menakutkan Leila Chudori, tapi banyak orang, termasuk saya. Munculnya pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam sebuah persekutuan yang tidak suci memang mencemaskan masa depan Indonesia. Ketakutan Leila Chudori, seorang novelis, yang menuliskan ceritanya melalui penghayatan mendalam dari para aktivis yang mengalami penculikan dan penyiksaan menjelang kejatuhan Jendral Suharto pada bulan Mei 1998 adalah sesuatu yang nyata. Represi dan kekejaman dari sebuah rezim yang telah berhasil ditumbangkan pada bulan Mei 1998 itu memang tidak terbayangkan kalau lahir kembali. Jika itu terjadi, Indonesia akan kembali tidak saja ke titik nol, tapi ke dasar kubangan lumpur yang sangat dalam.
Malang, 27 November 2023
Penulis
Riwanto Tirtosudarmo, sejak lahir sampai menamatkan SMA-nya tinggal di Tegal, kemudian melanjutkan ke Fakultas Psikologi UI di Jakarta. Setelah lulus S1 bekerja sebagai peneliti sosial di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai pensiun. Pernah mengenyam pendidikan S2 dan S3 di bidang demografi-sosial di Australia disamping pernah diundang sebagai peneliti tamu di Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jepang dan Singapura. Membaca dan menulis adalah pekerjaan utamanya dari mahasiswa sampai sekarang. Selain membuat tulisan ilmiah dalam bentuk buku dan artikel jurnal, sejak masa pandemi yang lalu membiasakan menulis esai. Kumpulan tulisan dan esai-nya telah diterbitkan dalam empat buku “Mencari Indonesia”. Menulis puisi, meskipun tidak sering telah dilakukannya sejak lama, namun untuk disimpan sendiri. Belakangan, memberanikan diri menerbitkan kumpulan puisi-nya yang diberi judul “Secangkir Kopi di Pagi Hari”, dan yang akan diterbitkan “Di Galeri Sumbing”.