Penulis: Fr. Eki Lalo
Dekrit Optatam Totius tentang pendidikan dan pembinaan imam dibuka dengan sebuah ungkapan kesadaran dari dalam diri Gereja akan pentingnya pendidikan dan pembinaan imamserta calon imam demi perkembangan kehidupan iman Gereja. Konsili suci menyadari sepenuhnya, bahwa pembaharuan yang diinginkan bagi seluruh Gereja sebagian besar tergantung dari pelayanan para imam, yang dijiwai oleh Roh Kristus. Gereja menyadari bahwa imam sebagai imitasi dari Kristus (Imitatio Christi) perlu menampakkan Yesus Kristus yang hidup dalam diri para imam. Maka pembinaan dan pendidikan imam dan calon imam mesti dilandaskan pada semangat Kristus dalam melayani. Konsili juga menghimbau kepada semua umat agar turut berpartisipasi aktif dalam mendukung pendidikan dan pembinaan calon imam dengan menciptakan ruang dan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembangnya benih-benih panggilan dalam diri anak.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pendidikan dan pembinaan calon imam maka ada satu hal yang penting untuk diketahui yakni Siapakah imam dalam Gereja Katolik ? Dan apa saja syarat seseorang dapat menerima tahbisan imam ? Kata imam atau priest berasal dari kata presbyteros, presbyter, yang artinya pelayan penyembahan ilahi, sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan (bdk. Ibr.5:1), terutama dalam menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan kurban penebusan dosa. Yesus sebagai Imam Agung menunjuk para rasul-Nya dan para penerus mereka (para uskup dan para imam sebagai rekan kerjanya) untuk melaksanakan peran imamat jabatan yaitu memberkati Gereja-Nya.
Maka para imam yang tertahbis dipanggil untuk ikut mengemban tri tugas Kristus, yaitu memimpin, menguduskan, dan mengajar. Melalui para imam tertahbis ini, segala karya Kristus dapat dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus.
Menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, seorang imam dalam Gereja Katolik haruslah pria atau laki-laki yang sudah dibaptis dan menerima sakramen penguatan. Dalam Kan.1024 ditegaskan demikian “Hanya pria yang telah dibaptis yang dapat menerima tahbisan secara sah.” Dan kemudian dipertegas lagi oleh Kan. 1033 “Hanya orang yang telah menerima sakramen penguatan yang dapat secara licit diajukan untuk tahbisan.” Ia dipanggil untuk melayani Gereja dalam pribadi Kristus Sang Kepala. Ia adalah seorang pribadi yang mengasihi Tuhan, Gereja dan umat yang dilayani. Oleh sebab itu, “untuk ditahbiskan, seseorang harus mempunyai kebebasan yang semestinya; sama sekali tidak dibenarkan memaksa seseorang dengan cara apa pun dan atas alasan apa pun untuk menerima tahbisan atau menolak calon yang secara kanonik cakap untuk menerima tahbisan itu.” (Kan. 1026).
Imam Gambaran Kristus yang Hidup
Thomas a Kempis menulis bukunya dengan diawali dengan sebuah ungkapan demikian “Of the imitation of Christ, and of contempt of the world and all its vanities. He that followeth me shall not walk in darkness,(1) saith the Lord. These are the words of Christ; and they teach us how far we must imitate His life and character, if we seek true illumination, and deliverance from all blindness of heart. Let it be our most earnest study, therefore, to dwell upon the life of Jesus Christ.” Thomas menjelaskan bahwa Kristus pernah berkata bahwa barangsiapa yang mengikuti-Nya tidak akan berjalan dalam kegelapan. Mengapa Thomas membuka tulisannya dengan ungkapan Kristus yang demikian. Alasannya bahwa mengikuti Kristus bukan sesuatu yang mudah, karena butuh kesabaran dalam menjalaninya, butuh pengorbanan, butuh tubuh yang sehat, butuh jiwa yang kuat dan yang terutama orang harus merasa merdeka dalam menjalaninya. Memang semuanya sulit tapi Thomas a Kempis telah membuka cakrawala berpikir yang baru bahwa semuanya akan terasa ringan dan baik-baik saja jika yang mengikuti Kristus mau mencontohi cara hidup Kristus yang selalu berkeliling sambil berbuat baik.
Tantangan dunia dewasa ini yang semakin kompleks membuat Gereja harus bekerja lebih ekstra untuk menyelaraskan pola pendidikan dan pembinaan imam dan calon imam yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dan hal ini telah diantisipasi oleh Gereja dalam Konsili Vatikan II dengan semangat Aggiornamento atau semangat pembaharuan diri agar selalu menyelaraskan karya pelayanan Gereja sesuai dengan tuntutan zaman. Pembaharuan diri ini menjadikan Gereja tidak hanya menjadi suatu bagian dari dunia yang statis tetapi juga selalu dinamis dan terbuka terhadap segala perubahan zaman. Hal ini menjadi sebuah tuntutan yang nyata sebab Gereja menyadari diri sebagai sarana dan penyalur keselamatan Allah di dunia. Maka semangat yang telah lama digaungkan oleh Paus Yohanes XXIII harus dihidupi mulai dari lingkungan keluarga sebagai seminari pertama sampai pada jenjang Seminari Tinggi yang mempersiapkan calon imam untuk rahmat tahbisan.
