Politik Pencitraan: Citra Perpolitikan Dalam Jerat Simulacra dan Realitas Integral.

(Sebuah Kritik Filosofis Jean Baudrillard)

171

“….dinosaurus yang telah lama hilang pada masa lalu, dapat dihadirkan saat ini di dalam replika, salinan,imitasi dan tiruannya, Namun dinosaurus itu kehilangan kontak dengan realitas, di mana ia bisa tampak (seakan-akan lebih nyata dari kenyataan yang disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya), padahal hanya merupakan tiruan dari yang aslinya pada masa lalu. Dinosaurus telah menjadi hiperealitas yang merupakan simulacrum dari dinosarus asli pada masa lalu.

Konstelasi dunia perpolitikan saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Berbagai teori politik telah membentuk medan politik menjadi semacam meja perjudian di mana para politisi duduk di samping meja sambil mempertaruhkan segalanya demi sebuah kemenangan. Cita-cita agung konsep politik hanya menjadi sebuah gambaran utopis yang nyata. Bagaimana tidak? Semua hal baik dalam politik telah direduksi menjadi kerdil. Moral politik, komunikasi politik sampai pada partisipasi politik telah mengalami degradasi yang akut. Politik hanya menjadi medan pencitraan, citra politik telah dieksploitasi, dicabut dari akarnya. Maka yang ada saat ini hanyalah sebuah replikasi citra politik yang telah kehilangan kontak dengan realitas sejati yang dalam bahasa Jean Baudrillard disebut hiperealitas[2]. Realitas politik saat ini dapat dikatakan cukup sempurna karena perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, namun di sisi lain gambaran sempurna ini hanyalah sebuah replika,imitasi, atau tiruan yang walaupun terlihat sempurna melampaui realitas asalinya, tetapi telah kehilangan kontak dengan realitas. Lebih sederhana dapat dipahami bahwa politik saat ini ibarat sebuah replika hewan purba yang walaupun terlihat nyata tetapi sebenarnya telah mati. Apakah citra politik mati oleh politik pencitraan?

Simulacra

            Terminologi simulacra dalam arti harafiah yang dijelaskan dalam Kamus The Oxford English Dictionary berarti “ sebuah aksi menirukan sesuatu dengan tujuan atau maksud menipu.” Selanjutnya pemahaman tentang simulacra mengalami perkembangan yakni dipahami sebagai sebuah konsep tiruan dari sesuatu, penampilan palsu, atau sesuatu yang mirip. Dengan demikian simulacra digunakan oleh Baudrilard untuk menjelaskan realitas dunia post-modern.[3]

“Simulacra that are natural, naturalist, founded on the image, on imitation and counterfeit, that are harmonious, optimistic, and that aim for the restitution or the ideal institution of nature made in God’s image; simulacra that are productive, productivist, founded on energy, force, its materialization by the machine and in other whole system of production; a Promethean aim of a continuous globalization and expansion, of an indefinite liberation of energy (desire belongs to the Utopias related to this order of simulacra); simulacra of simulation, founded on information, the model, the cybernetic game – total operationality, hyperreality, aim of total control”. [4]

Melalui pernyataan ini Baudrillard menjelaskan tentang proses lahirnya simulacra dengan mengafirmasikan bahwa sistem ini lahir dari globalisasi, perkembangan teknologi, dan kemajuan dunia informasi yang berkelanjutan. Simulacra sebagai sebuah konsep mendasarkan diri pada fondasi citra,duplikasi dan imitasi dari sesuatu yang sudah ada, proses ini berlangsung terus- menerus dalam kehidupan bermasyarakat di era postmodern.

