LOYALITAS PROPORSIONAL
Bacaan-bacaan suci hari ini (hari minggu biasa ke-29, sekaligus hari minggu misi se-dunia ke-97) pada intinya berbicara tentang kewajiban kita kepada Tuhan dan kepada Negara/Pemerintah.
Nabi Yesaya, dalam bacaan pertama, menggambarkan bagaimana Koresy II, Raja Persia yang kafir, dipakai Allah sebagai instrumen untuk menyelamatkan bangsaNya. Pada tahun 539 SM, ia menaklukkan bangsa Babel yang, 50 tahun sebelumnya telah menaklukkan bangsa Yahudi dan membawa mereka ke dalam perbudakan. Koresy memutuskan untuk memerdekakan bangsa Yahudi dari pengasingan dan mengizinkan mereka kembali ke tanah airnya, yakni Yehuda/Yudea, untuk membangun kembali Bait Allah dan kota suci mereka di Yerusalem. Dia juga mengembalikan kepada mereka perlengkapan emas dan perak yang telah dijarah dari Bait Suci oleh Nebukadnezar (Raja Babel). Dalam hal ini, Tuhan rela dan sanggup menggunakan kekuatan yang tidak beriman untuk mencapai tujuan-Nya, karena Dialah Allah bukan hanya bagi bangsa Yahudi, melainkan juga bagi sejarah dan seluruh dunia. Singkatnya, Tuhan sendirilah yang sebenarnya mengurapi Raja Koresy sebagai penyelamat umat-Nya. Dengan menyebut Raja kafir sebagai “Mesias” atau “Christos” yang berarti “yang diurapi Tuhan”, sesungguhnya bagian ini juga mengandung gagasan teologis baru yang sangat revolusioner, Sebagaimana bagian-bagian lain dari kitab Yesaya, hal ini dimaksudkan untuk menantang segala bentuk parokialisme, eksklusivisme, atau kepicikan kaum Yahudi, dan memberi mereka pandangan yang lebih inklusif, terbuka dan universal tentang kepedulian dan rencana Tuhan bagi seluruh bangsa.
Dalam bacaan kedua, dengan menyebut Yesus sebagai “Tuhan kita Yesus Kristus”, Paulus sesungguhnya mengakui Yesus sebagai Dia Yang berbagi kuasa ilahi dengan Allah Bapa. Paulus juga mengingatkan jemaat eks-kafir di Tesalonika bahwa Allah-lah yang telah memilih mereka untuk hidup dalam Dia dan memberi mereka kuasa untuk menghasilkan “pekerjaan iman, usaha kasih, dan ketekunan pengharapan kepada Tuhan kita Yesus Kristus, di hadapan Allah dan Bapa kita.” Dengan ini, Paulus ingin menegaskan kuasa ilahi Allah dalam diri Yesus Kristus dan Roh KudusNya, yang mampu memanggil, memilih sekaligus mengubah umat asal kafir di Tesalonika untuk menghasilkan kebajikan-kebajikan teologal berupa iman, harap, dan kasih.
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” (Mat 22:21), demikianlah kalimat terakhir dari perikope Injil hari ini (Mat 22:15-21). Inilah juga jawaban pamungkas Yesus yang membungkam para murid kaum Farisi dan kelompok Herodian, yang bermaksud menjebakNya dengan pertanyaan mereka, “Bolehkah membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” Dengan jawaban ini, Yesus sebenarnya mendesak mereka untuk memikirkan kembali sikap mereka sendiri, baik terhadap “urusan kaisar” maupun keprihatinan mereka mengenai “urusan Allah”. Berkaitan dengan “urusan kaisar”, jawaban Yesus ini bermaksud mengajak mereka (baik kaum Farisi maupun kelompok Herodian) untuk berpikir realistis mengenai kondisi mereka yang, de facto, sedang berada di bawah kekuasaan Romawi. Kondisi faktual ini jelas mengharuskan mereka membayar pajak kepada Kaisar, namun ingin mereka tolak dengan alasan yang berbeda-beda. Kaum Farisi menolaknya dengan alasan agama, sedangkan kaum Herodian menolaknya dengan alasan kepentingan politik mereka sendiri. Sedangkan berkaitan dengan “urusan Allah”, yakni kewajiban memberikan kemuliaan dan kekuasaan kepadaNya (sebagaimana disinyalir dalam Mazmur Tanggapan hari ini yang diambil dari Mazmur 96), jawaban Yesus pada intinya mau menekankan perlunya integritas batin. Bila mereka sungguh-sungguh mengutamakan kehidupan agama, hendaklah mereka menjalankannya dengan jujur dan tulus, dan bukan sebaliknya memperalat agama demi kepentingan diri mereka sendiri.
