Siapakah Yang Sama Dengan Allah?

JURU BICARA ALLAH

(Ul 18:15-20; 1 Kor 7:32-35; Mrk 1:21b-28)

0 116

Dalam bacaan pertama pada hari Minggu Biasa ke-4 tahun liturgi B ini, Tuhan berjanji untuk mengirim seorang nabi. Dalam Injil, kita mendengar tentang Yesus sebagai pemenuhan nubuat ini, ketika Ia masuk ke dalam sinagoge dan mengajar orang-orang dengan wewenang yang tidak biasa bagi para Ahli Taurat. Dalam renungan ini, kita ingin menjelajahi konsep “nabi” sebagaimana berlaku bagi pribadi Yesus dan, secara luas, berlaku juga bagi kita sekalian yang adalah para pengikut-Nya, yakni umat Kristen.mindfulmusclellc.com mindfulmusclellc.com haynesplumbingllc.com bežecká obuv onlinebijuta.com iansargentreupholstery.com lepetitartichaut.com onlinebijuta.com massage pistol lepetitartichaut.com lepetitartichaut.com חליפות מידות גדולות נשים onlysxm.com bežecká obuv iansargentreupholstery.com

Siapakah seorang nabi? Menurut Kitab Suci, nabi adalah seseorang yang diberikan pesan khusus oleh Tuhan, untuk disampaikan kepada orang lain. Ini berarti bahwa nabi adalah seseorang yang berfungsi sebagai juru bicara (“juru kampanye”) Allah kepada umat-Nya. Lebih lanjut, ini berarti bahwa seorang nabi hanya berbicara apa yang diterimanya dari Tuhan melalui Roh Kudus (1 Ptr 1:21).

Inilah tugas utama nabi di zaman Musa untuk menjadi mediator (pengantara) antara Tuhan dan umat-Nya. Ia berbicara kepada Tuhan atas nama umat dan kepada umat atas nama Tuhan. Yesus tidak lain adalah Firman Allah yang menjadi manusia. Ia memanggil dunia untuk berbalik dari dosa dan kembali kepada Bapa. Ia meramalkan wafat dan kebangkitan-Nya sendiri. Melalui hidup, wafat, dan kebangkitan-Nya, Ia mendamaikan dunia dengan Bapa. Dalam terang ini, kita memandang Yesus sebagai Nabi, satu-satunya pengantara unggul. 1 Timotius 2:5 menyatakan, “Sebab Allah itu esa, dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manuadidas nmd girls womens air jordans boss autoradio ισοθερμικο μπλουζακι stok rasoio anti irritazione kurtka tommy hilfiger czarna damska grzebień do otwierania zamków superfit galaxy gorros invierno mujer миглопластика косъм по косъм black stetson hat sandalias adidas rojas hombre florida state jersey claudie pierlot outlet birkenstock gizeh blau gold sia, yaitu manusia Kristus Yesus…”. Dengan demikian, Yesus dapat mengajar dan mengusir roh jahat dengan otoritas dan kewenangan, bukan hanya sebagai nabi seperti Musa, tetapi sebagai pribadi ilahi, Allah yang menjadi manusia.

Yesus juga mengajar dengan otoritas atau kewenangan, bukan hanya karena Dia adalah Allah, tetapi juga karena kata-kataNya selalu disertai dengan perbuatanNya, dan perbuatanNya selalu sejalan dengan kata-kataNya. Ketika Dia mengajar tentang kasih, misalnya, Dia membuktikannya dengan contoh-Nya sendiri: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Dan Yesus sendiri telah menunjukkannya ketika Dia dengan rela menyerahkan hidup-Nya di salib untuk kita, bahkan “ketika kita masih menjadi musuh” karena dosa-dosa kita (bdk. Rom 5:8). Itulah sebabnya, mengapa Dia bisa menuntut dari kita: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 13:34). Tidak dapat disangkal bahwa kata-kata kita sering kehilangan makna karena terlalu sering tidak diikuti oleh perbuatan. Terkadang kita bahkan bertindak bertentangan dengan apa yang kita katakan dan ajarkan. Dewasa ini, kita sesungguhnya sangat kekurangan apa yang disebut dengan Kesaksian Kristiani itu. Paus Paulus VI menulis dengan tegas tentang hal ini: “Manusia modern lebih suka mendengarkan saksi-saksi daripada guru-guru, dan jika ia mendengarkan guru-guru, hal itu karena mereka adalah saksi… Karena itu, terutama melalui perilaku dan hidupnya, Gereja akan memberitakan Injil kepada dunia. Dengan kata lain, melalui kesaksian hidupnya tentang kesetiaan kepada Tuhan Yesus: kesaksian tentang kemiskinan dan sikap lepas-bebas, kesaksian tentang kebebasan di hadapan kekuasaan dunia ini. Singkatnya, kesaksian tentang kekudusan” (Evangelium Nuntiandi, 41).

