Ilmu pengetahuan sejatinya terkomposisi dari dua bagian besar, yaitu teori dan pengalaman. Dua hal tersebut merupakan unsur fundamental yang membentuk suatu pengetahuan agar menjadi valid. Di sini, Mahasiswa tidak bisa hanya menerima pengetahuan secara teoritik dan pada saat yang bersamaan melepaskan pengetahuan secara praktis (pengalaman). Jika Mahasiswa menelaah hakikat ilmu pengetahuan itu secara filosofis, maka Mahasiswa akan dihantar masuk pada sebuah diskursus filsafat, yang mempertemukan dua aliran besar, yaitu aliran rationalisme dan empirisme. Secara garis besar, kedua aliran tersebut memperdebatkan tentang sumber pengetahuan manusia. Di satu pihak, kaum rationalisme menganggap sumber pengetahuan manusia itu berasal dari akal budinya, sedangkan kaum empirisme menolak akal budi sebagai sumber pengetahuan manusia, dan menganggap bahwa sumber pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman indrawinya. Kedua pertentangan filosofis tersebut kemudian dijembatani oleh filsuf asal Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), dengan mensintesekan pemikiran rationalisme dan empirisme, bahwa sebenarnya pengetahuan manusia itu terkomposisi dari pengalaman dan akal budi.
Bagi Kant, apa yang dieksplorir oleh akal budi manusia, pertama-tama didapatkan dari pengalaman hidup itu sendiri. Begitupun sebaliknya, tanpa bantuan reflektif akal budi, pengalaman konkret yang dialami oleh manusia tidak mempunyai makna apa-apa. Dalam hal ini, untuk membentuk sebuah pengetahuan yang valid, manusia harus menggunakan akal budinya juga serentak menjadikan pengalaman hidupnya sebagai medan pemaknaan. Tanpa kerja sama antara akal budi dan pengalaman, manusia akan sulit memperoleh “buah-buah hidup” sebagai hasil dari pemaknaan dirinya atas realitas. Berkaitan dengan diskursus filosofis di atas, sebenarnya yang mau penulis sorot dalam refleksi kecil ini ialah pengalaman KKNT-PPM (Kuliah kerja Nyata Tematik-Program Pemberdayaan Masyarakat) penulis di kelurahan Teunbaun, Kecamatan Amarasi Barat.
Seperti yang sudah direfleksikan di atas, bahwa sebenarnya pengetahuan manusia itu terkomposisi dari pengalaman dan rationalitasnya; atau dengan kata lain, pengetahuan manusia itu terkomposisi dari teori dan praktek. Pengetahuan teoritik dalam konteks Mahasiswa adalah ilmu yang diperoleh “di dalam ruangan kampus”. Pemaknaan terhadap ruangan kampus sebagai “dapur” pengetahuan adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam kacamata Mahasiswa, karena memang secara formal ilmu pengetahuan itu diperoleh dari dalam ruangan kampus. Akan tetapi, akan menjadi sesuatu yang sangat dangkal dan akan menjadi reduktif, apabila Mahasiswa hanya menekankan aspek teoritik dan menolak untuk melihat dimensi realistis dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Di sini, Mahasiswa perlu mengubah arah refleksinya yang cenderung formalistik, yang melihat pengetahuan itu hanya dari “dalam ruangan kampus” menuju ke pengetahuan yang realistis, yang melihat pengetahuan berasal dari “luar ruangan kampus”
Apabila Mahasiswa berkeyakinan bahwa pengetahuan sejatinya hanya diprodusir dari dalam ruangan kampus, lantas demikian ada beberapa pertanyaan yang mesti ia jawab: bagaimana Mahasiswa menjelaskan dimensi realistik dari pengetahuan itu sendiri? Bukankah dibalik pengalaman hidup tersimpan “benih-benih” pengetahuan yang senantiasa perlu direfleksikan dan diaktualisir secara baik dan benar? Apabila Mahasiswa hanya menekankan dimensi teoritik dari pengetahuan itu sendiri, maka bagaimana Mahasiswa menjelaskan titik tolak eksperimental suatu pengetahuan sehingga ia menjadi mungkin? Bukankah pengetahuan teoritik yang telah disusun oleh para ahli itu merupakan sesuatu yang berakar-kuat dari pengalaman praktis manusia, yang kemudian dieksperimentasikan sehingga menjadi sebuah teori?