Bagi Baudrillard, simulacra memiliki tiga tingkatan. Pertama, simulacra berlangsung sejak era renaissance sampai pada permulaan revolusi industri. Pada tingkatan pertama ini bahasa, tanda, dan objek menjadi representasi dari realitas alami yang sekaligus transenden. Pada tingkatan kedua terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat gejala industrialisasi yang merebak, di mana berkat teknologi reproduksi, objek tiruan tidak lagi mempunyai jarak dengan yang asli, misalnya gambar yang diambil oleh seorang fotografer tentu saja persis dengan objek aslinya, namun mekanisme ini kehilangan sifat transenden yang ada pada tingkat pertama. Pada tingkat ketiga, akibat perkembangan IPTEK, simulacra tidak lagi mempunyai representasi terhadap realitas. Simulacra khusus dinamakan “simulasi”. Dengan kata lain, menurut Baudrillard, kita telah bergerak dari meniru suatu realitas menuju suatu produksi barang real sampai pada tahap produksi proses dari peniruan itu sendiri. Maka konsep simulasi bagi Baudrillard dalam masyarakat modern tidak hanya berkaitan dengan objek tetapi juga berkaitan dengan konteks yang lebih luas, misalnya hubungan antar manusia. Sebagai contoh, sebuah iklan yang mempromosikan sebuah produk tidak hanya berfokus pada produk itu tetapi juga menciptakan suatu kondisi atau perasaan dekat yang membuat orang merasa dekat dan tertarik dengan benda itu.[5]

Politik

Berbicara tentang politik tentu merupakan suatu bahan yang memiliki sejarah yang panjang. Historisitas politik menjadi acuan penting bagi siapa saja yang ingin terjun dalam dunia politik. Politik tidak boleh dilihat sebagai ajang pertarungan merebut harta, takhta, dan jabatan. Namun, diskursus politik dewasa ini perlu dilihat dengan menggunakan “semangat kembali ke akar”. Semangat mengakar ini kemudian menjadi kompas sekaligus mercusuar bagi setiap orang yang berselancar dalam dunia politik.

Konsep komunitas politik yang dibangun sejak zaman Yunani kuno memang telah mengalami pergeseran makna seturut perkembangan zaman hingga saat ini. Tetapi jika semangat ini digali kembali maka tidak mustahil jika politik akan menjadi arena perjuangan bersama untuk menciptakan suatu kondisi yang diidealkan. Komunitas politik memang merupakan perbendaharaan kata yang cukup modern dan sulit ditemukan dalam kosa-kata Yunani klasik. Oleh karena itu, Plato dan Aristoteles menggunakan kata Polis (Negara-kota) untuk menjelaskan tentang komunitas politik. Konsep Polis bagi Aristoteles merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap kaum Sofis pada waktu itu yang menganggap bahwa negara hanya merupakan suatu alat yang digunakan manusia untuk mencapai keinginan subjektif. Bagi Aristoteles, negara bukanlah suatu intrumen tetapi merupakan suatu organisme di mana di dalamnya terjalin relasi khusus dan akrab antara sesama anggota. Dan apabila demikian maka gambaran ideal tentang Negara-Kota dengan sendirinya akan tercapai, tercipta, dan terpelihara.[6]

Pemahaman politik saat ini tentu saja tidak jauh berbeda dengan pandangan kaum Sofis pada abad ke-5 SM. Bahkan boleh dikatakan bahwa nalar poltik saat ini merupakan bentuk regenerasi dari pemahaman kaum Sofis. Moral politik telah mengalami suatu degradasi yang cukup dalam. Tidak hanya itu. Partisipan politik pun serasa terbuai dan terlena dengan permainan ini. Konsep negara yang ideal selalu mengharapkan bahwa warga negara yang turut menjadi partisipan politik memiliki kecakapan dalam melihat, menilai, dan memilih orang-orang yang tepat dan mampu memberi suatu perubahan yang baik dalam kehidupan politik. Maka warga negara perlu memiliki daya moral untuk mencitrakan keadilan dan untuk memahami kebaikan. Selain itu, perlu juga daya intelektual untuk menilai, berpikir, dan membuat kesimpulan. Untuk mencapai suatu tatanan politik yang pasti diandaikan sekaligus diharapkan bahwa warga negara memilki kemampuan dan kecakapan yang dibutuhkan untuk menjadi anggota masyarakat yang  mampu bekerja sama dengan baik.[7] Dan pada akhirnya, satu-satunya jalan untuk menghidupkan kembali spirit politik yang telah mati yakni dengan memberikan pemahaman dan wawasan yang baik tentang politik bagi setiap warga negara.

