Ungkapan terkenal: Verba Volant, scripta manent (Kata-kata terbang, tulisan menetap). Maksudnya pembicaraan lisan berlalu, dikenang dalam ingatan, lalu terlupakan. Tetapi tulisan, tidak berlalu, tetap tersimpan dan dapat dibaca kembali, tetapi juga diwariskan ke generasi masa depan.
Tulisan suci dalam kitab suci: dimulai sejak zaman kerajaan; semua tradisi lisan ditulis. Kitab suci ibrani yaitu TaNaK terdokumentasi dengan baik dalam tulisan, berkat para penulis suci, terutama para imam. Peranan para imam dalam redaksi akhir kitab suci Ibrani sangat besar, ketika berada di pembuangan. Krisis bangsa tidak membuat mereka putus asa. Dalam krisis tersebut, mereka tetap kreatif berkarya. Menyalin kembali dan menyusun secara teratur semua kitab menjadi satu kumpulan kitab suci Ibrani.
Yesus tidak mewariskan dokumen tertulis. Dia berkarya. Tetapi para murid menulis kisah hidup dan karyaNya. Jadilah Injil. Dokumen tertulis ini menyimpan kenangan akan hidup dan karya Yesus yang diteruskan kepada generasi Gereja sepanjang masa. Para penulis injil diilhami oleh Roh Kudus menulis apa yang mereka ketahui tentang Yesus.
Paulus dan para penulis surat lainnya menggunakan surat sebagai sarana pewartaan injil, sarana komunikasi dengan jemaat-jemaat yang telah dibangun di pelbagai tempat. Mereka menulis tentang Yesus dan ajaranNya, dan menarik aplikasi praktis dari doktrin iman itu bagi umat beriman. Tulisan mereka tersimpan, menjadi bagian dari kitab suci kristiani.
Para bapa gereja di awal karya juga selalu menulis kotbah dan pengajaran mereka. Dokumentasi tulisan mereka menjadi sumber referensi bagi dinamika teologi Gereja selanjutnya pada generasi-generasi kemudian sampai saat ini. Para pemimpin gereja, para pujangga gereja sepanjang sejarah gereja, adalah orang-orang yang memiliki spiritualitas menulis sebagai sarana pewartaan. Para uskup menulis surat gembala. Para paus menulis ensiklik, surat apostolik, dll. Semua tulisan didokumentasikan dan diwariskan ke generasi berikut, menjadi sumber referensi teologi, liturgi, katekese dan hukum gereja. Semua itu menunjukkan pentingnya aktivitas menulis dalam kehidupan menggereja. Gereja hidup berkat adanya tulisan-tulisan berupa pengajaran iman yang disebarluaskan kepada umat.
Dari paparan ini, tergambar jelas pentingnya menulis sebagai sebuah aktivitas mulia. Menulis adalah sebuah aktivitas intelektual sekaligus spiritual. Sebagai aktivitas intelektual, penalaran akal budi memainkan peranan penting. Intelektualitas terasah melalui menulis. Ada dialektika pemikiran yang dirumuskan. Ada ide-ide baru yang menyempurnakan apa yang lama. Sebagai aktivitas spiritual, menulis dalam konteks rohani dalam lingkungan gereja, merupakan bagian dari proses spiritual. Ada refleksi dan insight yang diungkapkan. Ada ilham Roh Kudus yang menyertai proses penulisan untuk kebaikan hidup beriman. Menulis berbasis kitab suci dan memberikan pencerahan kepada umat adalah sebentuk pewartaan injil. Menulis sebagai katekese. Ada pewartaan kebenaran iman berbasis kitab suci. Ada interaksi antara penulis dan umat atau masyarakat yang membaca. Dialog itu membawa pemahaman bagi pembaca.
Menulis adalah panggilan. Bagian inheren pada kehidupan calon imam. Aktivitas menulis adalah salah satu dari sekian aktivitas calon imam. Tiada calon imam tanpa menulis. Menulis refleksi harian, menulis renungan, menulis kotbah, menulis opini, menulis skripsi, menulis makalah atau paper, menulis tesis dll. Tugas seorang imam adalah mewujudkan tiga tugas Kristus: imam, nabi, raja. Dalam tugas menguduskan, lewat liturgi, ia harus merayakan ekaristi yang di dalamnya ada kotbah. Ia harus menulis atau mempersiapkan diri dengan baik. Dalam tugas mengajar, ia harus menulis untuk mengajar umat tentang kebenaran injili dan menghayatinya dalam hidup. Dalam tugas memimpin, ia harus menulis untuk merumuskan arah pastoral umat yang dipimpinnya.
Bagaimana cara menulis yang baik? Menulislah setiap hari sekurang-kurangnya satu halaman tiga paragraf. Bisa melalui refleksi harian. Bisa juga melalui buku catatan harian. Menulis puisi, cerita mini, refleksi pengalaman, dll. Menulis apa yang dipikirkan, dirasakan. Menulis apa yang ingin disampaikan kepada orang lain. Untuk menulis, orang harus memahami apa yang akan ditulisnya. Harus ada ide atau konsep di benak. Ide dan konsep dalam benak hanya diperoleh melalui membaca buku, membaca alam, membaca kehidupan. Banyak membaca membuat daya nalar kita terbentuk menjadi peramu ide-ide atau konsep-konsep. Ide yang satu disandingkan dengan ide yang lain. Semua ide yang bertemu mengalami tabrakan dalam akal budi, berfusi atau bertentangan, semua mengalami proses penalaran dan berbuah pada kreativitas pemikiran. Muncul ide-ide baru. Muncul bahan yang bisa dituliskan.
Bagi calon imam, sumber bacaan untuk mengembangkan ide penulisan adalah kitab suci, dokumen gereja, materi kuliah, buku-buku rohani, koran, pengalaman hidup, dll. Semua itu bahan bacaan yang menarik untuk menambah wawasan dan kasanah pengetahuan. Ketika menulis, apa yang telah tersimpan akan muncul dalam proses penulisan, sehingga bisa menulis dengan lancar. Tulisan yang dihasilkan dapat dibagikan kepada sesama sebagai bagian dari pewartaan injil. Tulisan yang baik berisi nilai injil sangat bermanfaat bagi orang lain yang membacanya. Calon imam sebagai seorang calon pewarta dapat melatih diri sebagai seorang pewarta melalui proses menulis. Dengan menulis, calon imam memproses diri dalam diinjili untuk menginjili. Sesudah mendalami dan mempribadikan nilai injil melalui tulisan, calon imam dapat membagi hasil refleksinya kepada sesama melalui publikasi. Dengan itu ia menyebarkan nilai-nilai injil kepada sesama.
Bertolak dari pemahaman itu, calon imam dan menulis adalah bagian tak terpisahkan. Calon imam wajib menulis. Menulis adalah salah satu aktivitas intelektual yang inheren pada calon imam. Hal ini penting untuk formasi integral calon imam. Melalui menulis, formasi berjalan dalam aspek intelektual, spiritual, kepribadian dan sekaligus pastoral. Selamat menulis!
Kupang, 29 November 2020
Rm. Siprianus S. Senda, Pr