Rentetan pertanyaan di atas sebenarnya hanya mau menggugat konservatisme Mahasiswa dalam memaknai pengetahuan itu sendiri. Sejatinya Mahasiswa perlu memahami, bahwa teori dan praktek adalah dua hal yang saling mengandaikan, ibarat dua gambar pada uang koin. Apa yang di-teori-kan adalah hasil dari praktek hidup manusia. Begitu pun sebaliknya, apa yang dipraktekkan itulah yang kemudian diteorikan oleh para ahli. Jadi, sebenarnya dua dimensi pengetahuan tersebut, yaitu dimensi teoritis dan dimensi praktis, adalah sesuatu yang tidak boleh dilepas-pisahkan oleh Mahasiswa. Kedua dimensi tersebut harus tetap dipertahankan sehingga pengetahuan yang ada itu menjadi mungkin.
Di sini, pengalaman KKNT-PPM yang penulis dan Mahasiswa UNWIRA alami merupakan sebuah penegasan etis terhadap ilmu pengetahuan yang sedang kami geluti; Di sisi lain, KKNT-PPM yang Mahasiswa UNWIRA lakukan merupakan bagian dari “perutusan” Perguruan Tinggi kepada Mahasiswa untuk melayani masyarakat dengan ilmu pengetahuannya, sekaligus pada saat yang sama, Mahasiswa diajak untuk “berguru” atau menjadikan pengalaman konkret bermasyarakat sebagai “ruangan kampus yang lain” untuk memaknai hidup itu sendiri. Pengalaman ber-KKNT-PPM yang penulis alami saat ini merupakan sesuatu yang sarat makna. Penulis sendiri memaknai pengalaman KKN yang terjadi di wilayah Kecamatan Amarasi Barat, Kelurahan Teunbaun sebagai locus untuk memprodusir pengetahuan praktis.
Bagi penulis, ilmu pengetahuan sejatinya tidak hanya diprodusir di dalam “ruangan kampus”, tetapi lebih daripada itu, ilmu pengetahuan itu sendiri perlu diprodusir di “luar ruangan kampus”. Oleh sebab itu, pengalaman konkret yang penulis alami di tempat KKN merupakan bentuk perkuliahan yang “nyata” sekaligus sebagai tempat untuk menimba kekayaan makna hidup. Ada berbagai nilai kehidupan yang penulis temui dalam kehidupan masyarakat Teunbaun, yaitu nilai religi, kemanusiaan, persatuan, gotong royong, adat-istiadat dan lain sebagainya. Intinya bahwa nilai-nilai kehidupan tersebut tidak semuanya dirakit di dalam cetakan buku dan di dalam ruangan laboratorium sebagaimana yang dituntut oleh Mahasiswa di dalam kampus, tetapi sebaliknya, nilai-nilai tersebut secara implisit telah terlukis di dalam praksis sosial masyarakat Teunbaun. Nilai-nilai kehidupan tersebut hanya bisa diperoleh oleh Mahasiswa jika dan hanya jika Mahasiswa sanggup masuk dalam realitas sosial kultural masyarakat setempat dan kemudian merefleksikan apa yang terjadi di sana.
Sampai pada kesimpulan ini, penulis mengutip pemikiran Lucius Annaeus Seneca atau yang lebih dikenal dengan nama Seneca (4 SM-65 M). Ia adalah filsuf asal Romawi, aliran Stoisisme, di mana ia pernah menulis demikian: “non scholae sed vitae discimus”, artinya belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Berdasarkan pemikiran Seneca ini, semoga Mahasiswa-Mahasiswi milenial secara umum dan Mahasiswa UNWIRA yang sementara ber-KKN secara khusus, dapat menjadikan pengalaman hidup di tengah masyarakat sebagai ruangan kampus yang lain. Di sisi lain, Mahasiswa juga perlu menyadari orientasi hidup intelektualnya, bahwa sejatinya ilmu pengetahuan yang diperoleh tersebut bukan merupakan suatu tujuan dalam dirinya sendiri, tetapi sebaliknya bahwa ilmu pengetahuan itu digunakan untuk “mengabdi” pada hidup itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan yang Mahasiswa peroleh tersebut harus digunakan sebagai basis pemaknaan terhadap hidup itu sendiri. Mahasiswa harus melukis di dalam akal budi dan batinnya, bahwa “sekolah” dalam artian formal bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri. Sekolah hanyalah fasilitator yang mempersiapkan Mahasiswa dalam kehidupan sosial kelak.