Dengan demikian, seluruh elemen Gereja harus berpartisipasi aktif , kooperatif, kredibel, dan optimis dalam menciptakan ruang dan suasana yang kondusif bagi pembibitan benih-benih panggilan imamat dalam diri setiap anak. Maka dari itu dituntut juga dari mereka-mereka yang telah menerima rahmat tahbisan yakni diakon, imam, dan uskup, sebagaimana yang ditegaskan dalam Dekrit Optatam Totius(OT) bahwa “hendaknya semua imam sedapat mungkin menunjukan semangat kerasulan mereka dalam menumbuhkan panggilan. Hendaknya mereka menarik minat kaum remaja terhadap imamat dengan cara hidup mereka yang memancarkan kerendahan hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati, dan sikap saling mengasihi serta kerja sama persaudaraan antara mereka sendiri. Termasuk para uskup mendorong kawanan mereka untuk memajukan panggilan…”(OT art. 4) Maka jelaslah bahwa imam adalah imitasi dari Kristus merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap imam. Semua itu harus mendarah daging dalam diri setiap umat kristiani terlebih khusus mereka yang membaktikan diri sebagai pelayan Tuhan dalam kesatuan dengan Kristus melalui tahbisan yakni para klerus.
Oleh sebab itu untuk menjadikan seorang calon imam dan imam benar-benar menghayati dan menginternalisasikan cara hidup Kristus maka dituntut suatu kesedian hati untuk sungguh-sungguh menyadari diri sebagai mediator Dei atau sarana Allah dalam menyalurkan rahmat bagi manusia.
Calon Imam dan Proses Internalisasi In Persona Christi
Sebelum menjadi seorang imam, seseorang mesti melewati tahap-tahap formasi kurang lebih 13-15 tahun terhitung sejak seminari menengah SMA. Dalam tahap pembinaan ini setiap calon imam diasa, dibina dan ditempa menjadi seorang calon imam yang baik dan juga punya mutu dalam kemampuan akademik. Maka dalam setiap proses ada yang gugur dalam filterisasi karena beberapa kriteria yang tidak dipenuhi oleh calon imam. Keluarga sebagai seminari pertama telah lebih dahulu menanamkan nilai-nilai kristiani juga membantu mengarahkan anak-anak dalam menentukan pilihan hidup kedepannya.
Panggilan menjadi imam bukanlah suatu dorongan manusiawi semata tetapi Roh Kudus turut bekerja di dalamnya sehingga membuka mata hati untuk mendengarkan panggilan Tuhan. Maka dari itu rahmat panggilan adalah hal istimewa yang dianugerahkan secara cuma-cuma. Oleh karenanya panggilan bukan merupakan sebuah tuntutan atau paksaan. Panggilan merupakan sebuah kebebasan memilih.
Dalam membimbing dan menumbuhkan panggilan dalam diri setiap anak maka Gereja juga tidak serta-merta menempatkan para imam sebagai pembina yang membina calon imam. Imam yang ditempatkan menjadi pembina seminari adalah imam-imam yang dianggap cakap untuk membantu pembinaan calon imam sebagaimana yang ditegaskan dalam OT artikel 6 “…hendaknya mereka di bawah bimbingan pemimpi yang penuh kebapaan….” di sinilah sebenarnya tercermin gambaran Kristus yang hidup dengan semangat kebapaan senantiasa sabar dalam membimbing calon-calon imam. Kemudian ditegaskan lagi dalam artikel 7 “…seluruh pendidikan seminaris di situ harus bertujuan : supaya seturut teladan Tuhan Yesus Kristus, Guru, Imam dan Gembala, mereka dibina untuk menjadi gembala jiwa-jiwa yang sejati.
Maka dari itu masa formasi adalah masa-masa berharga dalam perjalanan panggilan sebab disitulah proses pendarah dagingan terjadi. Spiritualitas dan gaya hidup Kristus ditransfer secara penuh kedalam diri calon imam sehingga ketika tiba waktunya dianggap layak menerima tahbisan suci. Dari situ dia dipersatukan secara lebih erat dan tak terpisahkan dengan Kristus selamanya. Dengan demikian melalui rahmat tahbisan seorang imam bertindak sebagai Kristus dalam Perjamuan Ekaristi Kudus, sehingga dia disebut In Persona Christi – Dalam Diri Kristus.
Referensi
- Dokumen Konsili Vatikan II
- Kitab Hukum Kanonik
- https://www.sesawi.net/imam-dalam-gereja-katolik
- The Imitation of Christ-Thomas a Kempis
- https://adoc.pub/queue/bab-iv-jati-diri-imam-yang-bertindak-in-persona-christi-mela.html
Penulis: Fr. Eki Lalo