Siapakah Yang Sama Dengan Allah?

MENYANGKAL DIRI, MEMIKUL SALIB DAN MENGIKUTI YESUS (Yer 20:7-9; Rom 12:1-2; Mat 16:21-27)

2 338

Ada sebuah legenda kuno tentang Petrus, yang menjadi dasar untuk novel Polandia yang berjudul “Quo Vadis” yang ditulis oleh Henryk Sienkiewicz antara tahun 1895-1896 yang kemudian dijadikan film pada tahun 1951. Pada masa penganiayaan besar-besaran di bawah pemerintahan Kaiser Nero, umat Kristen di Roma meminta Petrus untuk pergi. Mereka berkata, “Anda terlalu berharga….Pergilah dari kota ini! Carilah tempat yang aman! Pergilah ke tempat lain dan wartakan Injil di sana…”.  Dengan cepat, Petrus pun pergi atau keluar dari kota Roma. Akan tetapi, pada saat ia bergegas di sepanjang Jalan Appian dan semakin jauh dari Kota Abadi, ia bertemu dengan seorang tua, yang berjalan menuju ke kota. Petrus pun bertanya kepadanya dalam bahasa Latin, “Quo vadis, Domine?” “Ke manakah Engkau pergi, Tuan?” Lalu orang tua itu menjawab, “Saya akan kembali ke kota Roma, untuk disalibkan kedua kalinya bersama umat-Ku. Kemudian, orang tua itu balik bertanya kepada Petrus, “Dan anda, ke manakah engkau hendak pergi?” Mendengar pertanyaa itu,  Petrus pun menangis tersedu-sedu dengan penuh penyesalan. Seketika itu juga ia berbalik kembali ke Roma, untuk selanjutnya disalibkan dengan kepala ke bawah, karena ia merasa tidak pantas untuk mati dengan cara yang sama sepeti Tuan-nya. Itulah pertanyaan yang sungguh penting dan mendasar bagi kita. Tidak masalah, sudah sejauh mana kita telah melakukan perjalanan. Yang terpenting adalah arah yang hendak kita tuju.

Bacaan-bacaan suci pada hari Minggu ini (Minggu Biasa XXII/A, sekaligus Minggu Kitab Suci Nasional) mengingatkan kita bahwa orang-orang Kristen dipanggil untuk menjalani hidup dengan cara yang berbeda dari orang-orang lain di sekitarnya. Kedisiplinan Kristen menuntut kejujuran, kesiapan untuk menderita (“memikul salib”), kemurahan hati (“menyerahkan tubuh kita sebagai persembahan hidup kepada Allah”), dan kesiapan untuk mengikuti Yesus dengan taat pada perintah-Nya untuk saling mengasihi.

Nabi Yeremia, dalam bacaan pertama, di satu pihak, berjuang dengan segenap tenaga untuk menjalankan firman dan kehendak Allah dengan berani menghadapi konfrontasi dan penganiayaan.  Dia terus-menerus memberitakan pesan Allah, karena baginya,  pesan atau firman  itu sendiri “menjadi seperti api yang bernyala-nyala dalam hatinya, terkurung dalam tulang-tulangnya; ia lelah menahannya, namun tidak sanggup” (Yer 20:9). Ia diutus Allah, “untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam” (Bdk. Yer 1:10). Ia juga berusaha menjaga penduduk Yerusalem dan Yehuda yang hidup dalam suasana intrik politik dan pengkhianatan agar tetap setia kepada Tuhan. Namun di lain pihak, Yeremia justru dianggap sebagai pengkhianat oleh rakyatnya sendiri karena, sebagai juru bicara Tuhan, ia harus bernubuat dan menyampaikan konsekuensi buruk yang akan terjadi akibat rencana pemberontakan mereka terhadap kekuatan besar Babel. Karena itu, ia menjadi putus-asa dan dengan sangat getir ia mengeluh kepada Tuhan. Dalam bahasa Inggris, kata “jeremiad,” berarti keluhan, ratapan, atau kisah penderitaan yang panjang dan mendalam, serta pesimisme yang besar akibat situasi buruk yang dialami. Dengan demikian, bacaan pertama hari ini sesungguhnya  merupakan “jeremiad” yang murni, di dalamnya terdapat keluhan nabi (Yeremia) bahwa Yahweh telah menipunya, serta penderitaan seseorang (sang nabi) karena patuh pada hati-nuraninya.