Simulacra Politik

Jika ditarik sebuah benang merah dari hubungan antara Konsep berpikir simulacra Jean Baudrillard dengan realitas politik saat ini dapat disimpulkan bahwa hal ini merupakan suatu fenomena hiperealitas. Maksudnya ialah bahwa suatu keadaan yang tampak data dalam konstelasi politik merupakan sebuah imitasi atau tiruan dari konsep politik yang sejati namun telah kehilangan makna dan esensi, karena yang tampak saat ini dalam wajah perpolitikan hanyalah sebuah simulacra yang mencoba memanipulasi keadaan sehingga tampak seolah-olah baik namun sejatinya penuh dengan kepalsuan.

Politik pencitraan mendapatkan panggung yang bagus untuk terus bersandiwara sedangkan citra politik yang sesungguhnya menjadi lemah dan mati. Keagungan citra politik yang penuh dengan kesejahteraan bersama dijajah habis-habisan oleh politik pencitraan yang sangat kental dengan keinginan subjektif elit politik. Semua aspek dalam politik pencitraan bagi Baudrillard hanyalah bersifat artifisial dan palsu. Maka politik pencitraan dapat disebut sebagai hiperealitas  di mana politik saat ini merupakan representasi dari realitas politik masa lalu yang hadir dalam bentuk yang sempurna tetapi terlepas atau kehilangan kontak dari realitas itu sendiri. Baudrillard dalam salah satu esainya yang berjudul “Violence of Virtual and Integral Reality” menegaskan bahwa saat ini kita hidup dalam realitas integral di mana manusia zaman sekarang kehilangan acuan akan apa pun termasuk politik. Batas antara riil dan penampakan menjadi sangat kabur pada masa ini. Begitu pula perbedaan antara kebenaran (truth) dengan penampakan (appearance), yang asli dengan yang palsu, semuanya telah menghilang. [8]

Kehilangan acuan pijakan adalah sebuah petaka besar yang dapat menimbulkan keruntuhan. Dari konsep pemikiran Baudrillard ini ditegaskan beberapa poin penting bahwa dunia perpolitikan saat ini hanya sebuah panggung sandiwara. Manusia terjebak dalam narasi realitas integral, tidak ada acuan pijakan sehingga menjadikannya sulit membedakan antara yang asli dan yang palsu sebab semua kacau balau, antara yang riil dan yang palsu tidak ada bedanya, segala hal dilihat sebagai yang riil. Demikian juga politik pencitraan dilihat sebagai sesuatu yang riil. Citra politik dan politik pencitraan terjebak dalam realitas integral.

 

 

[1]Silvester Ule, TERORISME GLOBAL (Maumere: LEDALERO, 2011).

[2] Hiperealitas adalah salah satu istilah yang dipakai oleh Walter Benjamin, Umberto Eco dan Jean Baudrillard dengan arti yang sedikit berbeda. Istilah ini tidak dapat dipisahkan dari istilah Simulacrum dan simulasi. Sederhananya bahwa Hiperealitas adalah representasi yang lebih bagus dari realitas yang menjadi objek acuan.

[3]https://lsfdiscourse.org/jean-baudrillard-simulakra-dan-hiperrealitas-masyarakat-postmodern/

[4]Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (University of Michigan Press, 1994).

[5]Silvester Ule.hal 48-51

[6]Yosef Keladu Koten, PARTISIPASI POLITIK (Maumere: Ledalero, 2010).

[7]Kewarganegaraan Demokratis, ed. by Felix Baghi (Maumere: LEDALERO, 2009).

[8]Silvester Ule. Hal 52

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More