Dalam konteks kita dewasa ini, jawaban Yesus dalam Injil hari ini sesungguhnya mengafirmasi kewajiban kita sebagai warga negara terhadap Negara/pemerintah, sekaligus menegaskan kewajiban kita sebagai warga Gereja kepada Allah. Negara dan Allah sama-sama menuntut ketaatan tertentu dari kita, tetapi kita berutang nyawa kita kepada Allah. Inilah doktrin atau ajaran resmi, yang sering disebut doktrin “dua kekuasaan atau dua ranah,” yang berarti kehidupan seorang Kristen melibatkan kewajiban ganda: kepada pemerintah yang berkuasa dalam masalah sipil dan sekuler, serta kepada Tuhan dan Gereja dalam hal spiritual dan keagamaan. Melalui kelahiran biologis, kita menjadi warga dari Negara tempat kita lahir, dan melalui kelahiran spiritual lewat Pembaptisan, kita menjadi warga Kerajaan Surga. Setiap zaman, orang Kristen dihadapkan pada keseimbangan antara tuntutan Kaisar dan perintah-perintah Tuhan. Jawaban Yesus dalam Injil hari ini sesungguhnya membentuk prinsip panduan dalam memecahkan masalah yang sering muncul dari kewarganegaraan ganda kita, yakni menjadi milik Tuhan di satu sisi, dan milik Negara, di sisi lain. Sebagai orang Kristen, kita wajib taat kepada pemerintah, juga ketika pemerintahnya adalah non-Kristen, bahkan kafir sekalipun. Seorang Kristen yang setia juga selalu menjadi warga negara yang setia. Kegagalan dalam kewarganegaraan yang baik juga merupakan kegagalan dalam tugas Kristen. Kita memenuhi kewajiban kita kepada negara dengan taat kepada hukum-hukum yang adil, membayar semua pajak yang sah, dan memberikan kontribusi kita setiap kali kita dipanggil untuk kepentingan bersama. Baik St. Petrus (1 Ptr 2:13-14) maupun St. Paulus (Rom 13:1-7) menekankan kewajiban orang-orang Kristen perdana untuk menjadi contoh dalam kesetiaan mereka sebagai warga negara. Dalam hal ini, hubungan antara agama dan Negara/Pemerintah sesungguhnya bersifat pribadi dan individual. Benarlah bagi umat Allah untuk berbakti dalam pemerintahan (Bdk. kisah Daniel dan Yusuf). Tetapi salahlah bila pemerintah berusaha mengendalikan Gereja/Agama. Demikianpun sebaliknya, salahlah bila Gereja/Agama mencoba mengendalikan Pemerintah. Kita akan salah memahami jawaban Yesus jika kita menganggap jawaban itu dimaksudkan untuk mengajar kita tentang hubungan yang seharusnya ada antara Gereja dan Negara. Jawaban Yesus sesungguhnya berkaitan bukan terutama dengan urusan politik, melainkan dengan urusan tanggung jawab moral. Hal ini menyangkut kewajiban individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan bangsa dengan cara yang terbaik, yakni mempromosikan kesejahteraan bersama dalam keadilan dan perdamaian. Karena itu juga, ketika Negara atau Pemerintah dirasuki kekuatan jahat dan bermaksud menghancurkan Agama/Gereja, maka perlu ada perlawanan terhadap otoritas Negara. Katekismus Gereja Katolik menunjukkan tiga situasi di mana warga negara berkewajiban secara hati nurani untuk menolak ketaatan kepada otoritas sipil, yakni ketika hukum-hukum sipil “bertentangan dengan tatanan moral, hak-hak dasar individu, atau ajaran Injil” (KGK, 2242).
Selanjutnya, sebagai warga Gereja, kita pun perlu memenuhi kewajiban kita kepada Tuhan dengan cara: menjadi anggota yang setia, loyal, dan aktif dari Kerajaan Rohani Allah, yakni Gereja, yang didirikan oleh Kristus di bumi. Dengan demikian, seorang Kristen sejati adalah seorang warga yang baik dari Negaranya, dan warga yang baik dari Kerajaan Surga, dengan prioritasnya adalah kesetiaan kepada Tuhan. St. Thomas More, seorang Martir terkenal pernah berkata tentang dirinya sendiri: “Saya mati sebagai hamba raja, tetapi pertama-tama sebagai hamba Tuhan yang baik”. Hal ini berarti bahwa kerjasama kita dengan otoritas sekuler tidak pernah boleh mengganggu kewajiban utama kita untuk “menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan, yang telah menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya sendiri”. Sebagaimana kita wajib membayar uang pajak kepada Kaisar karena ada gambar dan cap Kaisar yang tertera pada koin/uang tersebut, demikianlah kita pun wajib memberikan seluruh diri kita kepada Allah, karena dalam diri kita terdapat gambar dan meterai Allah sendiri. Karena itu, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar, dan berikanlah kepada Allah, apa yang menjadi hak Allah!”.
Selamat hari Minggu. Tuhan memberkati…..Amin!!!