Manusia hidup dalam kancah perjuangan selama hayat dikandung badan. Maka pepatah Latin mengatakan vita militia est. Hidup adalah perjuangan. Tiada hidup tanpa tantangan yang membuat manusia mesti berjuang.
Perjuangan menghadapi aneka tantangan adalah bagian dari hidup itu sendiri. Ada tantangan yang datang dari luar diri, dan ada yang dari dalam diri. Tantangan dari luar umumnya dapat diatasi. Tapi tantangan dari dalam diri umumnya sulit diatasi. Melawan diri sendiri bukan perkara mudah. Kecenderungan negatif dalam diri merupakan tantangan berat yang mesti diatasi. Kecenderungan ini umumnya begitu kuat mengikat. Orang seperti tak berdaya dan dikuasai olehnya. Misalnya kecenderungan iri hati, marah, benci, dendam, sampai agresif. Ketika dikuasai oleh hal-hal negatif ini, orang dapat merusak hidup sendiri maupun sesama.
Tantangan dari luar dihadapi dengan kekuatan akal budi dan aneka bakat atau talenta yang dimiliki. Semuanya dihadapi dan diolah satu persatu sampai selesai. Terkadang baru saja selesai atasi satu tantangan, datang lagi tantangan lain. Orang terlatih menghadapi beberapa tantangan sekaligus dan mengerahkan potensi diri. Tantangan mematangkan pribadi.
Inspirasi Injil Luk 4:21-30
Perikop ini berbicara tentang Yesus yang ditolak di Nazaret. Meskipun Dia mewartakan kebenaran dan kebaikan, tetapi orang seasalNya menolak Dia. Dikatakan dalam injil, “Bukankah Dia ini anak Yusuf?”
Motif penolakan tidak diungkapkan secara gamblang. Namun terasa sekali aroma iri hati dari pertanyaan bahwa Dia ini anak Yusuf. Bagaimana mungkin Dia bisa seperti ini, sedangkan Dia cuma anak tukang kayu?
Lukas tidak memaparkan ungkapan lain dari pernyataan kaum seasalNya. Tapi perbandingan sinoptik dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap. Matius mencatat, “Dari mana diperolehNya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Dia ini anak tukang kayu? Bukankah ibuNya bernama Maria…? Jadi dari mana diperolehNya semuanya itu? Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.”
Markus pun memberikan informasi yang mirip. “Dari mana diperolehNya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepadaNya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tanganNya? Bukankah Dia ini anak tukang kayu…?”
Dua teks Sinoptik ini memperlihatkan bahwa akar iri hati menjadi motif kekecewaan dan penolakan mereka. Bagi mereka Yesus itu cumalah anak tukang kayu. Tidak lebih. Maka kemampuan Yesus membuat mujizat dipertanyakan. Bagi mereka, tidak mungkin seorang anak tukang kayu mampu berkata hikmat dan membuat mujizat. Dengan kata lain, kemampuan Yesus menimbulkan iri hati. Iri hati menimbulkan kekecewaan dan penolakan.
Berhadapan dengan penolakan ini
Yesus menurut injil Lukas memberikan dua contoh dari Perjanjian Lama yang menunjukkan bahwa tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Elia dan Elisa pada zamannya membuat mujizat tetapi mujizat tertentu justeru dilakukan bagi orang asing, orang yang dicap kafir oleh orang Israel. Dengan ini Yesus mau menunjukkan bahwa ketertutupan diri mereka sampai menolak Dia tak kan menghentikan pewartaanNya kepada orang lain. Di Nazaret mereka menutup diri, tetapi di tempat lain orang menerimaNya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa Yesus menghadapi tantangan berat dari orang sekampungNya. Dia ditolak. Tetapi Dia tidak gentar. Dia tetap mewartakan kebenaran yang membuka kedok mereka. Hal ini pun menimbulkan kemarahan sampai mereka hendak menghukum Dia. Tetapi Dia lewat. Dia berlalu dari hadapan mereka tanpa mereka bisa berbuat apa-apa. Dia menang. Dia mengatasi tantangan ini. Dia tetap menjadi Manusia Kasih yang terus berbuat baik dan benar walaupun ditantang dan dihambat. Tak ada kata menyerah. Tantangan seberat apapun tetap dihadapi dan diatasi dengan kekuatan kasih, kebaikan dan kebenaran.