Dalam bacaan kedua hari ini, Paulus menasihati umat Kristen di Roma agar menjalani kehidupan Kristen sedemikian rupa sehingga mereka berbeda, baik dari kaum Yahudi maupun orang-orang kafir. Ia menyerukan agar mereka mengadopsi sikap pengorbanan dalam ibadah mereka kepada Tuhan. Untuk melakukannya, mereka harus secara eksplisit menolak perilaku dunia di sekitar mereka. Ia juga memberitahu mereka untuk mempersembahkan korban persembahan yang benar dan sejati. Persembahan dimaksud bukanlah hewan atau gandum dalam ibadah Bait Suci Yahudi, melainkan tubuh mereka sendiri “sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah.”

Injil hari ini berkisah bahwa setelah Petrus mengakui imannya akan Yesus sebagai Mesias, Anak Allah, Yesus menjelaskan kepada para rasul apa sebenarnya Misi Mesianik dan menjadi pengikutNya yang tanggap. Yesus sadar bahwa meskipun telah tiga kali Ia meramalkan penderitaan dan kematian yang bakal dialamiNya, para murid masih berpikir tentang DiriNya sebagai Mesias politik dan penakluk, seorang raja pejuang yang akan mengusir bangsa Romawi dari Palestina, dan memimpin Israel menuju kejayaan. Itulah sebabnya Petrus tidak tahan dan tidak setuju dengan gagasan tentang Mesias yang harus menderita. Saat itulah Yesus menegurnya dengan keras, “Enyahlah Iblis,” sebagai upaya melawan godaan si jahat yang membujuk-Nya untuk menghindari pekerjaan yang untuknya Ia telah  datang. Inilah jenis teguran yang sama seperti yang telah Ia berikan kepada Iblis di padang gurun. Origenes (Bapa Gereja, teolog dan ekseget terkenal pada abad ke-3 M) menjelaskan bahwa Yesus sebenarnya sedang mengatakan kepada Petrus demikian: “Petrus, tempatmu ada di belakangKu, bukan di depanKu. Tugasmu adalah mengikuti jalan yang Kupilih, bukan mencoba memimpinKu ke jalan yang engkau inginkan.” Iblis diusir dari hadapan Kristus, dan Petrus diingatkan untuk kembali menjadi pengikut Kristus.

Selanjutnya, setelah menegur Petrus yang mencoba membelokkanNya dari jalan salib yang harus ditempuhNya di Yerusalem, Yesus menjelaskan tiga kondisi bagi siapa pun yang ingin menjadi murid-murid-Nya: a) menyangkal diri sendiri; b) memikul salib; dan c) mengikut Aku. Penyangkalan diri berarti mengusir pikiran, keinginan, dan kecenderungan-kecenderungan egois dari hati kita dan membiarkan Allah memenuhi hati kita dengan diri-Nya sendiri. Ini juga berarti bahwa kita dibersihkan dari segala kebiasaan jahat, untuk selanjutnya memuliakan Allah di dalam hati kita, serta membagikan Dia kepada orang lain. Memikul salib bersama Yesus selalu membawa rasa sakit dan penderitaan. Dalam hal ini, penderitaan pribadi kita menjadi salib Yesus ketika: 1) kita menderita dengan melayani orang lain tanpa pamrih; 2) kita memberikan seluruh  diri kita: hati, budi, daya, kekuatan, waktu, bakat atau talenta-talenta kita kepada orang lain sampai hal pemberian diri itu melukai diri kita sendiri; 3) kita mempersatukan penderitaan fisik, mental, atau perasaan kita dengan penderitaan Yesus dan mempersembahkan semuanya bersama Dia kepada Bapa sebagai pemulihan atas dosa-dosa kita dan dosa seluruh dunia; dan kita bekerjasama dengan Roh Kudus yang senantiasa memurnikan kita melalui penderitaan pribadi atau praktik-praktik pertobatan kita. Mengikuti Yesus berarti bahwa, sebagai murid-murid Kristus, kita harus menjalani hidup sesuai Sabda Allah dengan mematuhi perintah kasih Yesus. Mengikuti seseorang yang meminta kita untuk “memikul salib” setiap hari mungkin terlihat bodoh. Tetapi dengan kata-kata YM. Uskup Agung Fulton Sheen, “menjadi orang bodoh karena Kristus adalah penghargaan tertinggi yang dapat diberikan dunia. Anda dan saya berada dalam persahabatan yang baik, karena sebagian besar orang kudus memeluk Salib Kristus dan dianggap bodoh karena melakukannya.” Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Jalan menuju kesempurnaan melalui salib. Tidak ada kekudusan tanpa pengorbanan diri dan perjuangan rohani. Kemajuan rohani menuntut askese dan penyangkalan diri yang, secara bertahap, mengantar kita untuk hidup dalam damai dan dalam sukacita Sabda Bahagia” (KGK, no. 2015).