Selain itu, sebagai Nabi, Yesus juga mengajar dengan penuh otoritas dan kewenangan, karena apa yang diajarkanNya sungguh-sungguh berasal dari dalam hatiNya sendiri, berdasarkan pengalaman relasiNya yang intim dengan Allah Bapa-Nya. Dalam percakapanNya dengan Nikodemus, Yesus bersabda, “Aku berkata kepadamu, kami berkata-kata tentang apa yang kami ketahui, dan kami bersaksi tentang apa yang kami lihat…” (Yoh 3:11). Dewasa ini banyak orang menyebut diri nabi-nabi. Mereka menjanjikan, bahkan juga membagi-bagi uang dan berbagai bantuan sosial bagi siapa saja untuk menjadi pengikut mereka. Dengan cara itu, mereka mengklaim sudah tahu berapa banyak pendukungnya. Mereka juga bahkan mengklaim memiliki wahyu khusus dari Tuhan dan dapat meramalkan tentang hal-hal, orang-orang, atau peristiwa-peristiwa yang akan datang. Melalui televisi, internet, dan berbagai media sosial yang semakin berkembang dewasa ini, rasanya tidak sulit bagi kita untuk  mengenal sosok-sosok yang menyatakan diri sebagai nabi-nabi zaman modern. Namun, tidaklah demikian bagi Yesus, sang Nabi sejati. Ia tidak bekerja dengan propaganda-propaganda murahan seperti ini. Dia tahu dan sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi misiNya, yakni menghadirkan kebenaran dan keadilan Allah di dunia, dengan cara yang elegan, berwibawa, dan bermartarbat. Sebagai pengantara sejati antara Allah dan manusia, Dia menjalankan secara konsisten peringatan Allah bagi seorang nabi, sebagaimana disinyalir dalam bacaan pertama hari ini. “Tetapi seorang nabi yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati” (Ul 18:20).

Di sini, kita juga perlu bertanya, “Siapakah allah lain itu? Jawabannya tidak lain dari pada allah-allah palsu, yang bisa saja termanifestasi dalam banyak hal: mulai dari uang, harta, kuasa,  popularitas atau ketenaran, kenikmatan hidup, dan lain-lain. Singkatnya, segala sesuatu selain Tuhan yang menjadi obyek sembahan kita, semuanya itu adalah allah-allah palsu. Tetapi allah palsu paling populer di zaman kita dewasa ini sesungguhnya adalah ‘diri’ kita sendiri. Dengan tendensi proyeksi diri yang berlebihan (lebay), orang sering mengklaim dirinya sebagai “mesias – penyelamat”, yang seakan-akan tanpa dirinya, semuanya akan kacau-balau bahkan hancur-binasa. Karena itu juga, tidak heran, jika ada kecenderungan dan godaan yang sangat kuat bagi orang yang berkuasa untuk mempertahankan atau melestarikan (dinasti) kekuasaan itu selama mungkin, dengan cara apa pun. Proyeksi ‘diri’ semacam inilah yang ingin dihindari oleh Yesus saat Dia menegur roh jahat, “Diam, keluarlah dari padanya!” (Mrk. 1: 25).

Berkaitan dengan otoritas dan kewibawaan Yesus dalam mengajar dan mengusir roh-roh jahat ini, penting bagi kita untuk membedakan antara otoritas dan pengaruh di satu sisi, serta kekuasaan dan kontrol di sisi lain. Beberapa orang dengan otoritas moral  yang tinggi mungkin saja tidak berkuasa. Demikian pula mereka yang paling berpengaruh, merasa tidak perlu mengendalikan atau mengontrol mereka yang dipengaruhi. Sebaliknya, mungkin saja ada orang yang merasa memiliki kekuasaan dan kontrol yang besar, namun sesungguhnya tidak memiliki otoritas dan pengaruh apapun terhadap orang lain. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurangnya atau tiadanya hal-hal mendasar seperti ketulusan, kejujuran, integritas, dan kesaksian hidup. Meskipun kita tahu bahwa kita perlu mendengar dan mengikuti arahan mereka, namun kita perlu tetap waspada terhadap motif mereka dan patut mencurigai niat mereka. Karakter pembicara sangat penting, dan ketika pembicara tidak hidup sesuai dengan kata-katanya sendiri, ia kehilangan otoritas diri. Dalam konteks ini, benarlah apa yang dikatakan Ralph Waldo Emerson, seorang sastrawan besar Amerika, “Apa yang anda lakukan menentangmu begitu keras, sehingga saya tidak bisa mendengar apa yang sebaliknya anda katakan”.

Yesus bisa mengajar dengan penuh keyakinan, karena Dia tahu bahwa otoritas-Nya berasal dari Bapa-Nya. Dia tidak punya apa-apa untuk ditakuti, karena Dia memiliki kebenaran untuk diungkapkan, dan hal itu jelas bagi semua pendengar-Nya. Dia memiliki otoritas yang tak tertandingi oleh siapa pun. Karena itu juga, sebagai orang-orang Kristen, terlepas dari apakah kita memiliki jabatan publik atau tidak, sepatutnya kita pun meneladani otoritas dan kewibawaan Kristus dalam hal berbicara dan bertindak, berdasarkan integritas diri yang handal. Mudah-mudahan…Amin!!!

 

Leave a comment