Di sisi lain, orang seasalNya tak mampu mengatasi tantangan dalam diri mereka berupa rasa iri hati atas kelebihan Yesus. Tantangan dari dalam diri ini sulit dikelola. Alhasil mereka terperangkap dalam kata dan tindakan yang merusak relasi. Mereka tetap berada dalam kekecewaan dan kemarahan. Tak ada transformasi diri menjadi manusia kasih.
Relevansi kristiani
Inspirasi perikop injil di atas sungguh relevan dalam hidup kristiani masa kini. Para murid Kristus dipanggil dan diutus untuk memberi kesaksian injil dalam hidup di tengah dunia. Ada banyak tantangan yang dihadapi. Ada tantangan dari luar, ada tantangan dari dalam. Semuanya menjadi bagian dalam hidup yang mesti diolah dan dikelola dengan prinsip kristiani.
Terkait dengan tantangan dari luar, sikap Yesus memberi inspirasi bagaimana berhadapan dengan dan mengatasi tantangan. Yesus tidak memiliki tantangan dari dalam diri berupa kecenderungan negatif. Dia telah selesai dengan DiriNya. Hidupnya total untuk keselamatan manusia. Maka tantangan yang dihadapiNya adalah dari manusia dan dunia.
Ada pembelajaran berharga bagi para murid masa kini. Yesus ketika berhadapan dengan tantangan, tidak melarikan diri. Ia tetap tenang, sabar, rasional dan penuh kasih. TanggapanNya berbasis kitab suci ibarat cermin untuk berefleksi. Mereka diajak untuk melihat secara rasional sekaligus spiritual mengenai sikap penolakan itu. Cara tanggap Yesus ini menjadi inspirasi bagi para murid Kristus masa kini untuk bersikap yang sama kala menghadapi tantangan hidup. Tetap tenang, sabar, rasional, penuh kasih, andalkan Tuhan.
Kedua, bersikap kritis transformatif. Yesus tetap mengedepankan kebenaran. KekritisanNya membedah kedok nalar palsu para penolak. Tujuannya agar ada transformasi cara pikir yang keliru. Walau gagal karena kaum seasalNya tetap berkutat dalam kekeliruan, apa yang dilakukan Yesus memberi inspirasi bagi para murid Kristus masa kini untuk bersikap kritis transformatif dalam menghadapi tantangan.
Di sisi lain, terkait tantangan dari dalam diri, sikap iri hati kaum seasalNya menjadi peringatan bagi para murid Kristus masa kini. Tantangan dari dalam diri sungguh berat. Sikap iri hati, benci, amarah, jengkel, kecewa, dendam, lalu menggumpal ke tindakan agresi sungguh menjadi tantangan tersendiri yang berat untuk diatasi. Itu berarti melawan diri sendiri. Perjuangan melawan kecenderungan diri tidak mudah. Karena itu sikap orang Nazaret ini menjadi peringatan untuk berwaspada. Sikap negatif dalam diri seperti ini mesti dikelola dwngan bijaksana agar tidak menjadi perusak relasi dan tatanan hidup bersama.
Tiada hidup tanpa tantangan. Tapi kekuatan positif dari dalam diri akan menjadi modal menghadapi tantangan, baik yang datang dari dalam diri maupun dari luar. Kekuatan itu adalah sikap sabar, bijaksana, rasional, penuh kasih, serta mengandalkan Tuhan. Doa dan refleksi intensif adalah jalan untuk mengendalikan kecenderungan negatif dalam diri. Doa dan refleksi membantu manusia (Murid Kristus) untuk meredam kecenderungan negatif dan mengobarkan daya kasih dalam diri. Daya kasih yang menguat dalam diri menjadi kekuatan untuk mengelola diri dengan benar, bijaksana, rasional dan penuh iman. Dengan demikian, tantangan dari dalam diri bisa teratasi. Maka tantangan dari luar akan terasa lebih enteng untuk diatasi.
Manusia kasih, dalam menghadapi tantangan apapun, tetap akan keluar sebagai pemenang. Karena kasih Kristus mengalahkan segalanya. Caritas Christi omnia vincit.