Matius menulis Injilnya ini untuk komunitas Kristen pada masa-masa paling pahit dari penganiayaan sekitar tahun 80-90 Masehi. Karena itu, ia menekankan ajaran Yesus bahwa orang yang setia mungkin akan mati karena imannya kepada Yesus, tetapi dalam kematian itu ia akan hidup. Orang yang berani mengambil risiko untuk Kristus akan menemukan hidup. Di sisi lain, orang yang meninggalkan imannya demi keamanan atau kenyamanan diri mungkin saja tampaknya hidup, tetapi sebenarnya ia sedang mati. Sejarah penuh dengan jiwa-jiwa mulia yang merisikokan nyawa mereka demi orang lain. Jika beberapa ilmuwan tidak bersedia mengambil risiko, banyak obat medis mungkin tidak akan ada. Jika para ibu tidak bersedia mengambil risiko, tidak akan pernah ada bayi yang lahir. Jika kita jujur pada diri sendiri, kita tahu bahwa ada kesempatan terus-menerus bagi kita untuk memilih setia pada Injil. Namun, dunia pada dasarnya menentang Injil dan mereka yang hidup mengamalkan kebenarannya. Uskup Agung Desmond Tutu pernah ditanya apakah ia seorang politikus. Dia menjawab, “Tidak, saya bukan politikus. Saya adalah anggota Gereja yang percaya bahwa agama tidak hanya berurusan dengan bagian atau ruang terpisah tertentu dalam hidup. Agama memiliki relevansi untuk seluruh kehidupan. Karena itu kita harus selalu bertanya, apakah kebijakan tertentu sungguh konsisten dengan kebijakan Yesus Kristus atau tidak. Dan jika anda ingin mengatakan bahwa semuanya itu adalah politik, maka dalam hal-hal tersebut saya akan menjadi seorang politikus…. Peran saya dan peran semua kaum beriman adalah mampu mengatakan bahwa: ‘Itulah Firman Tuhan!”

Injil hari ini pada intinya menampilkan sosok Yesus sebagai batu penjuru yang sekaligus menjadi batu sandungan. “Batu penjuru yang menjadi batu sandungan ini berdiri sebagai kisah peringatan bagi kita semua yang dipanggil untuk melayani dengan wewenang dalam Gereja; sebuah kenyataan yang tentu saja berlaku juga bagi orangtua terhadap anak-anak mereka dan guru-guru terhadap para murid.” Kabar baiknya adalah bahwa, oleh rahmat Allah, rehabilitasi dan pemulihan itu tidak saja mungkin melainkan sungguh akan terjadi, jika kita berdoa dengan sungguh-sungguh. Seperti Petrus, Gereja seringkali tergoda untuk menilai kesuksesan atau kegagalan pelayanannya dengan menggunakan ukuran-ukuran atau standar-standar dunia. Hari ini Yesus mengajarkan kita bahwa kesuksesan duniawi tidak selalu merupakan jalan atau cara Kristiani. Itulah sebabnya Yesus memutuskan bahwa saatnya telah tiba bagiNya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan jahat dari para ahli Taurat dan kaum Farisi di tempat kekuasaan mereka, yakni di Yerusalem, dengan sepenuhnya menyadari konsekuensi besar yang akan terjadi. Dan konsekuensi itu tidak lain daripada sengsara yang berujung pada tragedi salib, wafat dan kebangkitanNya yang mulia, demi ketaatanNya kepada kehendak BapaNya dan demi penunaian tugas penyelamatan yang diembankan kepadaNya. Kiranya kita pun sebagai para murid Kristus, senantiasa siap menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti Dia di sepanjang “via dolorosa et via crucis” (jalan sengsara dan jalan salib), demi kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan dan sesama. Mudah-mudahan….Amin!!!

Show Comments (2)